Kaum Perempuan Afghanistan Tak Mau Harapan Itu Menghilang
Kaum perempuan di Afghanistan menjadi kelompok paling tertindas dan terpinggirkan saat negara mereka dipimpin kelompok Taliban. Mereka menggugat dan melawan penindasan dengan berbagai cara.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Bertahan, berharap, dan melawan di bawah tekanan. Itulah yang dilakukan para perempuan Afghanistan di dalam dan luar negeri setelah lebih dari satu bulan Afghanistan kembali berada di bawah kekuasaan Taliban. Di tengah segala keterbatasan, mereka menjaga asa agar setidaknya pilihan masih tersedia bagi mereka untuk aktualisasi diri.
”Memangnya apa yang akan terjadi apabila perempuan dilarang berkegiatan? Kemiskinan dan keterpurukan sekarang pun sudah terlihat di mana-mana,” kata Mahbouba Seraj (73), perempuan pegiat kesetaraan jender yang memilih bertahan di Kabul, ibu kota Afghanistan.
Ia terus memantau perkembangan situasi negara itu di bawah kekuasaan Taliban yang menggulingkan pemerintahan Presiden Ashraf Ghani pada 15 Agustus lalu. Rezim yang menamakan diri Emirat Islam Afghanistan ini telah mengeluarkan sejumlah aturan, termasuk mengenai posisi perempuan di masyarakat yang ternyata bertentangan dengan janji untuk membentuk pemerintahan inklusif.
Perempuan tetap boleh bersekolah hingga tingkat pascasarjana, tetapi semua kelasnya dipisah dari laki-laki. Perempuan boleh bekerja, tetapi hanya di sektor yang tidak bisa dilakukan laki-laki. Dalam satu bulan terakhir, negara ini mengalami krisis sumber daya manusia (brain drain) karena orang-orang dengan keterampilan dan akses pada pekerjaan berbondong-bondong mengungsi ke luar negeri.
Seraj meminta agar fakta itu diakui Taliban. Apa gunanya perempuan kuliah hingga strata tiga jika pada akhirnya tidak diizinkan bekerja? Setengah dari penduduk Afghanistan berusia 25 tahun ke bawah. Mereka tidak akan bisa mencari nafkah yang layak apabila akses dibatasi.
Bagi negara yang 40 persen ekonominya bergantung dari bantuan luar negeri itu, semakin sedikit penduduk yang bekerja berarti semakin berat beban ditanggung negara. Apalagi, Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan kajian yang mengatakan bahwa kini dua pertiga penduduk Afghanistan berada di garis kemiskinan dan terancam bencana kelaparan.
Kenyataan itu memperteguh perempuan Afghanistan untuk menggugat dan melawan ketidakadilan yang mereka alami.
Simbol perlawanan
Simbol perlawanan perempuan Afghanistan yang menjadi viral di internet dua pekan terakhir ini adalah tagar ”jangan sentuh bajuku” (do not touch my clothes). Gerakan perlawanan ini diawali oleh Bahar Jalali (35). Ia adalah perempuan yang dulu bekerja sebagai dosen sejarah di American University Afghanistan.
”Saya geram melihat foto-foto yang disebarluaskan Taliban menunjukkan perempuan berjubah dan bercadar hitam-hitam. Itu bukan budaya Afghanistan. Di setiap provinsi, baju adatnya berbeda-beda, tetapi semua warna-warni dan dibuat dengan keterampilan tinggi,” kata Jalali kepada BBC.
”Saya geram melihat foto-foto yang disebarluaskan Taliban menunjukkan perempuan berjubah dan bercadar hitam-hitam. Itu bukan budaya Afghanistan. Di setiap provinsi, baju adatnya berbeda-beda, tetapi semua warna-warni dan dibuat dengan keterampilan tinggi,” kata Jalali kepada BBC.
Tagar tersebut menyebar di media sosial. Para perempuan Afghanistan, mayoritas diaspora di luar negeri, kemudian mengunggah foto-foto mereka mengenakan busana khas Afghanistan. Pesan mereka jelas, yaitu busana ialah pintu masuk untuk mengatur perempuan. Pakaian yang merupakan ranah pribadi seyogianya adalah pilihan individu, bukan ditentukan oleh otoritas apa pun. Ketika hal yang bersifat pribadi ini diinvasi, tidak ada lagi kemerdekaan di sektor lain.
Hal itu tecermin dari pengalaman seorang karyawati swasta di Kabul. Ketika bertutur kepada harian USA Today, ia menceritakan, biasanya setiap hari ia berangkat ke kantor dengan memakai jas. Sekarang, ia nyaris tidak bisa keluar rumah. Ketika hendak membeli kebutuhan sehari-hari di toko kelontong dekat rumah, ia hanya bisa keluar dengan mengenakan cadar lengkap dan ditemani oleh suami.
Perempuan lain bercerita, ia pernah mengenakan jilbab lebar ketika ingin berbelanja ke pasar bersama mahramnya (keluarga laki-laki). Di tengah jalan, milisi Taliban menghentikan mereka dan membentak-bentak. ”Kami disuruh pulang supaya saya bisa memakai cadar. Kata milisi itu, cuma mata perempuan yang boleh terlihat, itu pun harus menunduk,” ujarnya.
Pukulan telak
Pukulan telak bagi para perempuan muncul ketika Pelaksana Tugas Wali Kota Kabul Hamdullah Nohmani mengeluarkan pernyataan resmi. Isinya adalah, setelah menimbang situasi terkini, walaupun perempuan boleh kuliah hingga strata tiga, di sektor pekerjaan lain perkara. Semua pekerjaan, profesi, dan karier yang bisa dikerjakan oleh laki-laki akan diambil alih.
Aturan ini segera diterapkan kepada aparatur sipil negara (ASN). Ada 2.930 ASN yang bekerja untuk pemerintah kota Kabul dan sebanyak 27 persen di antaranya perempuan.
”Perempuan khusus melakukan tugas yang tidak bisa dikerjakan oleh laki-laki. Di bazar (pasar tradisional) dan pusat perbelanjaan, misalnya, ada WC umum perempuan. Ini tidak bisa dibersihkan oleh laki-laki, jadi harus dikerjakan perempuan,” tutur Nohmani, seperti dikutip oleh CNN.
Setelah pemerintahan Taliban Jilid I dilengserkan tahun 2001, kiprah perempuan Afghanistan melejit. Ada yang menjadi diplomat, menteri, duta besar, atlet Olimpiade, bahkan ada yang mencalonkan diri menjadi presiden negara itu. Sekarang, derajat karier yang diizinkan penguasa adalah di sektor kewanitaan dari persepsi pemerintahan Taliban Jilid II.
Memang masih ada perempuan yang bisa tetap menjalankan kariernya. Salah satunya ialah Yalda Ali (25), segelintir perempuan yang masih bisa berkarya di media arus utama. Ia adalah pembaca berita pagi untuk stasiun televisi TOLO.
Menurut dia kepada NBC News, tidak hanya penampilan fisiknya yang disesuaikan dengan otoritas sekarang. Akan tetapi, cara berbicara dan cara menyampaikan berita, walaupun faktual, harus dilakukan secara berhati-hati agar tidak menyinggung Taliban.
”Ada satu yang tidak saya ubah. Saya akan terus tersenyum menyapa pemirsa karena dalam keadaan seperti ini, senyum bisa memberi harapan,” tuturnya.
Yalda Ali melawan dengan tersenyum di televisi, sementara Jalali dan kawan-kawan melawan dengan mengunggah foto-foto mereka berbaju adat. Seperti yang dikatakan Seraj, perempuan Afghanistan kali ini tidak sama dengan era Taliban Jilid I. Kala itu, hanya satu dari delapan perempuan di atas usia 15 tahun melek huruf.
Perempuan Afghanistan sekarang semakin cerdas dan terhubung dengan dunia. Mereka akan terus bertahan sekaligus melawan guna menjaga agar harapan tidak musnah. Akan tetapi, mereka tidak bisa berjuang sendirian tanpa solidaritas dari dunia. (AFP)