Penembakan terjadi ketika kuliah tengah berlangsung di Universitas Perm. Pelaku tiba-tiba masuk gedung dan melepas tembakan di selasar. Pelaku memodifikasi senapan agar bisa melontarkan peluru tajam.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
PERM, SENIN — Delapan orang tewas dan setidaknya enam orang luka-luka akibat penembakan di Perm, sebuah kota berjarak 1.100 kilometer sebelah timur Moskwa, Rusia, Senin (20/9/2021). Komisi Investigasi Rusia yang menangani kasus-kasus kejahatan berat masih terus menyelidiki penyebab kejadian ini.
”Pelaku ditembak mati oleh petugas polisi yang datang ke kampus setelah kami meminta pertolongan,” kata juru bicara Universitas Negeri Perm, Natalia Pechishcheva.
Ia mengungkapkan, penembakan terjadi ketika kuliah tengah berlangsung di perguruan tinggi yang memiliki 12.000 mahasiswa ini. Pelaku tiba-tiba masuk gedung dan melepas tembakan di selasar. Mendengar suara letupan senapan, para dosen dan mahasiswa yang berada di dalam kelas langsung menutup pintu dan menghalanginya dengan perabotan agar pelaku tidak bisa masuk. Terekam pula dalam video telepon genggam sejumlah mahasiswa nekat melompat dari jendela.
”Di dalam kelas ada 60 orang. Kalau kami lari keluar, malah rentan jadi sasaran. Jadi, kami sekelas memblokir pintu dengan meja dan kursi,” kata Semyon Karyakin, salah seorang mahasiswa yang bersembunyi di dalam kelas. Belum ada penjelasan apakah korban tewas dan luka-luka akibat tembakan atau karena melompat keluar jendela.
Pelaku merupakan salah satu mahasiswa di kampus itu, tetapi polisi belum mengungkapkan identitasnya. Satu-satunya informasi yang disebar kepada media arus utama ialah pelaku berusia 18 tahun. Sebelum datang ke kampus untuk melakukan penembakan, ia mengunggah foto-foto dirinya sambil memegang senapan.
Dilansir dari kantor berita Interfax, pelaku juga mengunggah pesan di media sosial yang kini telah diturunkan oleh aparat penegak hukum. Menurut pesan itu, pelaku mengatakan, niat dia menembaki teman-teman sekampusnya bukan karena alasan politik ataupun ekstremisme keagamaan, melainkan murni karena rasa benci. Komisi Investigasi Rusia sedang mendalami apabila ada sasaran tertentu yang diincar pelaku dan penyebab sebenarnya kejadian ini.
Dilansir dari kantor berita TASS, senapan yang dipakai oleh pelaku sesungguhnya bukan senjata mematikan. Itu senapan yang dirancang untuk menembakkan peluru karet. Akan tetapi, oleh pelaku, senapan ini dimodifikasi agar bisa melontarkan peluru tajam.
Rusia, layaknya negara-negara di Eropa, memiliki aturan yang ketat terkait dengan kepemilikan senjata api. Masyarakat sipil dilarang memiliki pistol ataupun senapan. Ada izin khusus bagi warga untuk membeli senapan berburu, itu pun harus melewati serangkaian tes yang dipantau oleh ahli kejiwaan.
Presiden Vladimir Putin sebenarnya masih dalam proses mengubah undang-undang kepemilikan senjata api. Salah satu aspek yang hendak diganti ialah batas usia minimal bisa membeli dan memiliki senjata api dinaikkan dari 18 tahun menjadi 21 tahun. Akan tetapi, undang-undang baru ini belum disahkan.
Putin melakukan perubahan itu setelah kasus penembakan di Kazan pada Mei lalu. Seorang pemuda berusia 19 tahun melakukan penyerangan ke almamaternya dan menewaskan tujuh orang. Kasus penembakan terburuk terjadi di Crimea tahun 2018 ketika seorang mahasiswa di Universitas Kerch menembaki orang-orang di kampus dan menewaskan 20 orang. Selain itu, juga ada kasus tahun 2019 di Blagoveshchensk ketika seorang mahasiswa menembak secara membabi buta. Satu orang tewas dan tiga orang terluka. Pelaku juga tewas bunuh diri.
Pensiunan Agen Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI), Katherine Schweit, dalam bukunya yang berjudul Stop the Killing: How to End the Mass Shooting Crisis (2021) menjabarkan pentingnya keterlibatan masyarakat mencegah tragedi tersebut. Menurut dia, penembakan massal bukan kejadian mendadak, melainkan sudah direncanakan secara matang selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan sebelumnya.
Masyarakat sesungguhnya bisa melihat perubahan perilaku dalam diri seseorang. Misalnya menjadi pemarah, pendiam, menarik diri di masyarakat, mendadak aktif dan agresif di media sosial, atau bahkan menghilang dari media sosial. Terdapat pula pola penyebab perubahan perilaku yang bisa ditelusuri, misalnya menjadi korban perundungan di tempat kerja, sekolah, lingkungan tempat tinggal, atau mengalami kejadian ekstrem yang membuat psikisnya trauma.
Berdasarkan penelitian yang ia lakukan untuk bukunya, Schweit menemukan bahwa anggota keluarga, teman, dan rekan kerja pelaku penembakan massal di AS sebenarnya sudah melihat perubahan dan curiga terhadap pelaku jauh hari sebelum ia melakukan aksinya. ”Akan tetapi, mereka sungkan untuk menegur, apalagi melaporkan kepada pihak berwajib karena takut jika salah menduga,” kata Schweit kepada surat kabar Daily Herald. (AFP/AP/Reuters)