Mekanisme distribusi vaksin Covid-19 melalui skema Covax akan diubah agar lebih adil bagi negara-negara miskin. Sampai sekarang masih ada negara miskin yang belum menjalankan program vaksinasi karena tak punya vaksin.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Isu kesenjangan atau ketidakadilan akses vaksin Covid-19 masih panas. Apalagi setelah sejumlah negara maju mulai merencanakan pemberian vaksin ketiga kepada rakyatnya. Padahal, masih banyak negara miskin yang belum tuntas program vaksinasinya karena jumlah vaksin yang terbatas.
Inggris Raya menjadi negara dengan tingkat vaksinasi tertinggi di dunia. Separuh penduduknya sudah divaksin (total populasi Inggris Raya sekitar 67 juta jiwa). Vaksin di Inggris Raya antara lain diperoleh dari 500.000 dosis vaksin jatah dari skema Covax, mekanisme distribusi vaksin di bawah beberapa lembaga internasional, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sebaliknya, kondisi yang jauh berbeda terlihat di Botswana, negara di Afrika bagian selatan. Negara itu sampai sekarang belum juga memulai program vaksinasinya meski sudah dijanjikan sekitar 20.000 dosis vaksin Pfizer. Negara-negara miskin lain, seperti Rwanda dan Togo, juga menerima vaksin yang lebih sedikit ketimbang Inggris, yakni hanya 100.000 dosis. Libya, negara lain di Afrika utara, baru menerima 55.000 dosis.
Mekanisme distribusi vaksin tersebut diatur oleh Covax, program yang dijalankan WHO bersama Koalisi Inovasi Kesiapan Epidemi (CEPI) dan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (Gavi).
Sejak Januari 2021, Covax mengalokasikan vaksin secara proporsional ke negara-negara anggotanya hanya berdasarkan jumlah populasi dan bukan berdasarkan cakupan vaksinasi. Ini membuat negara kaya yang sudah mendapatkan banyak vaksin melalui kesepakatan bilateral dengan perusahaan farmasi juga berhak menerima jatah vaksin dari Covax. Hak negara kaya itu sama dengan negara yang tidak memiliki vaksin sama sekali.
Dalam dokumen internal Gavi yang diperoleh kantor berita Reuters disebutkan bahwa Covax hendak merombak metodologi alokasi dengan memperhitungkan proporsi populasi negara yang sudah divaksin, termasuk dengan vaksin yang dibeli langsung dari produsen vaksin. Isu ini akan dibahas dalam pertemuan pimpinan Gavi, Selasa (28/9/2021), dan perubahannya kemungkinan dilaksanakan pada kuartal keempat tahun ini.
Pejabat senior WHO dan Covax, Bruce Aylward, menjelaskan bahwa ketentuan alokasi vaksin ini tidak bisa diubah tanpa persetujuan dari 140 negara anggota Covax. Namun, data mengenai kemanjuran vaksin juga akan memperkuat alasan untuk mengubah metodologi ini. ”Hanya dalam beberapa bulan, berkat vaksinasi ini, ada perbedaan pada kasus Covid-19 dan kasus kematian akibat Covid-19,” ujarnya.
Stok terbatas
Sebagai donor uang dan vaksin, Inggris sudah menginvestasikan sekitar 97 juta dollar AS di Covax. Secara teori, Inggris boleh membeli hingga 27 juta dosis vaksin dan mendonasikan hingga 9 juta dosis, sebagian didistribusikan melalui mekanisme Covax. Ini juga berlaku bagi negara anggota Covax lain yang sebenarnya sudah membeli banyak vaksin di luar skema Covax.
Pada Juni 2021, Covax lebih fokus pada penyediaan vaksin bagi negara-negara yang paling membutuhkan. Namun, sejak dibentuk 15 bulan lalu, Covax sudah disibukkan dengan urusan kekurangan stok vaksin karena negara-negara kaya yang menimbun vaksin. Ada juga masalah pasokan vaksin yang terkendala karena perusahaan farmasi belum menggenjot produksi vaksin dan langkah India menangguhkan ekspor vaksin ke berbagai negara.
Ini membuat distribusi sekitar 240 juta dosis vaksin AstraZeneca yang dialokasikan untuk Covax terkendala pada akhir Februari 2021. Akibat persoalan-persoalan ini, kapasitas pengiriman vaksin ke negara-negara miskin berkurang. Sampai sejauh ini baru 300 juta dosis vaksin yang dikirim ke 140 negara. Ini jauh dari target awal yang ditetapkan 2 miliar dosis vaksin pada akhir tahun ini. Kini, targetnya hanya 1,4 miliar dosis.
Alokasi vaksin Pfizer pada 15 Maret 2021 ke 50 negara menunjukkan kelemahan metodologi Covax. Data WHO menunjukkan pada program pertama Covax ada 14,1 juta dosis vaksin dari AS yang dibagikan setelah 1,2 juta alokasi vaksin dibagikan ke 18 negara, akhir Januari. Pada waktu itu, banyak negara belum memulai program vaksinasi karena alasan minimnya vaksin. Bahkan, Uni Eropa masih berjuang dengan stok yang terbatas.
Program vaksinasi Inggris terbukti berhasil dan sudah memvaksin setidaknya satu dosis pada 40 persen dari total populasinya. Bersama dengan Uni Emirat Arab dan Israel, Inggris unggul dalam memberikan vaksin sebanding atau proporsional dengan jumlah populasi. Inggris termasuk penerima manfaat utama dari alokasi Covax dengan 539.000 dosis yang sudah dikirim, akhir Juni.
Hanya ada tujuh negara yang menerima lebih banyak, termasuk Brasil, Meksiko, dan Filipina yang lebih padat penduduknya. Sementara Uni Emirat Arab mendapat 200.000 dosis.
Negara-negara maju lain juga berinvestasi di Covax, tetapi tidak mengambil jatah mereka. Ini karena mereka sudah mendapatkan jutaan dosis vaksin dari kesepakatan bilateral dengan perusahaan farmasi. Contohnya Uni Emirat Arab.
Tak siap
Ada juga persoalan lain yang membuat akses timpang dan ini terkait dengan vaksin Pfizer yang menggunakan teknologi mRNA baru. Vaksin Pfizer membutuhkan penanganan yang rumit karena vaksinnya harus dibawa dan disimpan dalam lemari berpendingin dengan suhu sekitar minus 70 derajat celsius.
Itu berarti hanya sekitar 50 negara yang bisa menerima vaksin Pfizer karena mereka memiliki tempat penyimpanan sedingin itu. Dan, cara ini tak bisa dilakukan banyak negara berkembang.
Gavi awalnya tidak memprioritaskan investasi lemari berpendingin yang dibutuhkan vaksin mRNA. Mereka lebih memilih vaksin yang lebih murah dan lebih mudah dikelola, seperti AstraZeneca, yang tidak rumit dan tidak membutuhkan persyaratan penyimpanan dengan suhu ekstrem.
Sekitar 240 juta dosis vaksin AstraZeneca rencananya didistribusikan ke 140 negara pada Februari 2021. Hanya saja, karena ada pembatasan ekspor di India, tempat vaksin itu dibuat, hanya ada sekitar 80 juta dosis vaksin yang dikirimkan sampai akhir Agustus.
”Menyiapkan tempat berpendingin itu berisiko. Kalau tidak ada kejelasan pengiriman, buat apa investasi di kulkas yang mahal,” kata Heather Ignatius, Direktur Pengelolaan Advocay at Path, organisasi kesehatan nonprofit.
Namun, Gavi kemudian berubah investasi di rantai suplai lemari berpendingin pada Juni karena AS berjanji akan mendonasikan ratusan juta vaksin Pfizer ke Covax. Gavi menganggarkan 25 juta dollar AS untuk membeli lemari berpendingin yang akan diberikan kepada 50 negara miskin melalui Unicef yang bertanggung jawab pada urusan logistik Covax. (REUTERS)