Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan, dunia tengah berada dalam situasi krisis terburuk. Ini terlihat dari kesenjangan antara negara kaya dan miskin.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NEW YORK, SELASA — Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, para pemimpin dunia kembali ke markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, Selasa (21/9/2021). Sidang Ke-76 Majelis Umum PBB digelar di tengah meningkatnya krisis global akibat pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhir dan bumi yang semakin panas.
Aura perang dingin juga mewarnai pertemuan ini setelah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia membentuk AUKUS, pakta militer baru untuk mengimbangi pengaruh China yang semakin besar di wilayah Indo-Pasifik. Masalah mendesak lainnya yang mendapat perhatian dunia adalah tanda tanya masa depan Afghanistan setelah Taliban berkuasa kembali serta konflik di Yaman, Suriah, dan Tigray yang makin memanas.
Tahun lalu, tidak ada pemimpin dunia yang hadir di New York karena setiap negara fokus pada upaya menghambat laju penularan Covid-19. Semua pidato kepala negara disampaikan dalam bentuk rekaman.
Tahun ini, PBB memberikan dua pilihan, pertemuan berlangsung secara daring seperti tahun lalu atau tatap muka. Lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan memutuskan untuk hadir secara langsung di aula Majelis Umum PBB.
Salah arah
Membuka sidang, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan arah dan kebijakan yang salah dalam pengelolaan krisis global yang mengancam kehidupan manusia di bumi. Dia meminta agar semua pemimpin dan warga dunia terbangun dari tidurnya. Dia mengatakan, dunia kini tengah berada dalam situasi krisis terburuk yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
Guterres mengatakan, pandemi Covid-19 membuka semua kebobrokan yang terjadi dalam pengelolaan sistem global, terutama kesenjangan antara negara kaya dan miskin. ”Solidaritas global menghilang ketika dunia sangat membutuhkannya,” katanya.
Dalam pandangannya, ketidaksetaraan antara negara maju dan negara miskin semakin memburuk. Dia menyenggol para miliuner yang kini berlomba menuju luar angkasa, sementara di banyak bagian dunia rakyat masih berada dalam situasi yang buruk, seperti kelaparan, konflik, dan akses kesehatan tidak memadai.
Pandemi, kata Guterres, juga menyadarkan bahwa di negara-negara maju dan berkembang rakyat sudah mendapatkan setidaknya satu dosis vaksin Covid-19. Sementara itu, 90 persen rakyat di Afrika masih menunggu dosis pertamanya.
”Kita memperlihatkan ketidakpatutan. Kita lulus ujian pemanfaatan ilmu pengetahuan, tetapi kita gagal dalam ujian etika,” kata Guterres.
Soal bencana iklim, Guterres juga membunyikan lonceng tanda bahaya tentang potensi kenaikan suhu 2,7 derajat celsius dibandingkan dengan suhu pada saat zaman pra-indusri. Lenyapnya habitat tumbuhan dan hewan, peningkatan suhu bumi, polusi air, polusi udara, serta berbagai bencana terkait perubahan iklim menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa jendela untuk memperbaiki kondisi dunia semakin cepat menutup. ”Kita harus menganggapnya serius dan harus bertindak cepat,” kata Guterres.
Secara tradisi, negara pertama yang berbicara di hadapan sidang Majelis Umum PBB adalah Brasil. Namun, persyaratan untuk masuk ke dalam wilayah AS adalah vaksinasi penuh atau setidaknya tes Covid-19, keduanya telah ditolak Presiden Brasil Jair Bolsonaro. Dia menyatakan, dia pernah terinfeksi Covid-19 dan karena itu memiliki antibodi yang tinggi.
Bolsonaro mengangkat isu lingkungan. Dia dikritik karena meningkatnya deforestasi di hutan hujan Amazon untuk pertambangan dan pertanian.
Pidato yang paling dinantikan adalah pidato Presiden AS Joe Biden, Presiden China Xi Jinping, dan pemimpin baru Iran Ebrahim Raisi. Presiden Joko Widodo dijadwalkan menyampaikan pidato melalui rekaman video pada Rabu (22/9) sore waktu setempat atau Kamis dini hari WIB.
Pembelaan Biden
Biden, dalam pidatonya membela penarikan pasukan AS dan sekutu yang kacau dari Afghanistan. Dia mempertahankan pendapat bahwa penarikan itu langkah penting bagi kebijakan AS untuk fokus pada tantangan global, mulai dari persoalan sistem antidemokrasi, pandemi Covid-19, hingga perubahan iklim.
”Kami mengakhiri 20 tahun konflik di Afghanistan dan kami menutup era perang tanpa henti. Kami membuka era baru diplomasi tanpa henti,” kata Biden, yang tampil pertama kalinya sebagai presiden dalam sidang Majelis Umum PBB.
Dia juga menjawab tudingan bahwa AS terlibat ”Perang Dingin baru” dengan China. Pemerintahan Biden secara tegas telah mengidentifikasi China sebagai tantangan besar abad ke-21.
”Kami tidak mencari Perang Dingin baru atau dunia yang terbagi dalam blok-blok yang kaku. AS siap bekerja dengan negara mana pun untuk meningkatkan dan mewujudkan resolusi damai, berbagi tantangan meskipun ada ketidaksepakatan di bidang lain,” ujarnya.
Biden berjanji melipatgandakan kontribusi untuk pembiayaan terkait upaya menangani perubahan iklim. Dia mengusulkan kepada Kongres untuk menaikkan dana perubahan iklim menjadi 11,4 miliar dollar AS per tahun mulai tahun 2024.
Sejumlah isu lain, seperti kesepakatan nuklir dengan Iran dan solusi berdirinya dua negara yang berdampingan damai dalam konflik Israel-Palestina, juga disampaikan Biden dalam pidato tersebut.
Presiden China Xi Jinping menurut jadwal akan berada dalam satu sesi yang sama dengan Biden. Namun, Xi tidak hadir dalam kegiatan tersebut dan telah merekam pidatonya untuk disiarkan dalam sidang. (AP/REUTERS/AFP)