Amerika Serikat terus menambah bantuan vaksin untuk sejumlah negara. Langkah itu menjadi bagian dari upaya AS menjaga marwahnya sebagai salah satu aktor utama geopolitik dunia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengumumkan, pihaknya akan menambah sumbangan vaksin global sebanyak 500 juta dosis. Dalam keterangannya pada Sidang Ke-76 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Biden menyatakan ingin membuat AS sebagai pemain penting dalam diplomasi vaksin.
”AS adalah pemain penting dan penjaga marwah demokrasi selama Perang Dunia II. Sekarang, di masa pandemi ini, AS juga akan menjaga marwah sebagai pusat vaksin global,” kata Biden dalam pidatonya di depan para kepala negara dunia terkait penanganan pandemi di Markas PBB, New York, Rabu (22/9/2021).
Keterangan lebih lanjut yang dikeluarkan Gedung Putih menyebutkan, 500 juta dosis vaksin itu adalah merek Pfizer-BioNTech. AS menargetkan sampai dengan akhir tahun 2022 akan menyumbang vaksin Covid-19 sebanyak 1,1 miliar dosis. Sejauh ini, AS telah mendistribusikan 160 juta dosis ke 100 negara dan ditambah sumbangan tunai sebesar 15 miliar dollar AS.
”Saya juga menantang semua kepala negara untuk bisa memenuhi target memvaksinasi 70 persen penduduk masing-masing per September 2022. Pandemi ini adalah masalah bersama dan hanya bisa kita taklukkan melalui kerja sama bahu-membahu,” tutur Biden.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), para kepala negara, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat menyambut baik pidato Biden. Akan tetapi, mereka tetap menunggu keteguhan komitmen itu dengan bukti. Pasalnya, AS termasuk negara yang hampir selama dua tahun pandemi menumpuk vaksin untuk diri sendiri dengan alasan memprioritaskan kepentingan warganya.
Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus juga mengkritik AS karena setelah berhasil memvaksinasi penuh 55 persen warganya atau 64 persen warga—jika dihitung dengan mereka yang baru memperoleh dosis pertama—malah melakukan suntikan penguat (booster). Padahal, mereka memiliki ratusan juta dosis vaksin yang akan lebih bermanfaat apabila dibagi-bagi ke negara yang membutuhkan.
Data WHO menyebutkan, sudah 5,9 miliar dosis vaksin Covid-19 yang disuntikkan atau setara dengan 43 persen penduduk bumi. Akan tetapi, kenyataannya, penyebaran vaksin ini tidak merata. Negara-negara di Eropa Barat secara keseluruhan telah mengimunisasi 60 persen penduduknya. Sebaliknya, seluruh Benua Afrika baru mengimunisasi 3,6 persen warganya. Jika jumlah ini diangkat lebih jauh, baru 2 persen penduduk negara-negara miskin yang telah menerima vaksinasi.
PBB memiliki skema Covax untuk mendistribusikan vaksin kepada negara-negara miskin dan berkembang. Hingga bulan September, baru 296 juta dosis vaksin yang disalurkan melalui Covax. Vaksin itu didistribukan kepada 141 negara. Setelah dibagikan, tentu jumlahnya sangat terbatas bagi setiap negara. Sebagai catatan, negara-negara kaya baru memberi 15 persen dari total dosis vaksin yang mereka janjikan untuk skema Covax.
Selain AS, Uni Eropa juga mengeluarkan pernyataan hendak menyumbang 500 juta dosis vaksin. Para pengamat menilai, keputusan kedua pihak ini adalah demi menjegal diplomasi vaksin China yang hingga kini telah menyumbang 1,1 miliar dosis vaksin dan terus berkomitmen menambah jumlahnya. Salah satu pengkritik keputusan AS dan UE ini adalah Direktur Oxfam AS Abby Maxman.
”Seperti biasa, ini omongan belaka. Prosedur pengadaan vaksin dari AS dan UE selalu memerlukan waktu yang lama dengan alasan keterbatasan produksi, logistik, dan lain sebagainya. Sebelum dunia melihat tindakan nyata, kita belum bisa menilai,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Bidang Kesehatan Medecins Sans Frontieres Maria Guevara dalam wawancara dengan harian Guardian menagih janji penangguhan hak cipta dan kekayaan intelektual yang digaungkan oleh Biden.
Produsen-produsen vaksin yang dipakai AS, yakni Pfizer-BioNTech dan Moderna, tidak menunjukkan itikad mengikuti komitmen ini. Moderna sudah membuat kesepakatan akan melakukan produksi di sejumlah negara, tetapi ini belum cukup untuk penanganan pandemi. Adapun Pfizer bergeming soal penangguhan hak cipta. (AP/AFP)