RI Usung Isu Keadilan Vaksin di Sidang Majelis Umum PBB
Presiden Joko Widodo akan menyampaikan pidato secara daring pada 23 September. Pidato Presiden akan menekankan kepada keadilan dan pemerataan akses vaksin Covid-19 bagi seluruh masyarakat dunia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia akan mengusung agenda keadilan vaksin Covid-19 bagi seluruh masyarakat dunia dan penanganan krisis iklim ke dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada pekan depan. Pendekatan yang dipakai tetap mengedepankan multilateralisme yang menekankan pada pengakuan situasi obyektif di setiap negara.
Sekelumit agenda Sidang ke-76 Majelis Umum (SMU) PBB itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Multilateralisme Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard di Jakarta, Rabu (15/9/2021). Adapun SMU PBB sudah dimulai di Kota New York, Amerika Serikat, kemarin dengan agenda sidang ke-48 Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Menurut Febrian, Menlu Retno Marsudi akan hadir langsung di New York pada 21-27 September. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menyampaikan pidato secara daring pada 23 September dini hari waktu Indonesia. Di sela-sela sidang, Retno akan menghadiri 36 pertemuan bilateral ataupun multilateral dengan berbagai organisasi internasional, termasuk dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Keadilan vaksin
Febrian memaparkan, pidato Jokowi akan menekankan kepada keadilan dan pemerataan akses vaksin Covid-19 bagi seluruh masyarakat dunia. Pandemi telah berlangsung selama dua tahun dan ketimpangan akses vaksin masih terjadi. Sebagai gambaran, negara-negara maju telah memvaksinasi lebih dari 70 persen penduduknya. Sebaliknya, negara-negara miskin dan berkembang kesulitan memperoleh vaksin karena distribusi yang tidak merata.
”Selain itu, juga akan dibahas mengenai diskriminasi vaksin Covid-19. Saat ini, ada beberapa jenis dan merek vaksin yang mengalami diskriminasi dari segelintir negara,” tutur Febrian.
Beberapa vaksin yang mengalami diskriminasi ialah vaksin Sinovac dan Sinopharm buatan China. Vaksin ini masih memakai teknologi vektor viral yang sudah lama. Ini berbeda dengan vaksin Pfizer-BioNtech dan Moderna dari Amerika Serikat dan Eropa yang memakai teknologi mRNA. Selain pembuatan yang lebih canggih dan cepat, vaksin mRNA memang lebih mampu beradaptasi dengan perkembangan virus korona.
Namun, vaksin berbasis mRNA perlu biaya besar untuk pengadaannya. Dari sisi penyimpanan juga bermasalah karena hanya bisa diletakkan di lemari pembeku dengan suhu setidaknya minus 20 derajat celsius. Sarana dan prasarana ini tidak dimiliki negara-negara miskin dan berkembang. Aspek ini banyak belum dipahami pemerintah ataupun media Barat. Akibatnya, orang-orang yang disuntik dengan vaksin buatan China, walaupun telah menerima dosis lengkap, tetap tidak diperbolehkan masuk ke sejumlah negara maju.
Dalam wawancara dengan Kompas beberapa waktu lalu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ary Fachrial Syam menjelaskan, dalam proses vaksinasi, faktor penting bukan hanya teknologi pembuatan vaksin, tetapi juga uji klinis di negara yang memakai vaksin tersebut. Hanya melalui uji klinis bisa dipastikan vaksin itu cocok dengan penduduk suatu negara atau tidak. Ini turut mencakup ketahanan vaksin di iklim tropis dan infrastruktur yang dimiliki.
”Hingga kini, memang baru Sinovac yang sudah uji klinis di Indonesia dan benar-benar sudah bisa dijamin aman bagi warga kita. Harapan komunitas kesehatan ialah agar semua merek vaksin bisa uji klinis di Indonesia agar kita bisa menyesuaikan kinerja vaksin dengan kebutuhan Indonesia. Dari segi vaksin yang benar-benar untuk warga Indonesia, memang kita menunggu hasil dari uji klinis vaksin Merah Putih,” paparnya.
Jika keadilan vaksin hendak diwujudkan, salah satu argumen yang didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah penangguhan hak cipta dan kekayaan intelektual vaksin Covid-19. China dan Rusia sudah melakukannya melalui kerja sama dengan negara-negara lain untuk memproduksi vaksin secara global. AstraZeneca dan Johnson & Johnson sudah diproduksi di India, Thailand, dan Afrika Selatan. Baru-baru ini, Moderna juga menambah mitra produksi mereka yang mencakup Uni Emirat Arab dan Spanyol. Hanya Pfizer yang masih berkukuh tidak mau menangguhkan hak cipta mereka.
Krisis iklim
Isu kedua yang digaungkan Indonesia adalah penanganan perubahan iklim. Dalam laporan Groundswell oleh Bank Dunia yang dirilis awal pekan ini dikatakan bahwa, jika tidak ada tindakan mitigasi krisis iklim, per tahun 2050 akan ada 216 juta penduduk bumi yang mengalami kekeringan, kelaparan, gagal panen, dan kehilangan tempat tinggal akibat terendam air laut yang permukaannya terus naik.
Aspek yang disepakati dunia ialah pengurangan emisi karbon. Tuduhan penyebab emisi terparah adalah akibat penggunaan batubara sebagai sumber energi. Bahkan, 80 persen emisi batubara di dunia dihasilkan oleh enam negara, yaitu Indonesia, China, Vietnam, Bangladesh, Turki, dan India. Negara-negara maju menargetkan bahwa pada 2030 mereka tidak akan lagi memakai bahan bakar fosil dan per tahun 2050 sudah dekarbonisasi total.
”Indonesia menyepakati standar mitigasi berupa pengurangan emisi. Komitmen kita adalah mengurangi 26 persen emisi di tahun 2030 dan 41 persen di tahun 2050 dengan bantuan internasional,” kata Febrian.
Ia menerangkan, mitigasi krisis iklim terdiri dari tiga sektor, yaitu skala ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan hidup. Ketiga aspek ini tidak bisa berdiri sendiri. Pemakaian batubara adalah salah satu dari unsur ini yang harus diimbangi dengan langkah-langkah lain.
”Dalam diskusi mengenai mitigasi krisis iklim, kesepakatan global ialah memberi target pengurangan emisi dengan memperhatikan kondisi obyektif tiap-tiap negara. Untuk Indonesia, misalnya, kita belum bisa langsung menghentikan pemakaian batubara, tetapi kita bisa mengimbangi dengan deforestasi, reboisasi, dan upaya lain yang tidak bisa dinafikan pengaruhnya,” tutur Febrian.