Terkait Perang Narkoba, Duterte Coba Hindari Penyelidikan Internasional
ICC telah menyerukan penyelidikan penuh terhadap dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang anti-narkoba di Filipina.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — Di depan Sidang Umum PBB, Selasa (21/9/2021), Presiden Filipina Rodrigo Duterte, antara lain, menyampaikan isu perang kontroversial Manila. Dalam pidato secara daring itu Duterte mengaku telah meminta otoritas hukum untuk menyelidiki pihak yang bertindak di luar batas.
Pidato Duterte itu mengesankan bahwa dia menolak desakan sejumlah pihak agar Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) menggelar penyelidikan atas kebijakan ’perang narkoba’. Sebelumnya, pada Juni 2021, jaksa ICC telah menyerukan penyelidikan penuh terhadap dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan selama perang anti-narkoba yang diprakarsai Duterte.
Namun, Duterte pada 15 September lalu menolak penyelidikan ICC. Dia mengklaim Filipina telah keluar dari Statuta Roma dan ICC tidak lagi memiliki yurisdiksi. Menurut ICC, penyelidikan dibenarkan karena dugaan pembunuhan di luar proses hukum di Filipina terjadi pada Juli 2017 hingga Maret 2019.
Di depan peserta Sidang Ke-76 Majelis Umum PBB, Duterte mengklaim telah menginstruksikan Departemen Kehakiman dan Kepolisian Filipina untuk menyelidiki pelaksanaan kampanye nasional melawan narkoba. Duterte sendiri meluncurkan operasi antinarkotika sejak dia berkuasa tahun 2016. Operasi itu diarahkan untuk menangani merajalelanya narkoba di negeri itu.
Namun, perang melawan narkoba yang diinisiasi Duterte diduga telah dilakukan dengan mengesampingkan asas hukum dan HAM. Duterte sering dikecam politisi, tokoh agama, dan kelompok pegiat hak asasi manusia, termasuk Amnesty International.
Duterte menjadi sasaran kritik masyarakat internasional dan berbagai kelompok HAM atas apa yang dituduhkan sebagai tindakan pembunuhan di luar hukum. Dia juga dikecam karena menjanjikan amnesti bagi polisi yang dihukum karena kasus pembunuhan dalam ’perang anti narkoba’.
Sejak 2016 hingga kini, perang melawan narkoba di Filipina menyebabkan lebih dari 6.100 tersangka pengedar dan pengguna narkoba tewas. Menghadapi berbagai isu miring terhadap dirinya, Duterte di depan Majelis Umum PBB mengatakan, ”Mereka yang diketahui telah bertindak di luar batas selama operasi harus dimintai pertanggungjawaban di depan hukum kami.”
Duterte tidak menyebutkan penyelidikan formal terhadap kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan. ”Kami baru-baru ini menyelesaikan program bersama kami tentang hak asasi manusia dengan PBB. (Penyelesaian seperti) ini adalah model untuk keterlibatan konstruktif antara negara anggota yang berdaulat dan PBB itu sendiri,” kata Duterte.
”Perubahan yang berarti, agar bertahan lama, harus datang dari dalam. Pemaksaan kehendak seseorang atas orang lain—tidak peduli seberapa mulia niatnya—tidak pernah berhasil di masa lalu. Dan, juga tidak akan pernah (berhasil) di masa depan,” ujar Duterte.
Pemerintah Duterte pekan lalu mengatakan tidak akan bekerja sama dengan ICC atau mengizinkan penyelidik ICC masuk ke Filipina. Duterte dan Kepala Kepolisian Filipina mengatakan, pembunuhan yang terjadi dalam perang narkoba itu merupakan bentuk pembelaan diri. Selain itu, Manila juga bersikeras ICC tidak punya hak untuk mencampuri urusan negara.
Situs berita internal PBB, UN News, melaporkan, Duterte mengaku bahwa pemerintahnya ”memiliki mandat dan kewajiban” kepada rakyatnya dan akan menangani semua penjahat ”dengan kekuatan penuh” hukum negara. Dia mengakui bahwa ”mencapai tujuan ini bukannya tanpa tantangan”.
Kelompok HAM mengatakan, Duterte secara pribadi telah mendorong kekerasan mematikan dalam perang narkoba dan menuduh polisi membunuh tersangka tak bersenjata. Kelompok HAM mengatakan, polisi dengan cepat mengeksekusi tersangka. Namun, tuduhan itu dibantah oleh pihak terkait di lingkungan pemerintahan Duterte.
Pada Februari lalu, polisi Filipina mengatakan mereka sedang mencari tinjauan pemerintah atas kasus-kasus pembunuhan dalam operasi itu. Ada sejumlah catatan, termasuk kasus-kasus yang terjadi beberapa tahun lalu.
Pada 2018, misalnya, tiga perwira polisi Filipina dinyatakan bersalah atas pembunuhan yang menghebohkan terhadap seorang remaja. Ini adalah kasus pertama sejak ’perang melawan narkoba’ dilancarkan Duterte. Pengadilan menghukum mereka hingga 40 tahun penjara atas pembunuhan yang dilakukan pada 2017 terhadap Kian Delos Santos, remaja berusia 17 tahun.
Akan tetapi, dalam pidato kenegaraan akhir Juli lalu, Duterte tetap mempertahankan perang total melawan narkoba. Kepada ICC Duterte menegaskan, perang terhadap narkoba belum selesai.
Duterte, seperti dilaporkan Voice of America, saat itu mempertahankan tindakannya melawan narkoba dengan menyatakan kampanye itu berhasil menurunkan tingkat kejahatan dan meningkatkan kedamaian dan ketertiban. ”Jalan kita masih panjang untuk berjuang melawan narkoba yang terus berkembang,” kata Duterte.
Ronald Dela Rosa, kepala polisi pertama yang melancarkan perang anti-narkotika pada tahun 2016, yang kini menjadi senator dan sekutu dekat Duterte, mengatakan pada sidang Senat baru-baru ini bahwa dia adalah ”tertuduh bersama” dengan Duterte menurut hasil penyelidikan ICC.
”Saya lebih suka diadili, dihukum, dan bahkan digantung di depan pengadilan Filipina daripada diadili, dihukum, dan digantung di depan pengadilan asing,” kata Dela Rosa dalam sidang anggaran Komisi Hak Asasi Manusia Filipina. (REUTERS/AFP)