Serangan Militer ke Basis Kelompok Perlawanan, Sulitkan Jalan ke Perundingan
Sagaing, kawasan di barat laut Myanmar menjadi fokus serangan aparat keamanan junta militer Myanmar karena diduga menjadi basis kelompok perlawanan. Perundingan dan perdamaian tampaknya semakin jauh.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NAYPYIDAW, SENIN – Sepanjang akhir pekan lalu, militer Myanmar melancarkan serangan udara ke wilayah Sagaing, kawasan di barat laut Myanmar, yang menjadi basis kelompok penentang junta militer. Serangan demi serangan ke Sagaing telah mamaksa ribuan warga yang tinggal di pelosok mengungsi, menyingkir, untuk menghindari penangkapan dan bahkan mungkin penghilangan nyawa oleh junta militer.
Sejak Juli lalu, berdasarkan data Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang dikutip kantor berita AL Jazeera, sebanyak 109 orang tewas di wilayah yang menjadi benteng pertahanan kelompok perlawanan junta. Korban tewas di wilayah itu termasuk 73 orang warga Kota Depayin dan Kani, yang diduga tewas karena pembunuhan massal. Data itu telah disampaikan NUG kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa 19 September.
Portal berita Democratic Voice of Burma (DVB) menurunkan laporan tentang serangan udara yang terjadi pada Sabtu (25/9) itu di daerah Pinlebu, Sagaing, mengutip keterangan warga yang mendengar suara pesawat terbang rendah dan ledakan pada Sabtu malam. Serangan itu terjadi sebelum saluran telepon dan internet terputus.
Seorang anggota Pasukan Pertahanan Rakyat (people’s defense force atau PDF) yang berbicara dari luar wilaysah Sagaing mengonfirmasi terjadinya serangan udara itu. Dia mengaku tidak ada anggotanya yang menjadi korban.
Tapi, dia sendiri mengaku tidak bisa menghubungi rekan-rekannya yang berada di wilayah itu. “Kami tidak bisa menghubungi mereka karena internet dan saluran telepon padam,” kata aktivis yang tidak mau disebut namanya itu.
NUG sendiri mengklaim bahwa pasukan mereka merebut beberapa persenjataan yang digunakan para penyerbu, seperti granat berpeluncur roket, senjata kecil dan peluru. Dikatakan lebih dari 25 tentara pemerintah telah tewas.
Reuters tidak dapat secara independen memverifikasi klaim apa pun. Juru bicara militer dan junta juga tidak bisa dihubungi untuk dimintai konfirmasinya terkait serangan tersebut.
Pemadaman internet dan telepon menjadi strategi yang jamak digunakan junta, terutama di kota besar, untuk mencegah pergerakan massa. Strategi itu digunakan kembali ketika kekuatan militer mulai digunakan untuk menghadapi warga sipil dan aktivis yang kini banyak bersembunyi di wilayah-wilayah terpencil. Sejak kamis, militer memutus akses internet di setidaknya 11 dstrik di Negara Bagian Chin dan wilayah Magway, menurut portal berita Myanmar Now.
Kelompok perlawanan, yang terdiri dari para aktivis, warga sipil dan kelompok paramiliter kelompok etnis, mengatakan, layanan telekomunikasi di Pinlebu, Kawlin dan Wuntho di utara Sagaing, terputus sejak bentrokan dengan militer belangsung, Sabtu (25/9).
Seorang juru bicara Tim Administrasi Rakyat Mindat, kelompok anti-junta, mengatakan, pembatasan akses internet kemungkinan terjadi karena militer mengintensifkan operasi di wilayah tersebut untuk menekan gerakan perlawanan.
“Mereka memutus internet dan arus informasi karena mereka takut kami akan meningkatkan serangan terhadap mereka, atau mereka bersiap-siap untuk melancarkan serangan terhadap kami,” kata juru bicara itu. Namun, dia menegaskan bahwa kurangnya akses internet tidak akan berdampak besar pada aktivitas kelompok gerilya lokal, yang tidak bergantung pada internet untuk komunikasi.
Khine Thu, salah satu pengungsi, dikutip dari Al Jazeera menuturkan, sejak bulan Juni dirinya harus meninggalkan rumahnya di Sagaing, berlari ke hutan, setelah tentara menyerbu desanya. Setelah itu, bersama warga lain, setidaknya dia telah 15 kali berpindah tempat, mencari perlindungan yang aman.
“Setiap kali kami mendengar tentara datang, kami lari. Kami melarikan diri ke hutan, dan kami kembali ke desa ketika para prajurit pergi,” tutur perempuan yang memilih menggunakan nama samaran itu.
Bersembunyi di hutan selama berhari-hari atau berminggu-minggu membuat pengungsi kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, selama dalam pelarian, mereka juga kesulitan mendapatkan air minum. “Beberapa hari, kami hanya makan sekali, dan terkadang, hanya nasi dengan garam dan minyak atau pasta ikan. Saya merasa sangat tertekan, dan terkadang saya bahkan tidak ingin hidup lagi,” kata buruh tani ini.
Desakan Quad
Perlawanan yang terus berlangsung, yang dimulai dengan aksi boikot besar-besaran di seluruh negeri, berubah menjadi perlawanan bersenjata ketika kelompok antijunta mengonsolidasikan diri dan menyerukan perang terhadap junta pimpinan Jenderal Ming Aung Hlaing. Seruan perang itu disampaikan langsung oleh pejabat presiden NUG Duwa Lashi La, 7 September. Seruan perang itu mempersulit upaya mencari solusi damai yang kini coba dilakukan oleh ASEAN.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, disela-sela kegiatannya menghadiri Sidang Majelis Umum PBB ke-76, mengatakan, dalam setiap kesempatan, banyak negara bertanya mengenai perkembangan situasi di Myanmar dan upaya yang dilakukan oleh ASEAN. “Tentunya saja kemudian menjelaskan situasi saat ini, yang saya sampaikan belum menunjukkan kemajuan signifikan,” kata Retno dalam keterangan tertulisnya.
Dia juga menambahkan bahwa Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar belu dapat menjalankan tugasnya dengan baik karena terkendala akses kepada seluruh pihak.
Dunia internasional terus mendesak junta menahan diri untuk menggunakan kekuatan bersenjata berlebihan. Desakan terakhir datang dari Quad, aliansi empat negara, Amerika Serikat, Jepang, India dan Australia. Dalam pernyataan bersama, Minggu (26/9), keempat negara menyeukan diakhirnya segala bentuk kekerasan di negara itu. Junta juga didesak membebaskan semua tahanan politik, termasuk orang asing.
Quad meminta junta dan para pihak bertikai mulai melakukan dialog yang konstruktif dan memulihkan demokrasi sebagai langkah awal. Junta juga didesak untuk mengimplementasikan seluruh isi Lima Poin Konsensus ASEAN yang dibicarakan saat para pemimpin ASEAN bertemu di Jakarta, akhir April. (Reuters)