Dampak AUKUS, Bakamla Prediksi Eskalasi Meningkat di Laut Natuna Utara
Pembentukan aliansi Australia, Inggris, dan AS berpotensi meningkatkan eskalasi keamanan di Laut Natuna Utara. Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia meminta nelayan tak khawatir karena Bakamla menjaminnya.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Keamanan Laut memprediksikan eskalasi keamanan di Laut Natuna Utara terus meningkat seiring dengan pembentukan aliansi Australia, Inggris, dan Amerika serikat (AUKUS). Kendati demikian, Bakamla meminta warga dan nelayan tidak lagi khawatir melaut di perairan Laut Natuna Utara. Bakamla menjamin situasi di perairan itu aman sehingga nelayan dapat kembali melaut di perairan yang juga diklaim China itu.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, sejumlah nelayan tradisional di Kepulauan Riau melaporkan berpapasan dengan enam kapal China, salah satunya kapal perusak (destroyer) Kunming-172 di Laut Natuna Utara, Senin (13/9/2021). Kehadiran kapal perang China itu membuat nelayan lokal takut melaut. Ancaman kapal China di Laut Natuna Utara itu mulai menguat sejak akhir Agustus 2021. Selain enam kapal yang dilihat nelayan, kapal survei Haiyang Dizhi-10 juga berulang kali terpantau satelit zig-zag di Laut Natuna Utara dengan dikawal sejumlah kapal penjaga pantai (coast guard) China.
Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR, Senin (20/9/2021), di Jakarta, mengatakan, saat ini kondisi Laut Natuna Utara aman terkendali. ”Saya tegaskan, Laut Natuna Utara sekarang aman terkendali,. Saudara-saudara kita nelayan silakan bergiat lagi di sana. Kami siap mengamankan di sana, dan untuk itu dibutuhkan komunikasi yang baik antara aparat dan nelayan,” ujarnya.
Aan mengakui, ada potensi untuk terus meningkatnya eskalasi di Laut Natuna Utara, atau yang dulu disebut dengan Laut China Selatan. Dengan resminya pembentukan aliansi Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AUKUS), ini akan menjadi sinyal potensi meningkatnya eskalasi keamanan di Laut Natuna Utara. Kondisi itu juga akan menimbulkan dampak langsung dan tidak langsung terhadap Indonesia. Sejumlah negara bahkan telah merespons keras aliansi itu. Salah satunya adalah Perancis yang memulangkan duta besarnya di AS dan Australia.
Baca juga : Hadang China, AS-Inggris Bantu Kapal Selam Bertenaga Nuklir untuk Australia
”Dampak langsungnya akan banyak kekuatan militer, yakni negara-negara besar, di Laut China Selatan. Ini akan meningkatkan dinamika internasional. Hal ini yang terkait dengan keamanan,” ucapnya.
Dampak langsungnya akan banyak kekuatan militer, yakni negara-negara besar, di Laut China Selatan. Ini akan meningkatkan dinamika internasional. Hal ini yang terkait dengan keamanan.
Adapun dampak tidak langsungnya ialah terjadinya perlombaan senjata dan sebagainya. Selain itu, dari sisi ekonomi, hal ini akan membuat biaya keamanan dan asuransi dalam logistik naik, biaya keamanan juga meningkat.
Terkait hal ini, Aan mengatakan, Bakamla telah menyusun sejumlah strategi dalam penanganan keamanan di Laut Natuna Utara. Namun, strategi itu tidak bisa dijalankan sendirian oleh Bakamla atau kementerian dan lembaga tertentu. Strategi pertama ialah peningkatan kehadiran simbol-simbol negara dan penegak hukum, baik itu Bakamla, TNI AL, maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di kawasan itu.
Kedua, upaya-upaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) di kawasan ZEE ataupun di landas kontinen harus dilakukan. Tidak hanya klaim di peta, sedangkan di lapangan tidak ada pengerjaan apa pun. ”Kolom airnya di ZEE bisa kita manfaatkan. Sebenarnya sudah ada nelayan, tetapi nelayan harian yang untuk memenuhi kebutuhan hidup satu hari saja, belum disiapkan secara profesional. Padahal, sumber daya ikannya luar biasa sehingga akhirnya dimanfaatkan oleh Vietnam, China, dan sebagainya,” kata Aan.
Pengelolaan landas kontinen, menurut dia, juga harus diperhatikan. Sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pengelolaan wilayah dasar lautnya juga merupakan hak Indonesia. Juli lalu, misalnya, pengeboran minyak oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disambut baik oleh Bakamla. Artinya, ada upaya pengelolaan yang dilakukan oleh instansi berwenang di Indonesia.
”Saya senang, berarti ada yang dilakukan oleh kita dan teman-teman yang punya kewenangan di sana. Kita harus jaga ZEE kita, landasan kontinen kita,” ujarnya.
Strategi lain yang juga sangat krusial ialah diplomasi luar negeri dengan tetap mengedepankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Pendekatan yang menghadirkan simbol-simbol NKRI di lapangan, pemanfaatan SDA, dan diplomasi harus dilakukan secara paralel. ”Ini harus paralel. Kalau hanya aparatnya saja, tidak selesai. Tangkap terus, tetapi tidak usai-usai, dan kita tergagap-gagap karena tahun lalu juga sama. Secara de facto belum bisa memanfaatkan ZEE dan landasan kontinen kita,” ucapnya.
Aan mengatakan, semua strategi itu bagaimanapun mesti sesuai dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Oleh karena itu, situasi mesti diperhatikan dengan detail, terutama mengupayakan kerja sama yang baik dengan semua pihak. Hal lain yang terpenting ialah ketegasan penegak hukum untuk tidak kompromi, baik di ZEE maupun di landas kontinen. Ketegasan itu penting untuk menjamin kredibilitas penegakan hukum di ZEE ataupun landas kontinen Indonesia.
Untuk menjamin keamanan laut Indonesia, lanjutnya, Bakamla menyiapkan sejumlah operasi, termasuk untuk mengatasi potensi ancaman keamanan di Laut Natuna Utara. Bakamla mengajukan biaya operasi Rp 1,567 triliun pada APBN 2022. Sebelumnya, anggaran Bakamla Rp 4,3 triliun telah disetujui DPR, tetapi untuk program operasi yang sifatnya prioritas sebesar Rp 1,567 triliun belum mendapatkan respons.
Dorong prioritas
Dalam RDP dengan Komisi I itu, Bakamla juga mendorong agar dibentuk regulasi baru menyangkut organisasi Bakamla, yakni melalui RUU Keamanan Laut. RUU itu diharapkan dapat menegaskan kewenangan dan fungsi Bakamla sebagai penegak hukum di wilayah laut Indonesia. ”Bakamla ini seperti polantas, yang disuruh menilang, tetapi legalitas yang mendukung itu tidak lengkap. Aset juga kurang. Tetapi, kami diminta mengamankan lalu lintas yang ada di laut,” katanya.
Bakamla ini seperti polantas, yang disuruh menilang, tetapi legalitas yang mendukung itu tidak lengkap. Aset juga kurang. Tetapi, kami diminta mengamankan lalu lintas yang ada di laut.
Terkait dengan kebutuhan anggaran ini, pemimpin rapat yang juga Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Utut Adianto, mengatakan, penambahan anggaran itu sudah tidak dapat dilakukan lagi. Surat permintaan dari Bakamla juga sudah disampaikan kepada Badan Anggaran (Banggar) DPR, tetapi tidak bisa ada penambahan anggaran lagi. ”Jawaban dari Banggar, kosong. Jadi, tidak mungkin lagi kita penuhi,” katanya.
Anggota Komisi I dari Fraksi Golkar, Lodewijk F Paulus, mengatakan, pihaknya sepakat menguatkan legalitas Bakamla melalui RUU Kamla. Namun, yang harus diperjelas ialah ke mana arah RUU Kamla ini, terutama dengan memperjelas posisi Bakamla sebagai institusi, yakni apakah peran-perannya akan lebih dekat kepada TNI AL, Kementerian Perhubungan, KKP, Kementerian Pertahanan, ataukah merujuk kepada Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Anggota Komisi DPR dari Fraksi PDI-P, TB Hasanuddin, mengatakan, dengan kehadiran aliansi AUKUS, ia meminta Menko Polhukam, Menteri Luar Negeri, dan semua unsur yang berwenang dalam keamanan laut untuk mendiskusikan hal ini, terutama agar sesuai dengan doktrin politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. ”Saya yakin, AUKUS itu head to head berhadapan dengan China. Sesuai doktrin pertahanan kita, dan politik luar negeri kita, Bakamla dimohon menyesuaikan,” ujarnya.
Jaga kedaulatan
Dalam keterangannya, Ketua DPR Puan Maharani juga mengingatkan pemerintah untuk serius menangani pelanggaran kedaulatan negara oleh China di Laut Natuna Utara. Dia menegaskan, Indonesia tidak boleh membiarkan negara lain terus mengganggu wilayah kedaulatan Indonesia.
Hal ini menyusul adanya kapal milik China, mulai dari kapal penjaga pantai hingga kapal perang, yang berkeliaran di wilayah ZEE Indonesia, tepatnya di Laut Natuna Utara. Bahkan, kehadiran kapal-kapal China tersebut membuat takut nelayan Indonesia untuk melaut.
”Pemerintah tidak bisa berdiam diri saat negara lain memasuki wilayah kita tanpa izin. Indonesia harus mampu menjaga kedaulatan, karena ini menyangkut harga diri bangsa, apalagi nelayan kita, sebagian rakyat Indonesia, dibuat takut oleh mereka,” kata Puan.
Ketua DPR mengingatkan, bukan kali ini saja kapal China memasuki perairan Natuna. Puan pun meminta pemerintah segera menyatakan sikap kepada China untuk tidak mengganggu kedaulatan Indonesia. ”Presiden Joko Widodo pernah terjun langsung ke perairan Natuna sebagai sinyal kepada China bahwa kedaulatan Indonesia tidak bisa diganggu. Langkah tersebut kita apresiasi. Saya rasa pemerintah perlu menyampaikan kembali nota protes kepada China,” tuturnya.
Harus ada komitmen serius dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Kita tidak bisa main-main dengan masalah kedaulatan negara. Diperlukan perbaikan pertahanan negara di wilayah perairan Natuna yang terus bermasalah buntut konflik Laut China Selatan.
Pemerintah Indonesia juga diminta menanyakan kepada Pemerintah China, apa maksud mereka mengirim kapal perang ke perairan Indonesia. China juga diketahui mengirimkan kapal survei yang dibayangi kapal penjaga pantai mereka. ”Apalagi, akibat China mengirimkan kapal perang ke perairan Natuna, masyarakat nelayan kita jadi takut melaut. Maka, harus ada upaya tegas untuk mengusir kapal-kapal China dari wilayah kita,” katanya.
Sebelumnya, Bakamla baru-baru ini juga melaporkan ada ribuan kapal asing berada di Laut Natuna Utara. Bukan hanya kapal penjaga pantai dan kapal perang China, tetapi juga kapal-kapal Vietnam yang berusaha mengambil ikan dari perairan Indonesia. Hanya saja, baik Bakamla maupun TNI tak bisa banyak mengambil langkah. Hal ini karena kurangnya armada pertahanan serta keterbatasan bahan bakar kapal.
Baca juga : AS-China Bersitegang di Laut China Selatan
”Harus ada komitmen serius dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Kita tidak bisa main-main dengan masalah kedaulatan negara. Diperlukan perbaikan pertahanan negara di wilayah perairan Natuna yang terus bermasalah buntut konflik Laut China Selatan,” ujar Puan.
Selain persoalan kedaulatan, Puan menambahkan, perairan Natuna juga mengandung sumber daya alam yang harus dipertahankan demi kesejahteraan rakyat Indonesia, terlebih yang bermukim di sekitar wilayah tersebut.
”Sumber daya di perairan Natuna bukan hanya ikan saja, karena di sana juga terdapat sumber daya mineral dan juga potensi pariwisata. Maka, pemerintah harus maksimal untuk menjaga kekayaan alam Indonesia tersebut,” katanya.
Puan mengingatkan jajaran penjaga laut Indonesia, termasuk TNI AL, untuk memastikan keamanan bagi masyarakat Indonesia saat melaut di perairan Natuna. ”Jangan gentar untuk mengusir kapal-kapal asing yang memasuki wilayah kedaulatan NKRI,” ucapnya.