Indonesia Diminta Lebih Tegas soal Aliansi Militer AUKUS
Indonesia tak bisa menutup mata. Politik bebas aktif dan netralitas bukan berarti tidak mengambil tindakan apa pun. Ketegasan pemerintah menolak ataupun mendukung AUKUS harus dinyatakan kepada dunia internasional.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kehadiran pakta pertahanan antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia atau AUKUS tidak hanya berkisar pada soal keberadaan kapal selam bertenaga nuklir yang berpatroli di Laut China Selatan (LCS). Kemunculan aliansi itu dinilai sebagai awal pembentukan kekuatan global baru. Pemerintah Indonesia diharapkan memberikan sikap lebih tegas.
Topik ini dibahas dalam diskusi bertema ”Perang Supremasi Amerika Serikat Versus China Akankah Meledak di Laut China Selatan?” yang digelar Partai Gelora Indonesia secara daring, Rabu (22/9/2021). Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Achmad Yani, Hikmahanto Juwana, menjelaskan, AS dan China memiliki metode perluasan supremasi yang berbeda.
AS cenderung menggunakan politik dan militer untuk mencapai tujuan menanam pengaruh di kawasan. Sebaliknya, China menggunakan metode penanaman investasi dan perdagangan sebagai cara untuk menjadi pemain penting di Indo-Pasifik. Permasalahan di LCS bermula ketika China melakukan klaim dengan sistem Sembilan Garis Putus-putus yang mengakibatkan 80 persen wilayah perairan ini sebagai milik mereka.
Kapal-kapal patroli, dan belakangan ini Angkatan Laut China, mulai kerap memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang kemudian mengganggu kestabilan di LCS. Filipina dengan dukungan AS mengadukan perkara ini kepada Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016 memutuskan bahwa sistem Sembilan Garis Putus-putus itu tidak sah. Keputusan ini ditolak China.
Keadaan semakin pelik ketika pakta AUKUS dibentuk oleh AS, Inggris, dan Australia. Dengan pakta itu, Australia akan dibantu AS dan Inggris dalam pengadaan delapan kapal selam bertenaga nuklir.
“Di sini sikap pemerintah Indonesia dipertanyakan karena negara kita memercayai prinsip antisenjata nuklir. Apabila Korea Utara dan Iran diembargo karena mengembangkan persenjataan nuklir, mampukah Indonesia mengembargo AS, Inggris, dan Australia?” kata Hikmahanto.
Sementara itu, pakar militer Connie Rahakundini Bakrie menjelaskan bahwa AUKUS ini tak hanya kerja sama soal LCS, tetapi memiliki agenda yang lebih luas. AUKUS ini menandai munculnya kekuatan global baru. Pertemuan negara-negara anggota aliansi itu sudah pada tingkat menteri, yang menunjukkan mereka memasuki hal-hal yang substantif.
“Ini mencakup soal infodemi, yaitu melakukan penyebaran informasi maupun hoaks kepada siapa pun yang dinilai menghalangi agenda AUKUS. Ada juga penambahan posko militer kekuatan aliansi, peningkatan logistik, dan penambahan kapasitas militer negara-negara anggotanya,” tutur Connie.
Menurut dia, Indonesia tak bisa menutup mata. Politik bebas aktif dan netralitas bukan berarti tidak mengambil tindakan apa pun. Ketegasan pemerintah menolak ataupun mendukung AUKUS harus dinyatakan kepada dunia internasional.
Apabila Indonesia menentang peredaran senjata nuklir di dekat wilayahnya, lanjut Connie, sistem pertahanan nasional harus diperkuat. Operasional TNI juga harus berbasis ancaman dan risiko di masa depan, bukan dikelola berbasis anggaran.
Apabila dilihat dari kekuatan militer, Indonesia menduduki peringkat ke-16 dari 140 negara. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan bahwa kapasitas militer kini tak hanya bergantung kepada jumlah senjata dan personel. Faktor terpenting ialah kepemilikan teknologi canggih, seperti kapasitas siber dan pesawat nirawak yang tak hanya diperoleh dari membeli kepada negara lain, tetapi juga pengembangan ilmu pengetahuan dalam negeri. (Kompas, 10 Juli 2021).
Menyikapi AUKUS, Jumat lalu, Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan keprihatinan Indonesia atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan. Jakarta menekankan kepada Canberra kewajiban pengendalian nuklir. Australia didorong memenuhi kewajiban menjaga kedamaian, stabilitas, dan keamanan kawasan. Indonesia juga mengingatkan semua pihak untuk menghormati hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI, Laksamana Muda (Purnawirawan) Soleman Pontoh menjelaskan bahwa Indonesia memiliki kesempatan melalui ASEAN untuk menjadi penengah dan pendamai di sengketa ini. Namun, hal ini hanya bisa dicapai apabila Indonesia bisa mengemukakan ketegasan pandangannya.
”Pada intinya, ASEAN sudah menegaskan penolakan terhadap rivalitas di LCS dan mengedepankan kebebasan navigasi. Ini harus kita kemukakan lagi,” katanya.
Soleman menyebutkan, sejatinya keputusan UNCLOS tidak memberi solusi kepada sengketa di LCS. Keputusan arbitrase itu hanya mengatakan bahwa tidak ada negara dan pulau di LCS yang berhak mengklaim jarak 200 mil laut. UNCLOS tidak menentukan kepemilikan pulau dan zona maritim.
“Padahal, isu di LCS adalah perebutan Kepulauan Spratly dan Paracel. Selama ini tidak ada solusi yang diterima secara internasional, sengketa akan terus berlangsung,” ujarnya.