Pasca-uji Coba Rudal Korut, Menlu China-Korsel Bahas Keamanan Kawasan
China dan Korsel akan membahas keamanan kawasan, termasuk isu nuklir Korut. Agenda itu menjadi perhatian, seusai Pyongyang menguji rudal jelajah berkemampuan nuklir.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
SEOUL, RABU — Setelah mengunjungi Singapura, Menteri Luar Negeri China Wang Yi dijadwalkan bertemu mitranya Menlu Korea Selatan Chung Eui-yong di Seoul, Rabu (15/9/2021) siang waktu setempat. Keduanya diharapkan akan fokus pada masalah keamanan kawasan, termasuk isu denukilisasi Korea Utara.
Ketika berita ini diturunkan, pertemuan sedang berlangsung. Chung selaku tuan rumah akan meminta China memainkan peran yang lebih aktif dalam membujuk Korea Utara (Korut) agar kembali ke meja perundingan nuklir. Rudal jelajah jarak jauh terbaru yang diuji coba akhir pekan lalu, menurut para ahli, memiliki kemampuan nulir.
Korsel mengharapkan China lebih berperan dalam proses denuklirisasi di Semenanjung Korea. Apalagi, Beijing masih menjadi sekutu besar Pyongyang hingga saat ini dan menjadi acuan pandangan politik. China adalah pemberi bantuan utama bagi negara miskin di Semenanjung Korea itu.
Lebih dari 90 persen perdagangan Korut melewati China. Namun, volume perdagangan bilateral China-Korut telah menurun tajam sejak Korut menutup perbatasan internasionalnya awal tahun lalu akibat pandemi Covid-19.
Terkait pembicaraan Chung dan Wang hari ini, beberapa pengamat mengatakan Wang juga akan berusaha untuk memperkuat hubungan China dengan Korsel. Wang diperkirakan mencoba untuk menjelaskan posisi Beijing terkait kehadiran AS, sekutu utama Korsel, di kawasan.
Pengamat mengatakan, China tentu saja sangat khawatir terhadap rencana AS mengalibrasi ulang kebijakan luar negerinya, termasuk ke Indo-Pasifik. AS tampaknya mengalami tantangan yang semakin besar yang ditimbulkan oleh China dan Rusia setelah penarikan pasukannya dari Afghanistan.
Korsel sendiri tengah berupaya mencapai keseimbangan hubungan antara AS dan China. Korsel adalah sekutu tradisional utama AS. Sekitar 28.500 tentara AS ditempatkan di negara itu untuk mencegah potensi agresi Korut. Namun, ekonomi Korsel digerakkan oleh ekspor ke China, mitra dagang terbesarnya.
Persoalan kini muncul karena Korut terus meningkatkan program nuklirnya. Pertemuan Wang dan Chung juga terjadi dua hari setelah media-media resmi Pemerintah Korut mengumumkan bahwa Pyongyang berhasil menguji rudal jelajah jarak jauh dengan kemampuan nuklir.
Media-media Pemerintah Korut, Senin, mengatakan, Pyongyang berhasil menguji rudal dua hari di akhir pekan lalu. Rudal-rudal itu dilaporkan mencapai target yang berada di jarak 1.500 kilometer. Para ahli mengatakan, jangkauan itu cukup untuk menyerang seluruh Jepang dan Korsel, termasuk fasilitas militer AS di dua negara itu.
Pengamat memperkirakan rudal-rudal jelajah jarak jauh Korut adalah senjata pertama Korut pada jenis itu yang berkemampuan nuklir. Kantor berita resmi negara itu, KCNA, sebelumnya mengatakan, rudal mencapai target di perairan internasional. Para pakar menyebutkan, uji coba rudal Korut tersebut mengganggu negara-negara tetangga di kawasan.
Peluncuran rudal jelajah Korut itu bukanlah pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB, yang melarang negara itu melakukan uji coba rudal balistik. Beberapa ahli mengatakan, Pyongyang mungkin memilih rudal jelajah, bukan rudal balistik, untuk membuat sekutunya China (anggota DK PBB yang memiliki hak veto) terhindar dari situasi sulit di PBB. Para ahli mengatakan, Korut menginginkan dukungan yang lebih besar dari China karena kondisi ekonomi Korut yang makin buruk.
Sebelum ke Seoul, Wang telah terlebih dahulu mengunjungi Kamboja, Vietnam, dan pada Selasa kemarin dia mengadakan pembicaraan dengan PM Singapura Lee Hsien Loong. Dalam pertemuan tersebut, Wang juga membicarakan keamanan kawasan.
Kunjungan Wang ke Singapura dipandang para pengamat sebagai upaya menolak pengaruh AS di kawasan. Baru-baru ini, Wakil Presiden AS Kamala Harris dan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin telah mengunjungi Singapura. Keduanya mengecam keras agresi Beijing yang berkembang di Asia. (AP/AFP)