Pemerintah Indonesia memilih menempuh pendekatan agresif dengan mempersempit manuver Vanuatu di berbagai forum. Pemerintah Indonesia juga membangun kemitraan dengan negara-negara lain di Pasifik.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
NEW YORK, SABTU — Isu pelanggaran hak asasi manusia di Papua kembali diangkat oleh Vanuatu. ”Pelanggaran HAM terjadi secara luas di seluruh dunia,” kata Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman Weibur. ”Di wilayah saya, masyarakat adat Papua Barat terus menderita pelanggaran HAM,” kata Loughman dalam rekaman pidato yang disampaikan dalam Sidang Umum Ke-76 Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Merujuk pada isi pidato PM Vanuatu dalam Sidang Umum Ke-76 PBB 2021 yang terdiri dari tujuh halaman, pernyataan soal HAM di Papua tercantum satu paragraf sebelum kesimpulan dan sekaligus penutupan pidato Loughman. Pidatonya lebih banyak berbicara situasi dan tantangan yang dihadapi Vanuatu dan Pasifik secara umum, khususnya menghadapi pandemi Covid-19 dan fenomena perubahan iklim. Soal HAM dirangkaikan dengan isi pidatonya soal dekolonisasi.
Isu pelanggaran HAM di Papua dan isu penentuan nasib sendiri yang diangkat Vanuatu bukanlah hal baru. Sekurangnya sejak tahun 2004 lalu, negara di kawasan Pasifik Selatan tersebut selalu menyelipkan tuduhannya terhadap Indonesia di forum resmi PBB. Pada Sidang Umum PBB tahun 2020, hal serupa juga diungkapkan Bob Loughman.
Dalam pidatonya kali ini, Loughman mengatakan, pihaknya telah meminta Pemerintah Republik Indonesia mengizinkan Kantor Komisaris HAM PBB untuk mengunjungi Papua dan memberikan penilaian independen terhadap situasi HAM di wilayah itu. Menurut dia, sampai saat ini hanya ada sedikit kemajuan dalam hal itu. ”Saya berharap masyarakat internasional melalui proses yang dipimpin PBB memperhatikan masalah ini dan mengatasinya dengan adil,” katanya.
Tanggapan
Dalam tanggapannya, Sindy Nur Fitri, Sekretaris Ketiga Perwakilan Tetap RI di New York, mengkritik Vanuatu yang terus-menerus menggunakan forum PBB untuk mengusik kedaulatan dan integritas wilayah negara lain. Vanuatu dinilai terus melakukan agresi dengan maksud tercela dan motif politik untuk melawan Indonesia. ”Kami secara tegas menolak seluruh tuduhan tidak benar, tidak berdasar, dan menyesatkan yang terus dipelihara oleh Vanuatu,” kata Sindy.
Vanuatu berupaya mengesankan dunia, seolah-olah negara itu peduli terhadap isu-isu HAM. Pada kenyataannya, HAM versi mereka diputarbalikkan dan Vanuatu sama sekali tidak hirau atas tindak teror keji serta tidak manusiawi yang dilakukan oleh kelompok kriminal separatis bersenjata di Papua.
Sindy menyatakan, tuduhan tersebut menciptakan harapan palsu dan kosong serta hanya memicu konflik yang mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Dalam tanggapannya, Sindy mengatakan, Vanuatu berupaya mengesankan dunia, seolah-olah negara itu peduli terhadap isu-isu HAM. Pada kenyataannya, HAM versi mereka diputarbalikkan dan Vanuatu sama sekali tidak hirau atas teror keji serta tidak manusiawi yang dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata di Papua.
Vanuatu dikatakan secara sengaja menutup mata ketika kelompok separatis itu membunuh para perawat, tenaga kesehatan, guru, pekerja konstruksi, dan aparat penegak hukum di Papua. Padahal, mereka adalah orang-orang yang mendedikasikan hidupnya bagi masyarakat Papua. ”Ketika ada sejumlah pekerja konstruksi yang dibunuh secara brutal, mengapa Vanuatu memilih diam?” kata Sindy. ”Ketika para guru dibunuh tanpa belas kasihan, mengapa Vanuatu memilih diam?”
Lebih lanjut, Pemerintah RI menilai, Vanuatu terus-menerus mencoba mempertanyakan status Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap Vanuatu itu dinilai telah melanggar tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB dan bertentangan dengan Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States. ”Kita tidak boleh membiarkan penghinaan terhadap Piagam PBB semacam ini terus dilakukan di forum ini,” kata Sindy.
Tuduhan soal pelanggaran HAM di Papua oleh Vanuatu dan respons Pemerintah RI di Sidang Umum PBB kerap kali menarik perhatian publik di Tanah Air. Publik tampak heran karena Vanuatu terlihat berani menantang Indonesia. Sempat pada 2016-2017 sejumlah negara di kawasan Pasifik juga mengangkat isu Papua. Namun, jumlah mereka berangsur-angsur menyusut dan saat ini kembali tinggal Vanuatu yang ngotot.
Gerakan politik juga dilakukan di luar forum PBB. Pada April 2021, pemimpin oposisi Vanuatu, Ralph Regenvanu, menegaskan, Vanuatu harus terus memastikan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) mendapat keanggotaan di Melanesian Spearhead Group (MSG). Organisasi sub-regional ini meliputi beberapa negara di Pasifik Selatan.
Sebagaimana disampaikan Duta Besar (Dubes) RI untuk Selandia Baru, Samoa, dan Kerajaan Tonga yang juga Dubes Keliling RI untuk Pasifik Tantowi Yahya, faktor utama yang berkaitan dengan sikap Vanuatu itu adalah pernyataan dari PM pertama Vanuatu, Walter Lini. Pada 1980, saat Vanuatu merayakan kemerdekaannya dari Inggris, Lini menyebutkan bahwa Vanuatu tidak akan sepenuhnya merdeka sampai sisa bangsa Melanesia, termasuk di Papua, bebas secara politik.
Faktor kedua adalah konstitusi Vanuatu, The Constitution Supreme Law. Bagian kedua konstitusi itu mengatur hak dan kewajiban dasar manusia. Disebutkan dalam konstitusi itu bahwa setiap manusia harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan.
Kementerian Luar Negeri RI menilai isu solidaritas etnis Melanesia adalah komoditas politik domestik Vanuatu. Isu itu dinilai sebagai isu strategis karena mendapatkan perhatian dan dukungan luas dari masyarakat Vanuatu. Begitu strategisnya isu solidaritas ini sampai bisa menepikan isu domestik yang masih menjadi tantangan Vanuatu, seperti pendidikan, kesehatan, HAM, dan ketahanan pangan.
Menanggapi Vanuatu, Pemerintah Indonesia memilih membangun kemitraan dengan negara-negara di Pasifik. Kemitraan itu di antaranya diwujudkan dalam pengembangan kerja sama teknik dan kerja sama pembangunan kepada negara-negara Pasifik. Tahun lalu, Jakarta memberikan dukungan penanggulangan Covid-19 untuk Fiji, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini. (BEN)