Miskin Komitmen Negara Kaya, Langkah Global Atasi Perubahan Iklim Jalan di Tempat
Para pemimpin teratas dari empat negara pencemar karbon terbesar hanya mengirimkan utusan pada pertemuan khusus PBB membahas isu perubahan iklim. Andai negara diibaratkan entitas swasta, para pemimpin itu sudah dipecat.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
NEW YORK, SELASA — Negara-negara besar dan kaya terlihat masih belum memiliki komitmen kuat di forum multilateral dalam merespons fenomena perubahan iklim global. Dalam pertemuan khusus dan terbaru di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membicarakan fasilitas keuangan untuk menangani dampak perubahan iklim, misalnya, hanya 21 kepala negara yang ikut serta dari 35-40 pemimpin negara yang diharapkan hadir.
Para pemimpin dari empat negara pencemar karbon terbesar, yakni China, Amerika Serikat, India, dan Rusia, memilih absen dan hanya mengirimkan wakil utusan.
”Jika negara adalah entitas swasta, semua pemimpinnya akan dipecat karena kami tidak berada di jalurnya. Semuanya tetap sama saja,” kata Presiden Kosta Rika Carlos Quesada menampakkan nada gusar seusai mengikuti sesi yang digelar tertutup di Markas Besar PBB, New York, AS, Senin (20/9/2021). Sesi khusus itu digelar dalam rangkaian Sidang Majelis Umum PBB Ke-76. ”Itu tidak masuk akal,” imbuh Quesada.
Pertemuan khusus tersebut digelar tidak lama setelah sejumlah bencana yang terjadi diduga berkaitan erat dengan fenomena perubahan iklim. Beberapa kebakaran hutan di wilayah AS bagian barat terjadi beriringan dengan banjir mematikan di negara itu.
Banjir bandang juga belum lama menghantam China dan Eropa. Angin siklon tropis menyapu sejumlah kawasan dunia, bergantian dengan tingkat suhu tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”Kita membutuhkan tindakan tegas sekarang untuk mencegah bencana iklim. Dan untuk itu, kita membutuhkan solidaritas,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres setelah pertemuan para pemimpin.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang menjadi tuan rumah pertemuan khusus PBB itu bersama dengan Guterres, mengungkapkan dalam pertemuan tersebut bahwa muncul desakan kuat, khususnya dari negara-negara yang rentan atas perubahan iklim. Seruan itu, antara lain, disuarakan oleh pemimpin Kepulauan Marshall dan Maladewa.
Johnson menyebutkan, para pemimpin itu ”memohon kepada negara-negara maju untuk mengambil langkah” pendanaan yang dibutuhkan bagi mereka untuk mengatasi dampak pemanasan global.
Guterres mengatakan, dirinya memiliki tiga tujuan dari negosiasi Glasgow, Skotlandia, pada Oktober mendatang. Pertama, pengurangan emisi sekitar 45 persen dari tingkat 2010 pada tahun 2030. Kedua, ketersediaan dana 100 miliar dollar AS dalam bentuk bantuan keuangan tahunan dari negara kaya ke negara miskin. Ketiga, alokasi sebesar setengah dari uang itu guna membantu negara-negara miskin beradaptasi dari dampak terburuk pemanasan global.
Menurut Guterres, pertemuan ekonomi teratas akhir Oktober itu ”akan sangat penting guna menjamin keberhasilan” pembicaraan iklim. ”Tanpa upaya kita secara kolektif mengubah arah, ada risiko kegagalan yang tinggi” pada perundingan iklim dalam enam pekan mendatang, kata Guterres dalam konferensi pers setelah sesi.
Perundingan iklim akan dihelat di Skotlandia musim gugur ini dan dirancang sebagai langkah lanjutan setelah kesepakatan iklim Paris 2015.
Komitmen atas hal itu terasa masih samar, minimal dilihat dari pertemuan khusus itu. Alih-alih 35 hingga 40 pemimpin hadir seperti yang diharapkan, hanya 21 kepala negara yang berpartisipasi.
Komitmen atas hal itu terasa masih samar, minimal dilihat dari pertemuan khusus itu. Alih-alih 35 hingga 40 pemimpin hadir seperti yang diharapkan, hanya 21 kepala negara yang berpartisipasi. Para pemimpin teratas dari empat negara pencemar karbon terbesar, yakni China, AS, India, dan Rusia, hanya mengirimkan utusan mereka.
Berharap pada Biden
Sejumlah pemimpin mengatakan, mereka memiliki harapan pada ”kabar baik” yang dijanjikan datang dari Presiden AS Joe Biden ketika dia berpidato dalam sidang Majelis Umum PBB. Biden diperkirakan akan berpidato mengenai upaya AS membantu negara-negara miskin, mengembangkan energi yang lebih bersih, dan mengatasi bahaya yang memburuk akibat perubahan iklim.
Para pemimpin lain juga berharap negara-negara kaya akhirnya akan mencapai paket 100 miliar dollar AS per tahun yang telah lama dijanjikan untuk membantu negara-negara miskin.
Utusan Khusus Urusan Iklim AS John Kerry, yang mewakili AS dalam sesi pertemuan khusus PBB itu, dalam pertemuan disebut mengungkapkan ”kabar baik sudah dekat” soal komitmen penyediaan dana bagi penanggulangan dampak perubahan iklim. Namun, ”tidak ada banyak kemajuan” terkait komitmen negara seperti AS dan negara-negara kaya lain dalam hal pengurangan lebih banyak dalam emisi, kata seorang pejabat PBB.
Pejabat itu mengatakan, beberapa negara yang belum memperbarui tujuan pengurangan emisi mengaku sedang dalam proses melakukan itu. Kondisi ini sedikit menawarkan harapan. Namun, tidak disebutkan secara gamblang negara mana saja itu. Meski demikian, diakui, negara pencemar karbon nomor satu dan nomor tiga secara global, yakni China dan India, termasuk dalam kategori itu.
Guterres mengatakan kepada CNN bahwa upaya negosiasi Kerry ”sebagian besar telah gagal” karena keengganan China untuk bekerja sama dengan AS. Sebelumnya, dalam wawancara akhir pekan lalu dengan The Associated Press, dia menyebut dirinya ”tidak putus asa, tetapi saya sangat khawatir” dengan hasil akhir negosiasi soal iklim itu.
Sebuah laporan PBB yang dirilis pada akhir pekan lalu menunjukkan bahwa janji saat ini untuk mengurangi emisi karbon tidak terealisasi. Dunia saat-saat ini justru berada di jalur menuju pemanasan 2,7 derajat celsius atau lebih tinggi sejak era pra-industri. Angka itu bahkan melampaui target Paris untuk membatasi tingkat pemanasan hingga 2 derajat celsius (3,6 derajat fahrenheit).
”Itu bencana besar,” kata Guterres. ”Dunia tidak bisa hidup dengan peningkatan suhu 2,7 derajat.” (AP)