AS dan China didesak untuk segera memperbaiki hubungan mereka karena berpotensi ke arah perang dingin. Jika itu terjadi, akan lebih parah ketimbang perang dingin Uni Soviet dan AS dulu.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
NEW YORK, MINGGU —Melihat adanya potensi terjadinya perang dingin antara Amerika Serikat dan China, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres memohon kepada kedua negara itu agar segera memperbaiki hubungan mereka sebelum nantinya memburuk dan malah memengaruhi negara-negara lain di dunia.
Sebagai dua negara berkekuatan ekonomi, AS-China seharusnya bisa bekerja sama menangani iklim dan lebih gencar berunding soal perdagangan dan teknologi. Meski memang ada beragam persoalan politik yang membayangi keduanya seperti isu hak asasi manusia, ekonomi, keamanan online, dan kedaulatan di wilayah Laut China Selatan. ”Sayang sekali sekarang ini malah hanya konfrontasi yang terus terjadi,” kata Guterres, menjelang sidang Majelis Umum PBB, kepada kantor berita Associated Press, Sabtu (18/9/2021).
Guterres menekankan pentingnya membangun hubungan fungsional di antara kedua negara karena masih banyak persoalan di dunia yang tidak bisa diselesaikan tanpa hubungan yang konstruktif di komunitas internasional, terutama di antara negara-negara adikuasa. Persoalan-persoalan penting dan genting yang harus diselesaikan bersama seperti vaksinasi Covid-19 dan perubahan iklim.
Dua tahun lalu, Guterres pernah mengingatkan para pemimpin dunia bahwa ada risiko dunia terbelah dua gara-gara AS dan China menciptakan persaingan internet, mata uang, perdagangan, aturan keuangan, dan strategi geopolitik dan militer mereka sendiri. Rivalitas strategi militer dan geopolitik AS-China membahayakan dunia karena berpotensi memecah belah dunia.
”Kita sebisa mungkin harus menghindar dari Perang Dingin karena bisa jadi—kalau terjadi—perang kali ini akan bisa lebih parah ketimbang yang sebelumnya. Bahkan akan lebih susah menanganinya,” kata Guterres.
Perang Dingin sebelumnya yang dimaksud Guterres adalah perang antara Uni Soviet dan kelompok negara sekutunya di timur dan AS dengan negara-negara sekutunya di barat setelah Perang Dunia II. Perang Dingin yang kemudian berakhir karena Uni Soviet terpecah pada 1991 itu merupakan perang dua negara berkekuatan nuklir dan dua negara berbeda ideologi. Uni Soviet berideologi komunisme dan otoritarianisme, sementara AS berideologi kapitalisme dan demokrasi.
Guterres khawatir Perang Dingin baru itu akan bisa lebih berbahaya karena jika dulu Uni Soviet dan AS mempunyai ”aturan main” yang jelas dan kedua negara juga sama-sama menyadari risiko kerusakan nuklir. Berbekal kesadaran ini, banyak upaya ”di balik layar” yang memastikan agar perang itu tetap terkendali. ”Kalau sekarang, semuanya serba tidak jelas. Bahkan tidak ada lagi upaya-upaya mengelola krisis,” ujarnya.
AS-Inggris malah memberikan kapal selam bertenaga nuklir kepada Australia supaya bisa beroperasi tanpa terdeteksi di wilayah Asia. Hal-hal seperti inilah yang akan memperparah situasi. Kesepakatan diam-diam ini membuat marah China dan Perancis yang sudah menandatangani kontrak senilai 66 miliar dollar AS dengan Australia untuk pembelian puluhan kapal selam konvensional Perancis yang bertenaga listrik-diesel.
Tiga isu
Dalam pertemuan sidang Majelis Umum PBB, para pemimpin negara akan membicarakan tiga isu penting, yakni krisis iklim, pandemi Covid-19, dan masa depan Afghanistan yang tidak jelas di bawah kekuasaan kelompok Taliban. Isu Afghanistan ini penting karena ternyata AS dan negara-negara sekutunya tidak juga berhasil menyelesaikan persoalan Afghanistan, bahkan membuat situasi Afghanistan memburuk. Padahal, ribuan tentara sudah dikerahkan dan triliunan dollar AS sudah digelontorkan. ”Kapasitas dan posisi tawar PBB memang terbatas, tetapi tetap bisa berperan penting menyediakan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Afghanistan,” kata Gutteres.
PBB juga mendorong Taliban untuk membentuk pemerintahan inklusif yang menghormati hak asasi manusia, terutama perempuan dan anak. Guterres mengaku sulit untuk menilai situasi di Afghanistan karena ada perebutan kekuasaan dari kelompok-kelompok berbeda di dalam kepemimpinan Taliban. Inilah kenapa komunitas internasional harus berkomunikasi dengan Taliban.
Langkah awal Presiden AS Joe Biden untuk mau kembali berpartisipasi di lembaga-lembaga multilateral dinilai Guterres berarti besar. Ini berbeda dengan sikap mantan Presiden AS Donald Trump yang memilih kebijakan ”America First”. Komitmen global Biden untuk ikut menangani isu iklim, termasuk kembali bergabung ke kesepakatan iklim Paris 2015, itu dinilai sebagai langkah paling penting AS. ”Hubungan PBB dan AS di bawah kekuasaan Biden jauh berbeda dibandingkan dulu,” kata Guterres.
Di satu sisi, keterlibatan AS lagi di PBB menggembirakan. Namun, di sisi lain ada kabar kurang menggembirakan. Guterres menilai negara-negara gagal bekerja sama menangani pemanasan global dan tak bisa memastikan semua orang divaksin Covid-19. ”Kita belum berhasil membuat koordinasi upaya global efektif,” ujarnya.
Guterres tidak habis pikir 80 persen populasi di negara asalnya, Portugal, sudah divaksin. Sementara di banyak negara di Afrika, baru 2 persen dari populasi penduduk yang sudah divaksin. Jika dunia gagal menangani pandemi Covid-19, virus itu akan terus menyebar seperti kebakaran hutan dan akan semakin banyak mutasi virusnya. ”Jika sudah semakin banyak bermutasi, virus itu akan lebih mudah menular dan berbahaya,” ujarnya.
Ia mendorong negara-negara anggota G-20 untuk membuat rencana vaksinasi global yang jelas. Dengan rencana itu diharapkan akan bisa menyatukan negara-negara produsen vaksin dengan lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan farmasi dan menggenjot produski vaksin serta memastikan distribusi vaksin yang adil dan merata. ”Ini sangat mungkin bisa dilakukan. Semua tergantung pada kemauan politiknya,” ujarnya.
Negara-negara kaya dan maju menghabiskan sekitar 20 persen dari pendapatan domestik bruto mereka untuk pemulihan dan negara-negara berpenghasilan menengah sekitar 6 persen. Sementara negara-negara kurang berkembang sekitar 2 persen dari PDB mereka yang rendah. Itu memicu frustrasi dan ketidakpercayaan di negara-negara berkembang yang belum menerima vaksin atau bantuan pemulihan.
Kesenjangan antara negara maju di utara dan negara berkembang di selatan dinilai berbahaya bagi keamanan global. Ini juga akan berisiko pada kemampuan menyatukan dunia untuk memerangi perubahan iklim. (AP)