Energi Bersih, Keras Digaungkan, tetapi Lemah dalam Penerapan
Isu perubahan iklim telah menjadi perhatian dunia. Akan tetapi komitmen negara-negara, terutama negara maju untuk menguransi secara siknifikan laju penggunaan dan produksi batubara masih lemah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, SENIN – Kampanye untuk menurunkan emisi karbon dan beralih ke pemakaian energi bersih ramai digaungkan di forum-forum internasional. Kondisi Bumi semakin kritis dengan analisa tim lingkungan hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkapkan, naik 1,5 derajat Celcius saja dalam kurun lima tahun ke depan, terjadi kerusakan yang tidak akan bisa diperbaiki. Negara-negara beramai-ramai menyatakan siap meninggalkan bahan bakar fosil dan beralih ke energi bersih demi dekarbonisasi, faktanya di negara maju sekali pun tantangannya banyak sekali.
Malaysia merupakan negara terbaru yang mengumumkan komitmen pengurangan karbon mereka. Perdana Menteri Ismail Sabri pada hari Senin (27/9/2021) mengutarakan bahwa rencana pembangunan lima tahun ke depan ialah peningkatan infrastruktur dan pengurangan karbon. Rencana yang terdengar paradoks ini menurut dia akan memanfaatkan skema penerapan pajak karbon.
“Kita akan menjadikan pajak untuk setiap emisi yang dikeluarkan oleh industri sebagai devisa negara. Ini akan menjadi tambahan bagi ekonomi,” ujarnya. Selain itu, Ismail turut mengumumkan bahwa Malaysia akan mengurangi 45 persen emisi karbon per tahun 2030 dan menghentikan pemakaian batubara.
Sementara itu, Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quad) yang beranggotakan Amerika Serikat, India, Jepang, dan Australia menyepakati bahwa Australia akan memproses semua mineral yang diperlukan untuk pembuatan semikonduktor. Benua Kanguru ini kaya akan mineral yang diperlukan untuk membuat komponen baterai listrik dan turbin penggerak pembangkit listrik.
Seusai diolah, produknya diekspor ke AS dan Jepang. Ini juga sebagai upaya menjaga rantai pasok semikonduktor terus ada. Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan, dengan melakukan semua prosesnya di dalam negeri, negara ini bisa menjamin bahwa metode yang dipakai ramah lingkungan.
Meskipun begitu, banyak yang mengkritisi komitmen negara-negara maju untuk melakukan dekarbonisasi. Pasalnya, industri mereka juga banyak berada di negara-negara miskin dan berkembang yang memproduksi serta langsung terdampak akibat dari emisi ini.
Kantor berita Reuters misalnya, mengeluarkan analisis bahwa Australia masuk dalam 15 negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Sebanyak 70 persen listrik di benua ini dihasilkan oleh batubara dan sebanyak 55 persen batubara di dunia diimpor dari Australia.
Di saat yang sama ketika Australia berjanji menghentikan pemakaian batubara di dalam negeri, mereka tetap menjual hasil tambang ini ke negara-negara lain . Akibatnya, Australia mungkin tampak memiliki rapor positif. Akan tetapi, kenyataannya mereka bertanggung jawab atas negara lain yang menghasilkan emisi.
Kawasan yang keras mengampanyekan penghentian pemakaian batubara ialah Uni Eropa. Komisinya telah menekan sejumlah negara, antara lain Polandia dan negara-negara di Eropa tengah dan timur agar segera menutup pembangkit listrik bertenaga batubara. Sejumlah dampak yang telah dirasakan masyarakat ialah kekeringan dan semakin berkurangnya sejumlah tanaman yang berfungsi untuk kelestarian lingkungan.
Bagi pemerintah, batubara merupakan alternatif paling murah dan cepat untuk menghasilkan listrik. Adanya listrik dari batubara ini memungkinkan masyarakat bisa menikmati listrik berlimpah, 24 jam setiap hari. Di Australia, beberapa argumen tandingan mengatakan bahwa permasalahan tarif listrik adalah di infrastruktur pendistribusiannya yang tidak efektif. Semestinya, jika distribusi dibenahi, pengambilan listrik memakai sumber-sumber terbarukan seperti sinar matahari, angin, dan ombak tetap bisa mempertahankan tarif murah.
Di Eropa, lembaga konsultan bisnis global, Davies Wallis Foysters (DWF) Group menghitung bahwa akan terjadi krisis energi apabila peralihan ke energi drastis berlangsung drastis. Di musim dingin 2021 saja kebutuhan listrik meningkat dan kapasitas energi bersih tidak akan bisa mencukupi.
Di Belanda dan Belgia, tepatnya kota Amsterdam, Rotterdam, dan Antwerp, pembelian batubara untuk listrik meningkat 2,6 persen karena jika sumber listrik sepenuhnya bergantung kepada gas alam, harganya akan sangat mahal. “Perusahaan listrik saat ini baru bisa sebatas menekan emisi, tetapi belum bisa lepas dari batubara,” kata Kepala Divisi Energi DWF Group, Slava Kiryushin kepada media The National.
Paradoks energi bersih ini tidak hanya di sektor batubara. Harian The Herald Scotland melaporkan bahwa di Nauru, sebuah negara di Mikronesia juga menghadapi dilema pembangunan ekonomi atau kerusakan alam. Cara cepat menghasilkan uang di negara itu ialah dengan menambang nodul polimetalik yang kaya akan mineral dari pesisir dan dasar laut. Logam-logam ini diperlukan untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.
Perusahaan-perusahaan dari Inggris, Rusia, China, India, dan Kanada sudah diberi izin oleh Pemerintah Nauru untuk melakukan penambangan selama 15 tahun ke depan. Padahal, pakar-pakar lingkungan hidup mengatakan bahwa penambangan akan merusak ekosistem laut yang mengakibatkan punahnya terumbu karang serta biota laut lainnya. (Reuters)