Varian Delta dan Banjir Hambat Pemulihan Ekonomi China
Ekonomi China ditargetkan tumbuh dari 2,3 persen pada 2020 menjadi di atas 6 persen pada 2021. Tren positif di semester I-2021 tersandung di Agustus akibat Covid-19 varian Delta dan banjir.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
AFP/WANG ZHAO
Seorang bapak bersama dua putranya terlihat berbelanja di sebuah swalayan di Beijing, China, 25 Juli 2021. Data terbaru menunjukkan tingkat pertumbuhan penjualan ritel di China melemah pada Agustus tahun ini.
BEIJING, RABU — Tren pemulihan ekonomi China tersandung oleh perlambatan pertumbuhan beberapa sektor di Agustus. Ini merupakan konsekuensi dari pengetatan protokol kesehatan di sejumlah daerah menyusul lonjakan kasus Covid-19 varian Delta dan banjir.
Pada tahun lalu, China menjadi satu-satunya negara dengan ekonomi skala besar yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif, yakni 2,3 persen. Tahun ini, Pemerintah China menargetkan pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi di atas 6 persen. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) per Juni memperkirakan, China akan tumbuh 8,1 persen pada 2021 dan 5,7 persen di 2022.
Juru bicara Biro Statistik Nasional, China Fu Linghui, pada paparan persnya di Beijing, Rabu (15/9/2021), menyatakan, perekonomian China masih mampu mempertahankan tren pemulihan pada Agustus. Namun, diakui bahwa fondasi ekonomi negara itu tengah dalam upaya konsolidasi.
”Kita harus menyadari bahwa lingkungan internasional masih rumit dan parah, juga di dalam negeri telah dirasakan bahwa wabah Covid-19 secara sporadis dan bencana alam, seperti banjir, telah berdampak pada perekonomian,” kata Fu.
KOMPAS
Pertumbuhan penjualan ritel di China pada bulan Agustus 2021 melambat dengan total penjualan ritel barang konsumsi China tumbuh 2,5 persen dari tahun lalu, namun turun 6% dari pertumbuhan di bulan Juli. Badan Pusat Statistik China mengatakan, penurunan tersebut disebabkan situasi internasional dan domestik
Berdasarkan data Biro Statistik Nasional China, pertumbuhan penjualan ritel pada Agustus hanya 2,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Ini jauh merosot dibandingkan dengan pertumbuhan pada Juli, yakni 8,5 persen, sekaligus tingkat terendah dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Ekspektasi para analis, sebagaimana survei Bloomberg, adalah 7 persen.
Pertumbuhan produksi industri China secara tahunan juga melambat per Agustus, hanya 5,3 persen setelah naik 6,4 persen pada Juli. Sementara ekspektasinya 5,8 persen.
Penjualan industri katering sebagai bagian di dalamnya, misalnya, selama Agustus turun 4,5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Padahal, Juli pertumbuhannya 14,3 persen. Data produksi industri adalah ukuran atas aneka aktivitas di sektor manufaktur, pertambangan, dan utilitas.
Sementara investasi aset tetap China tumbuh 8,9 persen selama periode Januari-Agustus tahun ini. Meski naik, tingkat kenaikannya lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan selama periode Januari-Juli 2020 yang mencapai 10,3 persen. Investasi aset tetap adalah ukuran pengeluaran atas barang-barang. Termasuk di dalamnya adalah barang-barang sektor infrastruktur, properti, mesin-mesin, dan peralatan.
AFP/STRINGER
Warga mengantre menjalani tes Covid-19 di Xiamen, Provinsi Fujian, China, Selasa (14 /9/2021). Dalam empat hari terakhir, tiga kota di Provinsi Fujian mencatatkan 102 kasus baru.
Analis bank investasi Nomura, Ting Lu, mengatakan, angka pertumbuhan yang kurang meyakinkan bagi perekonomian China itu menggambarkan akibat dari pengaruh penyebaran virus korona varian Delta di negara itu. Hal itu telah mendorong pemerintah mengambil aneka tindakan pengetatan.
Langkah pengetatan di antaranya diterapkan di sektor properti. Ini adalah langkah yang belum terjadi. ”Sayangnya, gelombang baru Covid-19 di Provinsi Fujian meredupkan harapan (untuk pemulihan). Kami menganggap bahwa strategi tanpa kasus Covid-19 China bisa semakin mahal (ongkosnya) bagi ekonominya,” kata Ting.
Sementara itu, sejumlah indikator mengalami perlambatan pertumbuhan, ekspor China menguat. Ini terjadi karena negara-negara produsen pesaing China mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19. Ini, misalnya, dialami Vietnam dan Malaysia sehingga ekspornya terganggu.
”Gangguan produksi industri di pusat manufaktur utama, seperti Vietnam dan Malaysia, karena meningkatnya gelombang Delta Covid-19, telah membantu mengalihkan pesanan ekspor ke China. Ini membantu perusahaan manufaktur ekspor China,” kata Rajiv Biswas, analis pada lembaga IHS Markit.
STR/AFP
Karyawan bekerja di jalur perakitan truk di sebuah pabrik milik Jianghuai Automobile Group Corp. (JAC), di Qingzhou, Provinsi Shandong, China, Senin (15/3/2021).
Dari sektor ketenagakerjaan, tingkat pengangguran di China tetap di level 5,1 persen. Data ini turut melegakan Pemerintah China yang sebelumnya khawatir tingkat pengangguran akan melonjak. Bertambahnya pengangguran dikhawatirkan dapat memicu keresahan hingga kerusuhan sosial.
Angka pengangguran di China sempat menembus 6,2 persen pada Februari 2020 saat China masih menjadi episentrum Covid-19. Angka pengangguran itu menjadi catatan tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Media South China Morning Post menyebutkan, China telah menetapkan target untuk menciptakan 11 juta lapangan kerja perkotaan baru dan tingkat pengangguran perkotaan sebesar 5,5 persen untuk tahun ini.
Ekonomi negara itu pada paruh pertama tahun ini tumbuh 12,7 persen secara tahunan. Namun, sejak itu, para ekonom memangkas prospek ekonomi China, seiring dengan penyebaran varian Delta yang memaksa otoritas menutup restoran dan aneka tempat hiburan.
STR / AFP
Seorang pembeli tengah memilih barang di pasar jalanan di Shenyang, Provinsi Liaoning, China, 10 Maret 2021.
Pemulihan ekonomi China akan sangat memengaruhi pemulihan ekonomi negara mitranya, termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, skala impor China untuk berbagai barang dari negara mitra terhitung besar. Untuk Indonesia, misalnya, China merupakan negara tujuan ekspor batubara dan sawit terbesar.
Kasus Covid-19 yang menjadi batu sandungan pertumbuhan ekonomi China melonjak di sejumlah daerah di negara itu sejak akhir Juli. Lonjakan terakhir terjadi di kota-kota di Provinsi Fujian, di bagian selatan China.
Dalam empat hari terakhir, tercatat muncul 102 kasus baru. Di China yang memiliki protokol kesehatan amat ketat, jumlah tersebut cukup untuk membuat pemerintah daerah menerapkan karantina wilayah. Apalagi, penyebab infeksi adalah varian Delta yang lebih menular dan lebih mematikan. Sudah begitu, sebagian yang terpapar adalah anak-anak sekolah.
Kasus-kasus baru itu terdeteksi di tiga kota di Provinsi Fujian. Pada Selasa (14/9/2021), kantor berita nasional Xinhua melaporkan, enam kasus baru terdeteksi di kota Quanzhou.
AFP/STRINGER
Warga mengantre menjalani tes Covid-19 di Xiamen, Provinsi Fujian, China, Selasa (14 /9/2021). Dalam empat hari terakhir, tiga kota di Provinsi Fujian mencatatkan 102 kasus baru.
Pemerintah Provinsi Fujian pun segera membatasi berbagai kegiatan masyarakat. Kegiatan sekolah ditutup. Semua jenis angkutan umum dihentikan operasinya. Di Bandara Xiamen, 40 persen penerbangan dibatalkan. Adapun di Quanzhou, 70 persen penerbangan yang dibatalkan.
Pada 22 Juli, hujan ekstrem melanda Provinsi Henan. Hujan deras selama enam hari berturut-turut itu mengakibatkan banjir yang memakan korban jiwa 25 orang dan tujuh orang lainnya dilaporkan hilang.
Sebanyak 167.710 orang diungsikan. Adapun rumah dari 1,24 juta orang terdampak banjir. Jumlah seluruh penduduk kota Zhengzhou adalah 12 juta jiwa. Di provinsi tetangga, Hebei, hujan badai dan angin puting beliung juga melanda. Dua orang dikabarkan tewas. (AFP)