Arab Saudi pernah mengalami hubungan dalam era keemasan bersama Taliban pada era kekuasaan Taliban jilid I (1996-2001). Tetapi, kini Riyadh dingin, bahkan medianya sinis, dengan berkuasanya lagi Taliban di Afghanistan.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·3 menit baca
Saat Taliban kembali berkuasa di Afghanistan sejak 15 Agustus lalu, Arab Saudi sebagai negara besar regional tampak pasif melihat perkembangan politik penting di negara itu. Riyadh terlihat absen dari dinamika gerakan regional menghadapi segala kemungkinan pasca-Taliban berkuasa lagi di Afghanistan. Berbeda sekali dibandingkan dengan Qatar, Pakistan, Turki, dan Iran yang cukup aktif bermanuver terkait isu Taliban dan Afghanistan.
Para pejabat Arab Saudi pun sepi dari komentar tentang isu Afghanistan. Bahkan, media Arab Saudi cenderung sinis melihat isu Afghanistan di bawah Taliban jilid II. Padahal, Arab Saudi pernah mengalami era keemasan bersama Taliban pada era kekuasaan Taliban jilid I (1996-2001).
Arab Saudi adalah salah satu dari tiga negara, selain Pakistan dan Uni Emirat Arab (UEA), yang mengakui rezim Taliban di Kabul saat itu. Pada era perjuangan Afghanistan melawan pendudukan Uni Soviet (1979-1989), Arab Saudi bersama Mesir paling aktif mengirim sukarelawan ke Pakistan dan Afghanistan untuk berjuang bersama para mujahidin Afghanistan.
Akan tetapi, kini Arab Saudi tiba-tiba menjauh dari Taliban dan isu Afghanistan pasca-ambruknya rezim Taliban di Kabul akibat invasi AS ke Afghanistan tahun 2001. Riyadh tampak trauma dengan Taliban karena saat itu Taliban bersikukuh menolak menyerahkan Pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden kepada AS. Washington menuduh Al Qaeda sebagai arsitek serangan teroris di New York dan Washington DC pada 11 September 2001.
Kebetulan pula sebagian besar pelaku serangan teroris di New York dan Washington DC adalah warga negara Arab Saudi. Ini yang membuat Arab Saudi memutuskan mundur total dari urusan isu Taliban dan Afghanistan. Arab Saudi ingin putus total hubungan dengan Taliban dan isu Afghanistan sebagai bentuk kekecewaan besar Riyadh atas sikap Taliban yang pernah melindungi Al Qaeda.
Sikap Arab Saudi itu juga sekaligus untuk menunjukkan kepada AS dan Barat bahwa Riyadh bersama mereka dalam perang melawan Al Qaeda. Ini yang menyebabkan Arab Saudi menolak menjalin komunikasi dengan Taliban saat Taliban menjadi oposisi bersenjata terhadap pemerintahan Afghanistan selama 20 tahun (2001-2021).
Kekosongan tersebut kemudian diisi Qatar. Doha menjalin komunikasi intensif dengan Taliban ketika Taliban menjadi oposisi bersenjata di Afghanistan melawan pendudukan AS di negara itu. Saat Taliban berkuasa lagi di Afghanistan, posisi Arab Saudi menjadi sulit dan dilematis. Arab Saudi sudah tertinggal jauh dibandingkan dengan Qatar, Pakistan, Turki, dan juga Iran terkait isu Taliban dan Afghanistan.
Padahal, Arab Saudi masih punya kepentingan cukup besar di Afghanistan, yaitu agar Afghanistan tidak lagi menjadi basis jaringan teroris internasional, seperti pada era kekuasaan Taliban jilid I dan terkait ancaman kepentingan geopolitik Riyadh dalam persaingan dengan Iran.
Bagi Riyadh, isu jaringan teroris internasional lebih mudah karena isu itu juga menjadi kepentingan masyarakat internasional. Tanpa ada hubungan resmi dengan Taliban pun, kepentingan Riyadh terkait isu teroris bisa aman. Namun, tidak demikian halnya terkait isu persaingan geopolitik dengan Iran.
Arab Saudi baik langsung maupun tidak langsung harus menjalin komunikasi dengan Taliban. Riyadh sampai saat ini tampak masih malu-malu melakukan kontak langsung dengan Taliban. Maka, pilihan Riyadh adalah membangun hubungan tidak langsung dengan Taliban melalui Qatar atau Pakistan untuk menjaga kepentingan geopolitiknya di Afghanistan dalam konteks persaingan dengan Iran.