100 Pemimpin Dunia akan Hadiri Sidang Umum PBB ke-76
Sidang ke-76 Majelis Umum PBB di New York, pekan depan, sedianya akan dihadiri langsung oleh 100 kepala negara dan pemerintahan. Presiden Jokowi termasuk yang tidak hadir langsung tetapi mengirim video rekaman pidato.
Oleh
BENNY D KOESTANTO, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
NEW YORK, SELASA – Lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan dijadwalkan hadir langsung pada Sidang ke-76 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, pekan depan. Di tengah kondisi pandemi Covid-19 berikut persoalan multisektor yang memukul semua negara selama hampir dua tahun terakhir, forum itu diharapkan memberikan solusi konkret.
Banyak diplomat dan pemimpin mengeluh secara terbuka bahwa pertemuan virtual tidak dapat menggantikan pertemuan tatap muka secara bilateral maupun dalam kelompok lebih besar. Semangat yang diusung adalah bersama dan dalam kebersamaan mengatasi tantangan dan krisis regional dan global.
Dengan latar belakang itu, maka PBB menjembatani dilakukannya pertemuan sidang umum yang bersifat hibrida. Para pemimpin dapat datang langsung ke New York atau memilih, seperti tahun lalu, membuat pernyataan yang direkam sebelumnya untuk ditampilkan di Sidang Umum.
Hingga Selasa (14/9/2021), 73 kepala negara dan 31 kepala pemerintahan dari seluruh dunia telah menyatakan diri akan hadir. Ini dinilai mencerminkan pentingnya pertemuan tahunan PBB, yang secara resmi disebut Debat Umum, dan strategis perannya dalam diplomasi global.
Mereka yang sedianya akan hadir antara lain Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Raja Abdullah II dari Jordania, Presiden Brasil Jail Bolsonaro, dan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Presiden Joko Widodo termasuk di antara mereka yang memilih tidak hadir di lokasi dan menyampaikan pidato melalui rekaman video. Hal sama dilakukan pemimpin dari Iran, Mesir, Perancis, Afrika Selatan, dan Zimbabwe.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam pembukaan sesi Sidang Majelis Umum PBB, Selasa, menyatakan pandemi Covid-19 telah terbukti menjadi periode paling menantang yang pernah dialami dunia sejak Perang Dunia II. Pandemi telah ikut mengakibatkan kesenjangan ekonomi baru yang semakin dalam, hingga menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan ekstrem.
Pandemi telah ikut mengakibatkan kesenjangan ekonomi baru yang semakin dalam, hingga menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan ekstrem.
Ia memuji kepemimpinan Turki pada Majelis Umum PBB selama setahun terakhir karena mendukung negara dan komunitas untuk membangun kembali sistem yang hancur oleh pandemi.
Kepresidenan Majelis Umum PBB telah diserahkan secara resmi dari Volkan Bozkir, mewakili Turki, kepada penggantinya dari Maladewa, Abdulla Shahid. Dalam pidato sebelum menutup pertemuan terakhir Majelis ke-75, Bozkir mencatat bahwa masa jabatannya terjadi di tengah-tengah tahun yang penuh gejolak, bersejarah, transformatif, tidak setara, menantang, dan inovatif.
”Sejak awal kepresidenan saya, kami tahu bahwa Covid-19 akan mendominasi agenda kami. Namun, saya sekarang dapat mengatakan bahwa itu telah memperkuat keyakinan kami pada PBB yang lebih efektif dan lebih responsif,” katanya dalam keterangan resmi PBB.
Shahid mengingatkan masih adanya ”kecemasan kolektif” dan keputusasaan yang hampir universal akibat pandemi. Ia menekankan perlunya perubahan narasi dan bahwa Majelis Umum harus berperan dalam hal itu.
Menurut dia, momen-momen bersejarah ini membutuhkan harapan di atas segalanya. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa PBB menyadari penderitaan mereka, mendengarkan, dan bersedia bekerja sama untuk mengatasi masalah. Ia menekankan perlunya gerakan masif vaksinasi Covid-19 secara global dan mendorong pemulihan ekonomi yang lebih ramah lingkungan sekaligus lebih inklusif.
Urusan vaksinasi Covid-19 juga menjadi agenda Indonesia dalam Sidang Majelis Umum PBB tahun ini. Presiden Jokowi akan mengusung agenda keadilan vaksin Covid-19 bagi seluruh masyarakat dunia dan penanganan krisis iklim. Pendekatan yang dipakai tetap mengedepankan multilateralisme yang menekankan pada pengakuan situasi obyektif di setiap negara.
Akses vaksin
Sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Multilateralisme Kementerian Luar Negeri, Febrian Alphyanto Ruddyard, di Jakarta, Rabu (15/9), pidato Presiden akan menekankan keadilan dan pemerataan akses vaksin Covid-19 bagi seluruh masyarakat dunia. Pandemi telah berlangsung selama hampir dua tahun dan ketimpangan akses vaksin masih terjadi.
Rata-rata negara-negara maju telah memvaksinasi lebih dari 70 persen penduduknya. Sebaliknya, negara-negara miskin dan berkembang kesulitan memperoleh vaksin karena distribusi yang tidak merata. ”Selain itu, juga akan dibahas mengenai diskriminasi vaksin Covid-19. Saat ini, ada beberapa jenis dan merek vaksin yang mengalami diskriminasi dari segelintir negara,” tutur Febrian.
Sedianya, Presiden Jokowi akan menyampaikan pidato secara daring pada 23 September dini hari waktu Indonesia. Adapun Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan hadir langsung di New York pada 21-27 September. Di sela-sela sidang, Retno akan menghadiri 36 pertemuan bilateral dan multilateral dengan berbagai organisasi internasional, termasuk dengan Sekjen PBB Antonio Guterres.
Isu kedua yang digaungkan Indonesia adalah penanganan perubahan iklim. Dalam laporan Groundswell oleh Bank Dunia yang dirilis awal pekan ini dikatakan bahwa, jika tidak ada tindakan mitigasi krisis iklim, per 2050 akan ada 216 juta jiwa penduduk bumi yang mengalami kekeringan, kelaparan, gagal panen, dan kehilangan tempat tinggal akibat terendam air laut yang permukaannya terus naik.
Dunia telah menyepakati usaha pengurangan emisi karbon. Tuduhan penyebab emisi terparah adalah penggunaan batubara sebagai sumber energi. Sebanyak 80 persen emisi batubara di dunia dihasilkan oleh enam negara, yaitu Indonesia, China, Vietnam, Bangladesh, Turki, dan India.
Negara-negara maju menargetkan bahwa pada 2030 mereka tidak akan lagi memakai bahan bakar fosil dan per tahun 2050 sudah dekarbonisasi total. ”Indonesia menyepakati standar mitigasi berupa pengurangan emisi. Komitmen kita adalah mengurangi 26 persen emisi di 2030 dan 41 persen di 2050 dengan bantuan internasional,” kata Febrian.
Agenda pandemi Covid-19 juga akan diusung oleh Presiden AS Joe Biden. Gedung Putih mengatakan, Biden akan melakukan perjalanan ke New York pada 21 September untuk berpidato di Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya, Biden disebut The Washington Post dan Politico bakal mengusulkan pertemuan puncak internasional yang khusus didedikasikan untuk menangani pandemi Covid-19.
Di sela-sela forum tingkat tinggi itu, Biden dijadwalkan akan menjamu Perdana Menteri Australia, India, dan Jepang di Washington pada 24 September. Kelompok diplomatik yang dijuluki Quad atau Dialog Keamanan Segi Empat itu dinilai sebagai upaya untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi dan militer China yang berkembang di kawasan Asia-Pasifik.
Pertemuan itu akan menjadi pertemuan puncak pertama dan akan mempertemukan Biden, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison.