Indonesia dan Cita-cita China di Kawasan Indo-Pasifik
China melihat Indonesia sebagai sahabat dekat di kawasan. Dalam beragam kesempatan, termasuk di tengah pandemi, kedua negara terus mengembangkan kerja sama dan kemitraan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Hubungan bilateral antara Indonesia dan China semakin meningkat di kala pandemi Covid-19. Akan tetapi, di saat yang sama, hubungan ini juga dipenuhi berbagai bumbu permasalahan. Sebut saja isu kawasan, seperti klaim atas Laut China Selatan, dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok etnis Uighur di Xinjiang, dan persaingan diplomasi vaksin Covid-19 antara China dan Amerika Serikat.
Guna menjawab berbagai pernyataan terkait dengan permasalahan di atas, Kompas melakukan wawancara ekslusif secara daring dengan Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian pada Selasa (14/9/2021). Xiao yang sudah hampir empat tahun berada di Indonesia memaparkan posisi Indonesia di dalam visi China untuk hadir di kawasan Indo-Pasifik.
”Satu hal yang harus digarisbawahi, prinsip politik luar negeri China ialah damai dan independen. Kami tidak akan ikut campur dengan urusan internal negara lain. Apalagi, Indonesia adalah negara sahabat,” kata Xiao membuka diskusi.
Ia menjelaskan, Indonesia dan China merupakan mitra strategis dan komprehensif. Di luar itu, secara sejarah, hubungan antarmanusia di Nusantara dengan China telah terjalin sejak 2.000 tahun lalu. Pada zaman modern sekarang, fokus hubungan kedua negara saat ini menekankan pada perdagangan yang relatif stabil serta terus meningkat meskipun dunia sedang dalam pandemi Covid-19.
China merupakan mitra dagang nomor satu bagi Indonesia dan negara asal wisatawan asing nomor kedua terbanyak. Sebagai penanam modal, China juga negara nomor dua terbesar setelah Singapura. Investasi dari China ini mencakup dari Hong Kong dan kini sudah mengalahkan jumlah modal yang ditanam oleh Jepang di Indonesia.
”Di awal pandemi, China fokus mengembalikan kekuatan pasar dalam negeri. Setelah pasar domestik kami kembali stabil, baru beralih ke peningkatan neraca perdagangan ekspor dan impor,” kata Xiao. Nilai ekspor dan impor China periode Januari-Juni 2021 adalah 2,79 triliun dollar Amerika Serikat atau naik sebesar 37,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020.
Menurut dia, hal ini karena China melakukan pembenahan ekonomi domestik yang berkaitan erat dengan daya beli masyarakat. Perusahaan-perusahaan raksasa tengah dipantau dan dibina oleh pemerintah guna menghentikan praktik monopoli, persaingan tidak sehat, dan ekspansi modal yang tak teratur. Ketika proses ini berjalan, efeknya juga terasa ke perdagangan luar negeri.
Nilai perdagangan Indonesia dengan China untuk periode Januari-Juni 2021 adalah 63,72 miliar dollar AS. Nilai ekspor dan impor pun relatif seimbang, yaitu ekspor China ke Indonesia senilai 32,44 miliar dollar AS. Adapun impor dari Indonesia ke China senilai 31,28 miliar dollar AS. Investasi langsung di Indonesia seharga 1,04 miliar dollar AS hanya untuk triwulan pertama tahun ini. Jumlah tersebut dua kali lebih lipat dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2020.
China mengekspor baja nirkarat, mesin, dan perangkat elektronik. Adapun Indonesia merupakan pemasok buah-buahan tropis terbesar ke China. Indonesia juga mengekspor nikel olahan atau setengah jadi, kertas, batubara, dan minyak sawit. China merupakan pembeli nomor satu batubara dan minyak sawit Indonesia. Di Provinsi Hainan saja, hampir semua batubara yang dipakai berasal dari Indonesia.
Indonesia dan China menyepakati proyek poros maritim dunia di Asia Tenggara. Berbagai proyek strategis mencakup pembangunan infrastruktur, transportasi, energi, elektronik, dan teknologi informasi. Proyek utama yang sedang berlangsung ialah pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang bisa menghemat waktu perjalanan menjadi 40 menit. Sebanyak 70 persen proyek ini sudah selesai dan, menurut rencana, pada akhir 2022 bisa diresmikan.
Diplomasi vaksin
Dalam penanganan pandemi Covid-19, Indonesia dan China telah bekerja sama sejak awal. Ketika Covid-19 masih dikenal dengan istilah ”penumonia Wuhan”, Indonesia mengirim barang-barang kebutuhan penanganan wabah ke kota tersebut, termasuk alat-alat kesehatan. Gestur ini dibalas oleh China ketika Covid-19 melanda Indonesia. Bahkan, kerja sama vaksin dengan Indonesia merupakan yang terbesar di kawasan Indo-Pasifik.
Per 8 September, China telah mengirim 194,9 juta dosis vaksin Sinovac dan Sinopharm, baik berupa vaksin siap suntik maupun vaksin setengah jadi. Kedua jenis vaksin ini juga telah diuji klinis di Indonesia sehingga kebutuhan spesifik untuk Nusantara bisa terpetakan.
”Kerja sama vaksin juga ditingkatkan ke level transfer teknologi, penangguhan hak cipta, produksi, dan distribusi. Sinovac dan Anhu Zhifei, misalnya, sedang melakukan kajian untuk membuka produksi di Indonesia agar bisa menjadi poros vaksin di kawasan Asia Tenggara,” kata Xiao.
Perusahaan farmasi Indonesia, Bio Pharma, juga dalam proses merampungkan kesepakatan produksi vaksin. Selain itu, Xiao mengungkapkan bahwa ada satu produsen vaksin berbasis mRNA yang tengah melakukan penjajagan untuk bekerja sama memproduksi vaksin dengan perusahaan farmasi lokal.
”Pastinya, China menghargai sikap Pemerintah Indonesia, terutama Presiden Joko Widodo, yang memegang sikap ilmiah. Tidak seperti negara-negara Barat yang selama pandemi melakukan kampanye hitam untuk mediskreditkan China,” ujar Xiao.
Xiao juga tidak menghindar ketika ditanya mengenai situasi yang terjadi terhadap kelompok etnis Uighur di Xinjiang. Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, terjadi penindasan terhadap Uighur melalui kemah-kemah penataran yang dituduh kerap menganiaya warga binaannya. Ada tuduhan kerja paksa, pelarangan warga memiliki keturunan, dan terdapat pula upaya genosida kebudayaan dengan melarang komunitas Uighur yang beragama Islam beribadah ataupun mempraktikkan kebudayaan mereka.
Pekan lalu, pengadilan independen terhadap gugatan genosida Uighur yang dilaksanakan di Inggris memasuki tahap kedua. Sidang dituntaskan pada 16 September. Tujuan gugatan ialah meminta pertanggungjawaban kepada Pemerintah China atas perlakuan tidak adil yang diterima masyarakat Uighur. Sejauh ini, China tidak mengakui ataupun membuka data dan akses terhadap penyelidik persidangan.
Menurut Xiao, Indonesia sebagai negara berpenduduk majemuk sesungguhnya memahami situasi di China. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah China di Xinjiang adalah penanganan gerakan separatis, seperti yang dilakukan di negara-negara lain terhadap pemberontak.
”Jika China dibilang anti-Islam, itu tidak benar. China mendukung kemerdekaan Palestina. Apalagi, tokoh-tokoh Muslim dari Indonesia juga sudah kami undang ke Xinjiang untuk melihat sendiri situasi di sana,” ujarnya.
Ia mengutip data Biro Statistik Nasional China tahun 2020 yang mengatakan bahwa jumlah penduduk Uighur bertambah dari 5,55 juta tahun 2010 menjadi 12,7 juta atau setara 44,96 persen total penduduk di Xinjiang. Sebanyak 42 persen penduduk adalah kelompok etnis Han dan sisanya adalah kelompok etnis lainnya. Selain itu, juga ada pengakuan kesenian muqam sebagai Warisan Budaya Takbenda Unesco dan penggunaan tujuh bahasa sebagai pengantar di sekolah-sekolah.
Upaya mendiskreditkan China merupakan topik yang dikemukakan oleh Xiao terkait tuduhan Barat terhadap China. Sama seperti isu Uighur, perkara di Laut China Selatan, menurut dia, juga dipakai untuk merusak reputasi China di kawasan. Sejatinya, kehadiran China di LCS berlangsung selama berabad-abad. Permasalahan yang ada sekarang adalah warisan dari sejarah, bukan diciptakan baru.
”Pada prinsipnya, China mengedepankan dialog dengan setiap negara yang bersangkutan. Kami tidak memilih jalan kekerasan meskipun sebenarnya mampu. Jika solusi belum tercapai, China memilih untuk menjaga agar situasi tetap stabil karena yang penting semua dikerjakan secara internal, bukan dengan ikut campur pihak luar,” kata Xiao.
Prinsip itu pula yang menjadi alasan China menolak arbitrase Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 2016 yang menyatakan bahwa LCS dibagi wilayahnya antara China, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Taiwan. Menurut China, hasil UNCLOS itu tidak sah karena diajukan sepihak oleh Filipina walaupun China juga anggota UNCLOS. Mereka tetap mendorong dialog langsung dengan Filipina.