Gagal Bayar Evergrande Bisa Membuat Pertumbuhan Ekonomi China Kian Lambat
Manajemen Evergrande mencoba menyelamatkan prospek bisnis perseroan. Tenggat pembayaran sebagian utangnya habis pekan ini. Total utang perseroan mencapai Rp 4.355 triliun.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, SENIN — Indeks-indeks saham di negara berkembang turun 1,3 persen ke level terendah, Senin (20/9/2021). Penurunan itu diawali oleh pelemahan indeks saham Hang Seng di Hong Kong sebesar 3,3 persen. Sentimen utama pelemahan diduga datang dari kemungkinan gagal bayarnya China Evergrande Group. Persoalan itu diduga memicu saham grup itu di bursa Hong Kong anjlok 10,24 persen ke level terendah dalam kurun waktu 11 tahun terakhir.
Kekhawatiran mencuat, gagal bayarnya Evergrande akan menyeret kinerja perusahaan-perusahaan properti lain di China. Para pelaku pasar menunggu langkah apa yang akan diambil oleh otoritas keuangan di China atas kondisi itu. Pemulihan ekonomi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu bisa makin terhambat setelah tertekan pandemi Covid-19 dan kebijakan Pemerintah China di bidang teknologi.
Pelemahan perdagangan saham di negara-negara berkembang awal pekan ini adalah kelanjutan dari kondisi serupa sepanjang pekan lalu. Setelah mencatat pekan terburuk dalam sebulan, indeks saham negara-negara berkembang memperpanjang kerugian, dengan penurunan 13 persen dari level puncaknya tahun ini. Level tertinggi itu pun sudah tercapai pada Februari lalu.
Pasar saham di China dan Korea Selatan ditutup untuk liburan pada Senin. Tekanan bursa saham di kawasan Asia merembet ke sejumlah bursa utama di negara berkembang lainnya. Bursa saham Turki, Rusia, Afrika Selatan, Polandia, dan Arab Saudi semuanya merosot antara level 1,4-2,4 persen.
”Selama ketidakpastian ini berlangsung, kita akan melihat volatilitas yang lebih tinggi di tengah kekhawatiran hal ini dapat menyebar dan mungkin membahayakan pemulihan ekonomi di China yang telah melambat,” kata Cristian Maggio, kepala strategi negara-negara berkembang pada lembaga keuangan TD Securities.
Manajemen Evergrande mencoba menyelamatkan prospek bisnis perseroan di tengah tenggat pembayaran sebagian utangnya yang habis pekan ini. Regulator China memperingatkan bahwa kewajiban perseroan senilai 305 miliar dollar AS (Rp 4.355 triliun) dapat memicu risiko yang lebih luas atas sistem keuangan di China jika tidak tertangani dengan baik. Harga saham Evergrande ditutup di level 2,28 dollar Hong Kong. Pada sesi penutupan pekan lalu, saham perusahaan itu ambrol 19 persen ke level terendahnya sejak Mei 2010.
Regulator China memperingatkan bahwa kewajiban perseroan senilai 305 miliar dollar AS (Rp 4.355 triliun) dapat memicu risiko yang lebih luas atas sistem keuangan di China jika tidak tertangani dengan baik.
Saham anak-anak usaha Evergrande juga melemah. Saham unit manajemen properti perseroan anjlok 11,3 persen di saat saham unit mobil listrik perusahaan itu turun 2,7 persen. Perusahaan streaming film Hengten Net, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Evergrande, anjlok 9,5 persen.
Kington Lin, direktur pelaksana departemen manajemen aset pada lembaga Canfield Securities Limited, harga saham Evergrande bisa jatuh di bawah 1 dollar Hong Kong jika perusahaan terpaksa menjual sebagian besar asetnya sebagai langkah untuk restrukturisasi kewajiban utangnya. ”Saham akan terus turun karena belum ada solusi yang tampaknya membantu perusahaan untuk mengurangi tekanan likuiditasnya,” kata Kington. ”Masih banyak ketidakpastian tentang apa yang akan dilakukan perusahaan jika terjadi restrukturisasi.”
Sebagaimana diwartakan, tren pemulihan ekonomi China tersandung oleh perlambatan pertumbuhan beberapa sektor pada bulan Agustus. Ini merupakan konsekuensi dari pengetatan protokol kesehatan di sejumlah daerah menyusul lonjakan kasus Covid-19 varian Delta dan banjir.
Berdasarkan data Biro Statistik Nasional China, pertumbuhan penjualan ritel pada Agustus hanya 2,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ini jauh merosot dibandingkan dengan pertumbuhan pada Juli, yakni 8,5 persen, sekaligus tingkat terendah dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Pertumbuhan produksi industri China secara tahunan juga melambat per Agustus, hanya 5,3 persen, setelah naik 6,4 persen pada Juli.
Tahun lalu, China menjadi satu-satunya negara dengan ekonomi skala besar yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif, yakni 2,3 persen. Tahun ini, Pemerintah China menargetkan pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi di atas 6 persen. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) per Juni memperkirakan, China akan tumbuh 8,1 persen pada 2021 dan 5,7 persen pada 2022.
Tengah pekan ini
Evergrande harus memenuhi kewajibannya membayar bunga utang senilai 83,5 juta dollar AS pada 23 September untuk surat utang yang jatuh tempo pada Maret 2022. Setelah itu, perseroan akan memiliki kewajiban pembayaran bunga 47,5 juta dollar AS yang jatuh tempo pada 29 September. Kedua surat utang itu akan dinyatakan gagal bayar jika Evergrande gagal melunasi bunga dalam waktu 30 hari dari tanggal pembayaran yang dijadwalkan.
Dalam skenario gagal bayar apa pun, Evergrande perlu merestrukturisasi surat-surat utangnya. Namun, para analis memperkirakan rasio pemulihan yang rendah bagi investor. Perdagangan surat utang perusahaan menggarisbawahi betapa dramatis ekspektasi investor terhadap prospek surat-surat utang itu telah memburuk tahun ini.
Pekan lalu, Goldman Sachs mengatakan, karena Evergrande memiliki obligasi dollar yang diterbitkan oleh perusahaan induk, pemulihan dalam restrukturisasi potensial dapat berbeda antara dua set surat utang.
Tekanan terhadap perseroan juga berpengaruh pada sektor properti serta nilai tukar yuan. Saham Sunac, pengembang properti nomor 4 China, jatuh 10,5 persen, sedangkan saham Greentown China yang didukung negara merosot 6,7 persen. Dalam perdagangan luar negeri, nilai tukar yuan turun ke level terendah dalam tiga pekan terakhir, yaitu di level 6,48 per dollar AS. (AFP/REUTERS)