Sidang PBB Fokus pada Penanganan Pandemi Covid-19 dan Krisis Iklim
Topik mengenai penanganan pandemi Covid-19 dan krisis iklim menjadi dua agenda penting yang akan dibahas dalam sesi Debat Umum ke-76 Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York, AS, mulai Senin ini.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
NEW YORK, MINGGU – Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar PBB, New York, AS, akan dimulai, Senin (20/9/2021). Topik mengenai penanganan pandemi Covid-19 dan krisis iklim menjadi dua agenda penting yang akan dibahas. Diharapkan ada kesepakatan yang bisa secepatnya dicapai dan diterapkan oleh 193 negara anggota PBB.
Kepala negara pertama yang akan berpidato adalah Presiden Brasil Jair Bolsonaro. Sidang Majelis Umum PBB ini mensyaratkan semua delegasi, termasuk kepala negara, yang hendak hadir secara langsung sudah harus menerima vaksin Covid-19 dosis lengkap. Akan tetapi, Bolsonaro bersikeras tidak mau divaksin dengan alasan tubuhnya sudah kebal karena ia adalah penyintas Covid-19.
Meski demikian, PBB menyediakan sebuah mobil yang berfungsi sebagai klinik darurat di luar gedung PBB. Mobil ini menyediakan tes cepat untuk mendeteksi Covid-19 serta suntikan vaksin Johnson and Johnson yang hanya membutuhkan satu dosis suntikan.
Fakta bahwa ada sejumlah pejabat negara yang tidak divaksin ini dimanfaatkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk menyentil perihal kesenjangan vaksin. “Jika pejabat saja tidak divaksin, bayangkan rakyat yang benar-benar tidak memiliki akses untuk mendapatkan vaksin Covid-19,” tuturnya.
Guterres mengatakan, PBB mengimbau seluruh negara anggotanya untuk memenuhi target di akhir tahun 2021 bisa memvaksinasi 40 persen dari total penduduk dunia. Harapannya, pada pertengahan tahun 2022, sudah 70 persen warga Bumi divaksin agar setidaknya bisa tercipta kekebalan global yang menurunkan risiko kematian maupun infeksi parah akibat virus penyakit Covid-19.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan sudah 5,7 miliar dosis vaksin Covid-19 disuntikkan di dunia. Akan tetapi, Afrika yang terdiri dari 54 negara baru menerima 2 persen dari total vaksin ini.
Skandal terakhir ialah vaksin Johnson and Johnson yang diproduksi perusahaan farmasi Aspen di Afrika Selatan malah dikirim ke Uni Eropa (UE). Padahal, perjanjian ketika produksi dibuka di Afrika Selatan adalah untuk memastikan semua dosis disuntikkan ke warga Benua Afrika. UE kemudian mengembalikan 40 juta dosis yang telah mereka pesan setelah dikritik berbagai pihak.
Terlepas ada pengembalian itu, peristiwa ini menunjukkan kebenaran dari kritik Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Gebreyesus bahwa negara-negara maju ternyata masih menumpuk vaksin Covid-19.
Perkara lain terkait penanganan pandemi ialah mengenai pendidikan. Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) mengeluarkan laporan bahwa 131 juta anak kehilangan dua pertiga jam belajarnya dan 77 juta anak malah tidak memperoleh jam belajar sama sekali.
Unicef menghitung selama pandemi ada 1,8 triliun jam belajar yang hilang. Artinya, literasi semakin menurun dan masa depan generasi penerus terancam.
Krisis iklim
Aspek kedua yang akan dibahas di sidang PBB adalah soal penanganan krisis iklim. Sejumlah negara, seperti AS dan Indonesia, memasukkan topik ini dalam pidato kenegaraan masing-masing. Presiden AS Joe Biden akan memaparkan isu pemanasan global yang mengakibatkan cuaca ekstrem gelombang panas di wilayah barat laut AS dan kebakaran lahan di wilayah barat daya.
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Febrian Alphyanto Ruddyard, Presiden Joko Widodo dalam pidato melalui video yang direkam sebelumnya akan menggarisbawahi kembali komitmen Indonesia menurunkan 29 persen emisi per tahun 2030 dan 41 persen emisi--jika dilakukan dengan bantuan internasional--pada tahun yang sama.
PBB mengeluarkan laporan Bersatu di Dalam Ilmu Pengetahuan (United in Science) 2021 yang mengungkapkan bahwa pandemi ternyata tidak menurunkan emisi karbon seperti yang diharapkan sebelumnya. Laporan ini menghitung perbandingan emisi karbon periode Januari-Juli 2019 dan Januari Juli 2021.
Emisi dari pemakaian kendaraan bermotor memang berkurang 5 persen. Tetapi, emisi dari sektor industri akibat pemakaian batubara, gas, minyak, dan semen justru meningkat 5,6 persen. Akibatnya, pada periode Januari-Juli 2021 emisi yang dihasilkan sama dengan pada Januari-Juli 2019. Di samping itu, terdapat pula peningkatan emisi dinitrogen dioksida.
Menurut laporan ini, ada 40 persen kemungkinan suhu Bumi akan naik 1,5 derajat celsius di tahun 2026 apabila tidak ada tindakan drastis. Pada musim panas tahun ini saja, kota Lytton di Provinsi British Columbia, Kanada, mengalami suhu ekstrem 49,6 derajat celcius. (AP/REUTERS)
-----------
Catatan Editor:
Tulisan ini telah mengalami revisi pada paragraf 12, hari Senin, 20 September 2021 pukul 19.40 WIB. Sebelumnya tertulis: "... komitmen Indonesia menurunkan 26 persen emisi per tahun 2030 dan 41 persen per tahun 2050." Bagian ini telah dikoreksi menjadi: "... komitmen Indonesia menurunkan 29 persen emisi per tahun 2030 dan 41 persen emisi--jika dilakukan dengan bantuan internasional--pada tahun yang sama." Terima kasih.