China dan AS Akhirnya Seide dan Sehati Tangani Iklim
Amerika Serikat dan China—di tengah perseteruan mereka—memiliki sikap dan komitmen yang sama tentang isu krisis iklim. Mereka sepakat menggenjot upaya pengurangan emisi karbon.
Oleh
Luki Aulia
·6 menit baca
Dunia boleh tersenyum dan berlega hati. Dua negara adidaya, China dan Amerika Serikat, akhirnya sama-sama bergerak konkret mengatasi isu iklim. Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Selasa (21/9/2021), berjanji akan menambah jumlah bantuan finansial dua kali lipat khusus bagi negara miskin yang terdampak krisis iklim. Bantuan itu diberikan supaya negara miskin bisa segera beralih ke penggunaan sumber energi yang lebih bersih dan menangani dampak perubahan iklim. Jumlah bantuan uang akan ditambah sekitar 11,4 miliar dollar AS per tahun pada tahun 2024. Bulan lalu, jumlahnya sudah ditambah menjadi 5,7 miliar dollar AS per tahun.
Sebagai bagian dari penanganan perubahan iklim, selama bertahun-tahun negara-negara kaya menjanjikan mengeluarkan biaya 100 miliar dollar AS per tahun khusus untuk isu iklim. Namun, sampai saat ini jumlahnya hanya 80 miliar dollar AS per tahun. Biden berharap komitmen baru AS ini bisa membantu negara-negara kaya mencapai target mereka.
Kabar baik juga datang dari Presiden China Xi Jinping. Merujuk pernyataannya, China berkomitmen akan menghentikan pembiayaan proyek-proyek pembangkit listrik berbasis batubara di luar negeri. Selama ini, pembangkit listrik tenaga batubara menjadi salah satu kontributor pembengkakan emisi, yang berujung pada krisis iklim.
Komitmen China itu diutarakan Xi dalam rekaman video yang diputar di sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. China masih banyak berinvestasi di sumber energi batubara yang ada di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Vietnam, dan Bangladesh. Investasi itu terkait pembangunan infrastruktur global yang dikembangkan dalam kerangka Inisiatif Sabuk dan Jalannya.
Xi berjanji akan menggenjot upaya China, negara penghasil emisi terbesar di dunia, untuk mencapai target karbon netral pada tahun 2060. China juga akan menambah dukungan bagi negara-negara berkembang untuk mengembangkan energi hijau dan karbon rendah serta tidak akan membangun proyek pembangkit tenaga listrik bertenaga batubara yang baru di luar negeri. ”Butuh kerja keras, tetapi kami akan berusaha memenuhi target itu,” kata Xi.
Wakil Presiden untuk Iklim dan Ekonomi di Institut Sumber Daya Dunia Helen Mountford menilai, komitmen China itu merupakan langkah awal untuk meninggalkan batubara, bahan bakar fosil terkotor di dunia. Selain pemerintah, ia juga mendorong investor swasta untuk berkomitmen serupa. Ia juga mengingatkan China yang masih menambah produksi batubara.
Utusan Khusus Iklim AS, John Kerry, ketika berkunjung ke China pada awal bulan ini, mengatakan, penambahan tambang batubara akan memperparah krisis iklim. China mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batubara baru dengan kapasitas produksi 38,4 gigawatt pada tahun lalu. Ini tiga kali lebih besar dibandingkan dengan kapasitas produksi secara global.
Sebuah kelompok nonpemerintah menyebutkan Bank China merupakan pendana tunggal terbesar dari proyek-proyek batubara dan telah mengucurkan 35 miliar dollar AS sejak kesepakatan Paris ditandatangani pada 2015.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyambut positif keputusan AS dan China. Namun, tetap saja masih dibutuhkan banyak upaya untuk menangani perubahan iklim. Pasalnya, dunia kini semakin panas, dengan kenaikan hingga 2,7 derajat celsius. Angka ini membuat target Paris tak tercapai karena targetnya menekan pemanasan di bawah 2 derajat celsius.
”China adalah pendukung terakhir batubara. Kalau tidak ada pembiayaan untuk batubara dari China, ekspansi batubara global akan berhenti,” kata Direktur Strategi Iklim di kelompok advokasi untuk transisi global bahan bakar fosil dan batu bara Sunrise Project, Justin Guay.
Tak mau perang
Upaya positif dua raksasa dunia itu tampaknya tidak hanya dalam isu iklim. Dalam pidatonya, Xi juga menegaskan kembali kebijakan multilateralisme yang selama ini dipegang China. Ia menyepakati perselisihan antarnegara perlu diselesaikan melalui dialog dan kerja sama. Pernyataan Xi ini diucapkan beberapa jam setelah Biden menegaskan bahwa AS sama sekali tak berniat memulai ”perang dingin baru” ataupun memecah-belah dunia. AS bersedia bekerja sama dengan negara mana pun yang mengupayakan solusi damai.
”Keberhasilan satu negara tidak harus berarti kegagalan negara lain. Dunia ini cukup besar untuk mengakomodasi pembangunan dan perkembangan yang sama bagi semua negara,” kata Xi.
Baik pernyataan Biden maupun Xi tampaknya hendak ’menjawab’ pernyataan Guterres yang meminta AS dan China segera memperbaiki hubungan mereka, yang dilihatnya berpotensi mengarah ke perang dingin baru. Dalam kacamata Guterres, jika tak segera diselesaikan, seluruh negara di dunia ini akan ikut kecipratan getahnya.
China kerap mengumbar kebijakan multilateralisme dan kerja sama internasional di forum-forum publik. Namun, hal itu tak sesuai dengan sikap dan kebijakannya terhadap Taiwan dan sengketa wilayah Laut China Selatan yang kerap memicu ketegangan dengan negara-negara tetangganya.
Meski mengaku tak ingin memicu perang dingin baru, Xi tetap tak bisa tak menyindir AS. Dalam pidatonya, Xi sempat menyinggung mengenai intervensi militer asing dan transformasi demokrasi di Afghanistan yang tidak menghasilkan apa pun selain memperburuk kondisi. Ia berbicara soal penarikan pasukan AS dari Afghanistan pada bulan lalu. AS harus bertanggung jawab jika wilayah itu tidak stabil karena Afghanistan berbagi perbatasan dengan China.
Kritik Xi tampaknya tak bisa lepas dari sejarah ’perseteruan’ dua adidaya dunia itu. Jejaknya bisa dirunut, antara lain, sejak Partai Komunis China yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1949 di bawah kepemimpinan Mao Zedong, mengusir Partai Nasionalis Chiang Kai-shek, sekutu AS, dari China daratan ke Taiwan.
Meskipun hubungan diplomatik AS-China akhirnya terbangun tahun 1979, relasi mereka penuh gelombang, naik dan turun. Hubungan mereka pernah berada di titik terendah saat China menindak keras demonstran di Lapangan Tiananmen pada 1989 dan setelah pesawat militer AS dipaksa mendarat oleh pesawat tempur China pada 2001.
Belakangan ini, keduanya kembali kerap berselisih, mulai soal perdagangan, tarif, perubahan iklim, hak asasi manusia, hingga dunia digital. China juga mengecam AS yang meminta ada penyelidikan lagi soal asal-usul Covid-19 yang pertama kali muncul di kota Wuhan, akhir 2019.
Terkait isu itu, China mencoba bersikap lebih terbuka. ”China akan tetap mendukung dan terlibat dalam upaya pelacakan asal-usul virus dan tidak akan terjebak dalam manuver politik bentuk apa pun,” kata Xi.
Zhao Kejian, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional di Tsinghua University, Beijing, menilai, ada peluang untuk bekerja sama dalam pengendalian pandemi, keamanan Semenanjung Korea, Afghanistan, Irak, dan isu-isu lain meski perselisihan soal ideologi, nilai-nilai, dan HAM akan tetap berlanjut. ”China percaya PBB mewujudkan multilateralisme. Jika AS memperhatikan PBB, akan ada landasan untuk koordinasi strategis di bawah kerangka PBB,” ujarnya.
Tak mau terusik dengan sindiran China, Biden kembali menegaskan pentingnya kerja sama dunia untuk menangani krisis, salah satunya pandemi Covid-19. Banyak persoalan di dunia yang tak bisa diselesaikan dengan kekuatan senjata. Bom dan peluru tak akan bisa melindungi kita dari Covid-19 ataupun varian baru lainnya.
”Kita memilih untuk membangun masa depan lebih baik. Kita sudah mengantongi keinginan dan kemampuan membuat dunia ini lebih baik. Jangan buang waktu lagi. Kita bisa melakukannya,” kata Biden. (REUTERS/AFP/AP)