Di Balik Redupnya Islamis dan Bersinarnya Liberalis di Maroko
Pengamat dan media saat ini menyoroti perkembangan politik di Maroko pascakekalahan amat telak partai beraliran Islamis, Partai Keadilan dan Pembangunan, dan bersinarnya partai-partai beraliran liberal-nasionalis.
Pengamat dan media sampai saat ini cukup memberi perhatian atas perkembangan politik di Maroko, negara Arab berpenduduk sekitar 36 juta jiwa di Afrika Utara. Persisnya tentang kekalahan sangat telak partai beraliran Islamis, Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD), dan bersinarnya partai-partai beraliran liberal-nasionalis dalam pemilu parlemen pada Rabu, 8 September 2021.
PJD adalah partai yang mendominasi panggung politik dan memimpin koalisi pemerintahan selama satu dekade di Maroko.
Namun, benar-benar di luar dugaan, PJD hanya meraih 13 kursi dari 395 kursi parlemen yang diperebutkan. Partai tersebut menempati urutan kedelapan atau menjadi partai kecil dalam peta kekuatan politik di negara itu pascapemilu parlemen 8 September 2021.
Kekalahan PJD tersebut justru terjadi di kota-kota besar, seperti kota Rabat, Kasablanca, Fez, dan Tangier yang dikenal sebagai basis suara PJD pada pemilu parlemen 2011 dan 2016. Padahal, pada pemilu parlemen 7 Oktober 2016, PJD meraih 125 kursi atau menempati urutan pertama saat itu.
Sebaliknya partai-partai politik beraliran liberal-nasionalis meraih suara besar pada pemilu parlemen 8 September lalu. Partai Reli Nasional Independen (RNI) yang beraliran liberal meraih 102 kursi, yakni bertambah 65 kursi dari pemilu parlemen 2016.
Sebaliknya partai-partai politik beraliran liberal-nasionalis meraih suara besar pada pemilu parlemen 8 September lalu.
Partai Kebenaran dan Pembaruan (PAM), yang juga beraliran liberal, memperoleh 87 kursi, yakni bertambah 15 kursi dari pemilu parlemen 2016. Partai Nasionalis Istiqlal mendapat 81 kursi, bertambah 35 kursi dari pemilu 2016.
Sesuai dengan konstitusi Maroko, partai peraih suara terbanyak berhak membentuk pemerintahan. Maka, Raja Maroko Muhammad IV pada Jumat (10/9/2021) telah menunjuk Ketua RNI Aziz Akhannouch untuk membentuk pemerintahan baru.
Berita terakhir dari Maroko mengabarkan, Akhannouch cenderung memilih berkoalisi dengan PAM (87 kursi) dan Istiqlal (81 kursi). Akhannouch pada Senin (13/9) telah mengundang Ketua PAM Abdellatif Ouahbi dan Ketua Partai Istiqlal Nizar Baraka untuk duduk bersama membahas pembentukan koalisi pemerintahan antara RNI, PAM, dan Istiqlal.
Jika koalisi RNI, PAM, dan Istiqalal (102+87+81 = 270 kursi) berhasil terbentuk, mewujudlah koalisi liberal-nasionalis di Maroko. Hal itu menandai berakhirnya era emas kubu Islamis (PJD) di Maroko yang berlangsung selama satu dekade (2011-2021).
Kekalahan telak PJD itu memaksa ketuanya, Saadeddine Othmani, mengundurkan diri sebagai ketua PJD segera setelah hasil awal pemilu parlemen 8 September 2021 diumumkan.
Para pengamat menyebut, kemerosotan luar biasa perolehan kursi PJD hingga mencapai 90 persen itu bukan sekadar kekalahan, melainkan lebih berupa sanksi politik rakyat Maroko terhadap PJD. Ini yang membuat munculnya banyak spekulasi tentang mengapa rakyat Maroko memberi sanksi politik kepada PJD?
Pertama, tindakan Raja Maroko Muhammad IV pada 17 Maret 2017 menunjuk Saadeddine Othmani sebagai perdana menteri (PM) dan sekaligus membentuk pemerintahan baru menggantikan pemimpin PJD saat itu, Abdelilah Benkirane, yang gagal membentuk pemerintahan baru pascakemenangan PJD pada pemilu parlemen 7 Oktober 2016.
Tindakan Raja Maroko tersebut menyebabkan terjadi perpecahan di tubuh PJD antara faksi Abdelilah Benkirane dan faksi Saadeddine Othmani. Benkirane dan Othmani adalah dua tokoh besar dalam jajaran PJD saat ini.
Faksi Benkirane tidak hanya mengritik keras kepemimpinan Othmani di PJD, tetapi terus menggembosi prestasi yang dicapai pemerintahan PM Othmani. Faksi Benkirane menyebut, Othmani tidak layak memimpin PJD. Faksi Benkirane disebut lebih kuat dibandingkan dengan faksi Othmani dalam tubuh PJD.
Hal itu menyebabkan popularitas PJD turun drastis di kantong-kantong suara Islamis di Maroko yang menginginkan Arabisasi dalam sektor pendidikan di Maroko.
Menurut sejumlah analis, anjloknya perolehan suara PJD akibat gerakan penggembosan faksi Benkirane dari dalam atas PJD pada pemilu parlemen 8 September lalu.
Kedua, PJD dianggap bertanggung jawab atas lolosnya undang-undang (UU) di parlemen yang mengizinkan menggunakan bahasa Perancis dalam pengajaran materi sains dan teknologi di sekolah menengah dan perguruan tinggi di Maroko. Padahal, PJD sebagai pemilik kursi terbanyak saat itu bisa mencegah lolosnya UU tersebut. Hal itu menyebabkan popularitas PJD turun drastis di kantong-kantong suara Islamis di Maroko yang menginginkan Arabisasi dalam sektor pendidikan di Maroko.
Ketiga, pemerintahan PM Othmani mendukung kuat kebijakan normalisasi Maroko-Israel pada Desember 2020 yang dikenal dengan Abraham Accord. Saat itu, opini umum di Maroko mengritik kebijakan Maroko yang mengikuti jejak tiga negara Arab lain, yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan, dalam kaukus Abraham Accord.
Menurut sejumlah analis, kebijakan PM Othmani mendukung kuat normalisasi hubungan Maroko-Israel menyebabkan hilangnya dukungan kantong-kantong basis suara Islamis di negara itu atas PJD dan pemerintahan PM Othmani.
Keempat, kondisi ekonomi yang buruk akibat pandemi Covid-19 turut menurunkan popularitas PJD dan pemerintahan PM Othmani. Ekonomi Maroko yang sangat mengandalkan sektor pariwisata langsung sempoyongan karena pariwisata merupakan sektor yang paling parah terkena dampak pandemi Covid-19.
Kaum kelas menengah dan bawah Maroko yang memberikan suaranya kepada PJD pada pemilu parlemen tahun 2011 dan 2016 cukup kecewa terhadap pemerintahan PM Othmani yang dianggap gagal menangani pandemi Covid-19 di Maroko. Maka, mereka tidak memberi suara lagi kepada PJD pada pemilu parlemen 8 September lalu dan mengalihkan suaranya pada partai-partai liberal.
Kelima, PJD terlalu percaya diri dengan kebesaran dan kemenangannya yang cukup telak pada pemilu parlemen 2011 dan 2016. Akibat terlalu percaya diri itu, pimpinan PJD yang didominasi faksi Othmani kurang melakukan komunikasi dengan basis-basis suara PJD. Dengan kata lain, pimpinan PJD semakin elitis dan kian jauh dari basis massanya. Ini yang membuat massa PJD mengalihkan suaranya ke partai-partai lain.
Keenam, pengaruh lingkungan Afrika Utara dan Timur Tengah yang menunjukkan semakin redupnya kekuatan Islamis di kawasan tersebut, seperti ambruknya Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, tumbangnya rezim Presiden Omar Hassan Bashir di Sudan yang didukung kubu Islamis di negara itu, dan terakhir krisis politik di Tunisia yang menyebabkan semakin lemahnya partai Islamis Ennahda akibat kebijakan Presiden Tunisia Kais Saied yang didukung militer membekukan parlemen.
Sejumlah analis menyebut situasi geopolitik di Afrika Utara dan Timur Tengah yang cenderung semakin menunjukkan redupnya kekuatan Islamis ikut berpengaruh atas situasi politik di dalam negeri Maroko.
Seperti diketahui, bangkitnya PJD di Maroko dengan berhasil meraih 107 kursi pada pemilu parlemen 25 November 2011 dan untuk pertama kalinya memimpin koalisi pemerintahan tak lepas dari pengaruh situasi kawasan. Kala itu, kawasan dihinggapi euforia musim semi Arab tahun 2011 yang mengantarkan banyak kekuatan politik Islamis ke tampuk kekuasaan, seperti di Mesir, Libya, dan Tunisia.
Bagaimana masa depan PJD dan kubu Islamis di Maroko?
Ada dua kemungkinan yang akan terjadi di tubuh PJD. Pertama, kembalinya faksi Benkirane memimpin PJD yang didepak oleh faksi Othmani pada 2017. Seperti diketahui, PJD meraih kejayaan pada pemilu parlemen 2011 dan 2016 ketika dipimpin Abdelilah Benkirane. Sebaliknya, PJD ambruk saat dipimpin oleh faksi Othmani.
Kedua, dilakukan regenerasi kepemimpinan di PJD dengan tampilnya generasi muda PJD sebagai pimpinan baru partai. Jika skenario ini yang terjadi, faksi Benkirane ataupun Othmanis harus mundur dari gelanggang.
Tentu kongres PJD mendatang yang menentukan skenario apa yang terjadi kepada partai politik tersebut.