Tak Ada Akses bagi Taliban di Sidang Majelis Umum PBB
Keinginan kelompok Taliban, yang kini memerintah di Afghanistan, untuk mendapat akses di forum PBB terkendala oleh belum adanya pengakuan Komite Kredensial terhadap mereka.
Oleh
Mahdi Muhammad dan Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
NEW YORK, RABU – Keinginan pemerintahan Taliban di Afghanistan untuk ambil bagian dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memberikan tekanan tersendiri bagi organisasi multilateral itu dan sejumlah anggotanya. Taliban membekukan mandat Duta Besar Afghanistan di PBB Ghulam Isaczai, yang ditunjuk pemerintahan lama di bawah Presiden Ashraf Ghani yang sudah digulingkan. Mereka juga berupaya mendapatkan giliran untuk berpidato di hadapan para pemimpin dunia.
Situasi itu menimbulkan dilema karena memberikan lampu hijau bisa diartikan sebagai pengakuan politik terhadap pemerintahan Taliban dan “merestui” penggulingan pemerintahan Ashraf Ghani yang sah karena terpilih melalui pemilihan umum.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, di sela-sela sidang Majelis Umum (MU) PBB di New York, AS, Selasa (21/9/2021), menjelaskan, lima hari setelah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menerima komunikasi Dubes Afghanistan terakreditasi, Ghulam Isaczai, Taliban dalam surat berkop ”Emirat Islam Afghanistan” meminta agar PBB memberikan kesempatan kepada Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi untuk berpidato pada hari terakhir sidang MU PBB, Senin (27/9).
Dalam surat yang sama, Muttaqi juga menulis bahwa misi Isaczai telah berakhir seiring penggulingan pemerintahan Ghani, 15 Agustus lalu. Isi surat itu, menurut juru bicara Guterres, Farhan Haq, membuat tidak nyaman Isaczai.
Taliban mengatakan, mereka mencalonkan duta besar barunya untuk PBB, Mohammad Suhail Shaheen. Dia adalah juru bicara Taliban selama negosiasi damai di Qatar.
Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa mereka mengetahui adanya permintaan dari Taliban tersebut. AS adalah anggota Komite Kredensial bersama delapan anggota lainnya, yaitu China, Rusia, Bahama, Bhutan, Chile, Namibia, Sierra Leone, dan Swedia, yang berwenang memutuskan perwakilan negara anggota di PBB. Deplu AS, katanya, tidak bisa memperkirakan keputusan yang akan diambil komite.
Namun, menurut seorang pejabat lainnya, Komite Kredensial membutuhkan waktu untuk bisa memutuskan hal itu. Ia mengindikasikan bahwa utusan Taliban tidak akan bisa berpidato dalam sidang MU saat ini.
Menurut sejumlah diplomat, Komite Kredensial memerlukan waktu cukup lama untuk mengeluarkan laporan tentang kredensial semua anggota PBB sebelum diserahkan ke MU agar bisa mendapatkan persetujuan. Laporan dan persetujuan itu biasanya dibuat sebelum akhir tahun.
Guterres mengatakan, keinginan Taliban meraih pengakuan internasional patut dihargai. Namun, negara-negara akan terlebih dahulu menilai bagaimana Taliban mewujudkan komitmennya, termasuk janji untuk membangun pemerintahan yang inklusif, menghormati hak asasi manusia, serta mengakomodasi hak-hak perempuan dan kelompok minoritas di Afghanistan.
Sementara itu, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al- Thani ketika berbicara di podium MU PBB mendesak para pemimpin dunia agar tidak mengabaikan Taliban. Qatar memainkan peran penting di Afghanistan setelah penarikan AS. Dia juga menekankan perlunya menjalin dialog dengan Taliban.
Menurut dia, boikot hanya mengarah pada polarisasi dan reaksi, sedangkan dialog dapat membawa hasil yang positif.
Ketika Taliban terakhir memerintah tahun 1996 hingga 2001, PBB menolak untuk mengakui pemerintah mereka dan sebaliknya memberikan kursi Afghanistan kepada wakil pemerintahan Presiden Burhanuddin Rabbani yang digulingkan. Pemerintahan Rabbani kemudian membawa dalang serangan 9/11, Osama bin Laden, bermigrasi dari Sudan ke Afghanistan pada 1996.
Bantuan keuangan
Taliban mengatakan, mereka menginginkan pengakuan internasional dan bantuan keuangan untuk mengatasi krisis dan membangun kembali Afghanistan. Namun, susunan pemerintahan baru Taliban menimbulkan dilema bagi PBB. Beberapa menteri dalam kabinet Taliban saat ini masuk dalam daftar hitam teroris internasional dan penyandang dana terorisme oleh PBB.
Kekeringan di Afghanistan saat ini diperkirakan akan memberikan dampak luar biasa bagi rakyat saat semua bantuan keuangan asing, yang menyumbang 40 persen dari produk domestik bruto, terhenti. Kini, kenaikan harga bahan pokok seperti tepung, bahan bakar, dan beras telah memberikan tekanan baru dalam kehidupan ekonomi-sosial Afghanistan.
Bahkan, menurut data Bank Pembangunan Asia (ADB), sebelum Taliban merebut Kabul pada 15 Agustus, 47 persen penduduk Afghanistan hidup dalam kemiskinan. Sepertiganya dari jumlah itu hanya memiliki uang sekitar 1,90 dollar AS per hari untuk bertahan hidup. Warga juga tak bisa menarik uangnya dari bank, yang telah dibatasi hanya 200 dollar AS per pekan. Lapangan pekerjaan juga sangat terbatas atau bahkan tidak ada.
Bantuan internasional sejauh ini difokuskan pada bantuan kemanusiaan. Wakil Sekjen PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat Martin Griffiths mengatakan, PBB telah mengeluarkan dana sekitar 45 juta dollar AS dalam bentuk dana darurat untuk membantu mencegah runtuhnya sistem perawatan kesehatan.
Dana itu disalurkan melalui lembaga kesehatan dan anak-anak PBB yang memungkinkan mereka, bersama lembaga swadaya masyarakat yang ada di Afghanistan, menjaga tetap beroperasinya rumah sakit, pusat penanganan Covid-19, dan fasilitas kesehatan lainnya hingga akhir 2021.
Upaya Taliban mencalonkan Shaheen sebagai Dubes Afghanistan untuk PBB merupakan langkah awal guna mengakses aset dan cadangan devisa sebesar 9 miliar dolar AS, yang tersimpan di luar negeri. Dana itu sangat diperlukan untuk memulihkan ekonomi Afghanistan yang hancur akibat perang. (AP/AFP/REUTERS)