Gagal Bayar Utang Evergrande dan Perlambatan Ekonomi China
Manajemen Evergrande mengatakan telah melibatkan penasihat untuk memeriksa opsi keuangannya. Perusahaan itu mengakui kemungkinan adanya risiko gagal bayar di tengah anjloknya penjualan properti perseroan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, JUMAT — Kisruh kemungkinan gagal bayar perusahaan raksasa properti China, Evergrande, semakin meluas. Selain dikhawatirkan memengaruhi pasar keuangan, rembetan kasus itu juga dinilai berisiko atas ekonomi China. Pilihan-pilihan pelik harus diambil Pemerintah China di tengah perlambatan ekonomi negara itu.
Protes meningkat di kantor-kantor Evergrande Group di seluruh wilayah China. Pihak pengembang semakin jauh dari janjinya untuk membayar kepada lebih dari 70.000 investor. Konstruksi properti yang belum selesai dengan ruang yang lantainya cukup untuk menutupi tiga perempat kota Manhattan pun terhenti pembangunannya. Lebih dari 1 juta pembeli rumah berada dalam ketidakpastian.
Lembaga pemeringkat Fitch mengatakan bahwa banyak sektor dapat terkena risiko kredit yang meningkat jika pengembang properti nomor dua terbesar di China itu mengalami gagal bayar. Namun, sejauh ini Fitch menyatakan dampak keseluruhan pada sektor perbankan akan dapat dikelola. Regulator telah memperingatkan risiko yang lebih luas terhadap sistem keuangan negara jika kewajiban perusahaan senilai 305 miliar dollar AS itu tidak dapat ditepati.
”Kami percaya gagal bayar akan memperkuat polarisasi kredit di antara pembangun rumah dan dapat mengakibatkan hambatan bagi beberapa bank kecil,” kata Fitch dalam catatan analisnya pada Selasa (14/9/2021). Fitch menurunkan peringkat utang China Evergrande Group menjadi ”CC” dari ”CCC+” pada 7 September, yang menunjukkan bahwa Fitch melihat kemungkinan perusahaan itu mengalami gagal bayar.
Fitch menurunkan peringkat utang China Evergrande Group menjadi ”CC” dari ”CCC+” pada 7 September, yang menunjukkan bahwa Fitch melihat kemungkinan perusahaan itu mengalami gagal bayar.
Manajemen Evergrande mengatakan telah melibatkan penasihat untuk memeriksa opsi keuangannya. Perusahaan itu pun mengakui kemungkinan adanya risiko gagal bayar di tengah anjloknya penjualan properti dan kurangnya kemajuan dalam pelepasan aset-asetnya. Kondisi itu benar-benar menjepit perusahaan.
Fitch mengatakan, 572 miliar yuan (88,8 miliar dollar AS) dari pinjaman Evergrande dipegang oleh bank dan lembaga keuangan lainnya. Namun, bank mungkin juga memiliki eksposur tidak langsung ke pemasok pengembang yang berutang 667 miliar yuan untuk barang dan jasa terkait perusahaan itu. ”Bank-bank kecil dengan eksposur yang lebih tinggi ke Evergrande atau pengembang rentan lainnya dapat menghadapi peningkatan signifikan dalam kredit bermasalah (NPL), tergantung bagaimana setiap peristiwa kredit yang melibatkan Evergrande berkembang,” kata Fitch.
Fitch menambahkan, tes sensitivitas bank sentral China baru-baru ini menunjukkan rasio kecukupan modal rata-rata dari 4.000 bank di negara itu hanya akan turun sedikit jika rasio NPL untuk pinjaman pengembangan properti naik 15 basis poin. Namun, itu tidak mengurangi kekhawatiran soal akibat dari kondisi gagal bayarnya Evergrande jika benar-benar terjadi. Anjloknya penjualan Evergrande menekan pengembang lain dan merembet melalui rantai pasokan yang menyumbang lebih dari seperempat dari ekonomi China.
Kekhawatiran atas Evergrande datang pada saat ekonomi China sudah melambat. Kontrol agresif untuk mengekang wabah Covid-19 merugikan pengeluaran ritel dan perjalanan, sedangkan langkah-langkah untuk menekan harga properti berdampak buruk lainnya. Data terbaru menunjukkan penjualan rumah berdasarkan nilainya telah merosot 20 persen pada Agustus dibandingkan tahun sebelumnya. Ini penurunan terbesar sejak pandemi Covid-19 melanda pada awal tahun lalu.
Pemerintah China selama ini tidak segan-segan mengambil alih perusahaan dari sektor swasta jika diperlukan. Hal itu pernah dilakukan atas Baoshang Bank Co pada tahun 2019 dan HNA Group Co setahun setelahnya. Restrukturisasi yang dipimpin pengadilan juga menjadi lebih umum dalam beberapa tahun terakhir dengan lebih dari 700 kasus diselesaikan pada tahun 2020.
Akhir kasus Evergrande mungkin sangat bergantung pada keputusan Presiden Xi Jinping. Xi selama ini bertekad menyeimbangkan tujuan menjaga stabilitas sosial dan keuangan terhadap kampanye mengurangi bahaya secara moral. Masalahnya saat ini kondisinya lebih rumit karena pelemahan ekonomi China.
Analisis Macquarie Group Ltd menyebutkan prioritas China saat ini adalah mempromosikan ”kemakmuran bersama”. Beijing juga mencegah pengambilan risiko yang berlebihan, artinya tidak mungkin ada pelonggaran pembatasan properti tahun ini. Sektor itu akan menjadi penghambat pertumbuhan utama untuk tahun depan, meskipun pembuat kebijakan dapat melonggarkan pembatasan untuk mempertahankan tujuan pertumbuhan China.
”Perlambatan jangka panjang dalam konstruksi properti, industri yang mewakili sekitar seperlima atau seperempat dari ekonomi China, menurut sebagian besar perkiraan, akan menyebabkan penurunan signifikan dalam pertumbuhan produk domestik bruto, permintaan komoditas, dan kemungkinan akan memiliki efek disinflasi secara global,” kata Logan Wright, direktur di firma riset Rhodium Group LLC yang berbasis di Hong Kong, sebagaimana dikutip Bloomberg. ”Perlambatan signifikan dalam konstruksi properti selama beberapa tahun ke depan tampaknya sudah terjadi, dan akan menjadi lebih mungkin jika terjadi kegagalan atau kebangkrutan Evergrande.” (AFP/REUTERS)