Tajikistan berandil besar mempercepat jatuhnya rezim Taliban saat invasi Amerika Serikat ke Afghanistan tahun 2001. Tajikistan memandang ancaman bagi Asia Tengah saat ini sudah jauh berbeda dari ancaman 25 tahun lalu.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Afghanistan dan Tajikistan adalah dua negara bertetangga di Asia Tengah dengan perbatasan cukup panjang, yakni 1.357 kilometer. Sejak Taliban berkuasa lagi di Afghanistan pada 15 Agustus, Tajikistan menjadi paling waswas atas masa depan hubungannya dengan Afghanistan.
Pasalnya, hubungan Tajikistan-Taliban sejak era kekuasaan Taliban jilid I pada 1996-2001 dikenal sangat buruk. Tajikistan dikenal sebagai halaman belakang basis logistik pasukan Ahmed Shah Masood di Lembah Panjshir yang melakukan perlawanan terhadap rezim Taliban di Kabul saat itu.
Tajikistan berandil besar mempercepat jatuhnya rezim Taliban saat invasi Amerika Serikat ke Afghanistan tahun 2001. Selain menjadi pangkalan transit pesawat tempur AS yang menggempur Afghanistan, Tajikistan juga pemasok logistik pasukan koalisi utara kontra Taliban. Oleh karena itu, Taliban melihat Tajikistan sebagai musuh besarnya di Asia Tengah sejak era kekuasaannya jilid I.
Faktor itulah yang menyebabkan Taliban segera menguasai provinsi di Afghanistan timur laut yang berbatasan dengan Tajikistan, seperti Badakhshan dan Takhar, saat menguasai kembali Afghanistan.
Taliban khawatir Tajikistan kembali menjadi basis logistik Lembah Panjshir jika wilayah tersebut mencoba melakukan perlawanan lagi terhadap Taliban.
Akan tetapi, Tajikistan kini ternyata mengubah sikap dalam upaya membangun hubungan baik dengan Taliban. Tajikistan memilih menolak membantu pasukan Ahmed Masood (putra Ahmed Shah Masood) ketika mencoba memberontak terhadap Taliban. Sikap ini berperan dalam jatuhnya Lembah Panjshir ke tangan Taliban dengan cepat pada awal September.
Sebelumnya, Tajikistan diberitakan menolak untuk menerima mantan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani saat lari dari Kabul bersamaan dengan jatuhnya ibu kota itu ke tangan Taliban. Ghani pun terpaksa menuju Uzbekistan sebagai tempat transit, sebelum terbang ke Uni Emirat Arab (UEA).
Menurut sejumlah pengamat, perubahan sikap Tajikistan tersebut adalah upaya negara itu membangun hubungan baik dan sekaligus kerja sama dengan Taliban melawan ancaman Negara Islam di Irak dan Suriah cabang Khorasan (NIIS-K). Tajikistan memandang ancaman bagi kawasan Asia Tengah saat ini sudah jauh berbeda dari ancaman 25 tahun lalu. Tajikistan dan negara-negara di kawasan kini melihat NIIS-K sebagai ancaman terbesar bagi Asia Tengah dan Asia Selatan sejak kemunculannya pada akhir 2014.
Pandangan Tajikistan terhadap Taliban pun berubah dari ancaman dan lawan pada 25 tahun lalu menjadi kawan pada saat ini dalam menghadapi NIIS-K. Sebaliknya, Taliban juga menganggap Tajikistan bukan musuh lagi, melainkan kawan untuk melawan NIIS-K. Hubungan kedua kelompok ini memang cukup rumit karena banyak anggota NIIS-K adalah sempalan Taliban.
Taliban tidak bisa sendirian dan butuh kerja sama regional untuk menghadapi NIIS-K. Apalagi, NIIS-K pada Senin (20/9/2021) menyatakan bertanggung jawab atas serangkaian serangan di Jalalabad, Afghanistan bagian Timur, pada Minggu (19/9) dan Sabtu (18/9). Serangan itu menyebabkan 35 anggota pasukan Taliban tewas dan luka-luka.
Provinsi Nangarhar yang beribu kota Jalalabad merupakan salah satu basis NIIS-K. Serangan NIIS-K di kota Jalalabad itu hanya selang sehari setelah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) di Dushanbe, ibu kota Tajikistan, Jumat (17/9).
Maka, serangan NIIS-K di Jalalabad tersebut merupakan ancaman terbesar atas SCO dan Taliban. Serangan ini sekaligus menuntut kerja sama yang semakin besar antara Taliban, Tajikistan, dan negara-negara Asia Tengah melalui payung SCO.