Berburu Kapal Selam Tipe Bertenaga Nuklir
Teknologi propulsi nuklir untuk kapal selam bisa disebut teknologi puncak, yang oleh AS sebelum ini hanya diberikan kepada sekutu terdekatnya, yakni Inggris.
”Dari semua orang yang berada di angkatan (perang), tidak ada yang memperlihatkan pengabdian lebih dan menghadapi kematian lebih menyeramkan dibandingkan pelaut kapal selam,” Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris di era Perang Dunia II, saat menjelaskan bahwa pengembangan kapal selam merupakan paling berbahaya dari seluruh pekerjaan; dalam John Parker, Submarines, Southwater, Leicestershire (2013).
Kita bisa membayangkan ucapan Churchill di atas lebih-lebih jika membayangkan sebuah kapal selam nuklir, baik yang propulsi (mesin penggeraknya) bertenaga nuklir maupun yang fungsinya mengangkut senjata nuklir.
Selain ”menyeramkan”, ”mengerikan”, teknologi yang diterapkan pada kapal selam itu sangat rumit. Tidak heran jika The Economist, Jumat (17/9/2021), menyebut propulsi nuklir di kapal selam bak ”permata mahkota” (crown jewel). Amerika Serikat, yang memulai era kapal selam (bertenaga) nuklir dengan ”Nautilus” tahun 1955, selanjutnya diberi simbol SSN, memperlihatkan kelebihan kapal selam jenis ini dengan SSN Seawolf.
Tanggal 7 Agustus 1958, Seawolf menyelam dan tidak muncul lagi ke permukaan hingga 6 Oktober 1958, menempuh jarak 13.780 mil laut (25.520,56 kilometer). Dengan itu, AS memamerkan kepada dunia tentang kehebatan kapal selam bertenaga nuklir untuk tidak tergantung pada atmosfer bumi dalam satu patroli perang (submarines).
Oleh kemampuannya yang luar biasa ini: jelajah praktis tidak terbatas (sejauh ada bahan makanan di kapal, atau kalau membutuhkan perbaikan), lajunya lebih cepat dibandingkan kapal selam diesel-elektrik konvensional, dan dengan itu sifat ”silumannya” (sulit dideteksi) semakin tinggi.
Oleh karena itu, banyak negara sangat mengidamkan kapal selam jenis ini. Namun, mengingat kerumitan teknologinya, sejauh ini hanya ada enam negara yang bisa membuatnya, yaitu AS, China, India, Inggris, Perancis, dan Rusia (The Military Balance, IISS, London, 2021).
Korea Utara dikabarkan juga sedang berniat mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir, yang sekaligus juga bisa mengangkut peluru kendali (rudal) balistik, jenis yang diberi simbol SSBN (Warships, International Fleet Review, Mei 2021).
Alutsista modern
Berita tentang kapal selam sempat menghangat tatkala terjadi musibah Kapal Republik Indonesia (KRI) Nanggala 402 berangsur surut saat pandemi Covid-19 masih merebak. Namun, dalam dua pekan terakhir, kita mendengar lagi berita tentang alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sangat vital dalam pertahanan modern ini.
Berita sekitar kapal selam terakhir muncul tatkala AS, Inggris, dan Australia mengumumkan pembentukan aliansi Indo-Pasifik AUKUS (Australia, UK, US). Jika kedekatan ketiga negara di atas bukan hal baru, konteks aktual pengumuman AUKUS oleh Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, dan PM Australia Scott Morrison pada 15 September lalu digarisbawahi dengan kuat oleh pengumuman, AS akan memasok Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir.
Baca juga: AUKUS, Aliansi untuk Perang
Rencana pemasokan teknologi alutsista yang sangat strategis ini, oleh The Washington Post, Kamis (16/9/2021), merupakan lompatan besar atas kebijakan hari kemarin, dan merupakan tantangan langsung terhadap China di kawasan Pasifik.
Mengapa dikatakan lompatan besar? Hal ini tidak lain karena teknologi propulsi nuklir untuk kapal selam bisa disebut teknologi puncak, yang oleh AS sebelum ini hanya diberikan kepada sekutu terdekatnya, yakni Inggris, saat Angkatan Laut Kerajaan (The Royal Navy) memasuki era kapal selam nuklir 63 tahun silam (tahun 1958).
Kini, AS dan Inggris akan membantu Australia membangun armada berkekuatan sedikitnya delapan kapal selam bertenaga nuklir. Rincian mengenai jenis dan teknologi lain akan dibahas dalam tempo 18 bulan ke depan.
AUKUS pada satu sisi sangat memukul Perancis, yang sebelumnya sudah meneken kesepakatan dengan Australia untuk memasok 12 kapal selam konvensional kelas Attack dalam program senilai 90 miliar dollar Australia. Meskipun konvensional, kelas Attack diturunkan dari kapal selam bertenaga nuklir Perancis, Barracuda (Warships, 5/21).
Teknologi dan implikasinya
Pilar SSN yang bisa membuat jelajahnya tak terbatas tidak lain adalah mesin propulsinya tak konvensional, tetapi dari bahan radioaktif yang juga digunakan dalam bom atom, yakni dari uranium yang diperkaya. Istilah diperkaya merujuk pada ilmu fisika nuklir di mana uranium 238 yang di alam stabil tidak membelah diri ”dimurnikan” dengan mencari yang berisotop 235, yaitu isotop yang daya belah (fisil/radioaktif)-nya tinggi.
AUKUS pada satu sisi sangat memukul Perancis, yang sebelumnya sudah meneken kesepakatan dengan Australia untuk memasok 12 kapal selam konvensional kelas Attack dalam program senilai 90 miliar dollar Australia.
AS dan Inggris menggunakan uranium yang sangat diperkaya—jadi sudah setaraf dengan yang digunnakan untuk bahan bom nuklir untuk bahan bakar kapal selam mereka, sedangkan Perancis dan China menggunakan uranium yang berkadar U-235 yang lebih rendah. Meskipun bisa, penggunaan U-235 yang lebih rendah mempunyai kekurangan, yaitu reaktor perlu dibuat lebih besar, dan harus lebih sering mengisi bahan bakar.
Apa pun tingkat pengayaannya, dan juga teknologi reaktor nuklir yang digunakan, yang umum adalah reaktor air bertekanan, penggunaan reaktor nuklir sebagaimana PLTN menjadi satu hal yang mengundang kecurigaan. Sebab, salah satu hasil sampingan reaksi berantai nuklir yang penting adalah plutonium, yang juga bisa menjadi bahan bom atom (tipe yang digunakan dalam bom atom AS yang dijatuhkan di Nagasaki, Jepang, pada 9 Agustus 1945).
Jika sekarang penyimpanan dan peredaran bahan bakar radioaktif sanggat ketat dikontrol oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA), sejumlah negara kemudian mengincar bahan bakar bom nuklir dengan mengoperasikan kapal selam nuklir.
Australia, yang akan mengoperasikan SSN, menegaskan, pihaknya tidak akan menyalahgunakan bahan radioaktif dari kapal selam nuklirnya nanti. Namun, kalangan pemerhati non-proliferasi (anti-penyebarluasan senjata nuklir) menyoroti pemasokan SSN ke Australia sebagai preseden bagi negara peminat senjata nuklir, baik yang terang-terangan ingin mendapatkannya maupun yang tetap ingin membuka opsi senjata nuklir untuk pertahanan negara masa depan.
Baca juga: Indonesia Prihatin Atas Berlanjutnya Perlombaan Senjata di Kawasan
Menurut The Economist, di masa lalu Iran sempat memperhatikan ide SSN. Korea Selatan yang merasa masih harus menghadapi ancaman Korut (yang menginginkan SSN), sudah menjajaki tipe SSN sejak 1990-an. Brasil sedang membangun SSN Alvaro Alberto bekerja sama dengan Perancis (IISS, Economist).
Pertimbangan geopolitik, akan makin aktifnya China di Laut China Selatan dan Pasifik, pada umumnya menjadi alasan kuat yang membuat AS (dan Inggris) merasa perlu mengajak Australia ikut memperkuat kehadiran di kawasan. Namun, sebenarnya yang mengintai adalah konsekuensi dari penyebarluasan SSN yang menghasilkan bahan radioaktif berkadar tinggi.
Pengamat khawatir bahwa pertimbangan geopolitik ini mengalahkan pertimbangan non-proliferasi (senjata nuklir). Bisa dibayangkan jika untuk alasan geopolitik di Timur Tengah atau di kawasan lain, negara pemilik SSN memasok tipe ini ke sekutunya, akan ada banyak bahan radioaktif yang semakin sulit diperiksa oleh inspektur IAEA.
Jika direnungkan lebih dalam, aspek proliferasi tampaknya telah dikalahkan oleh pertimbangan geopolitik, hal yang juga potensial memacu lomba senjata. Pihak yang merasa terancam bisa menambah armada untuk mengimbangi lawan yang semakin tangguh mengepung, atau memperkuat alutsista negara yang dipandang sebagai sekutu dengan alutsista yang setaraf. Harus diakui, kecanggihan teknologi juga menuntut biaya tidak kecil, dan kecanggihan sumber daya manusia untuk mengoperasikannya.