Negara-negara Indo-Pasifik Ambil Langkah Tegas Soal Vaksin
Warga yang telah divaksin minimal dosis pertama, bisa menikmati pelonggaran setelah terkungkung penutupan wilayah. Namun, bagi warga yang belum atau tidak mau divaksin, jangan harap mendapat perlakuan serupa.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
SYDNEY, SENIN — Beberapa negara di Indo-Pasifik mengambil langkah lebih tegas terkait vaksinasi Covid-19 untuk penanganan pandemi. Warga yang telah divaksin penuh atau minimal dosis pertama mulai bisa menikmati pelonggaran setelah berbulan-bulan terkungkung penutupan wilayah. Akan tetapi, bagi warga yang belum atau tidak mau divaksin, jangan harap memperoleh perlakuan serupa.
Di kota Sydney, Negara Bagian New South Wales, Australia, sejak Senin (13/9/2021), penduduk yang telah memperoleh imunisasi Covid-19 dosis lengkap sudah boleh keluar rumah untuk kumpul-kumpul. Jumlahnya memang masih dibatasi, yaitu maksimal lima orang jika dari rumah tangga berbeda dan hanya boleh dalam radius 5 kilometer di 12 distrik zona hijau kota tersebut.
Bagi satu keluarga yang telah diimunisasi lengkap, mereka diperbolehkan kumpul-kumpul dalam radius 5 kilometer. Tempat-tempat yang diizinkan menjadi titik temu ialah ruang publik seperti taman dan hutan kota. Lama waktu kumpul-kumpul pun masih terbatas, hanya satu jam.
Pemerintah NSW memperkirakan, pada Oktober nanti, 70 persen penduduk negara bagian itu sudah divaksinasi lengkap. Apabila jumlah yang divaksinasi mencapai 80 persen, NSW dianggap mencapai kekebalan komunitas dan kemungkinan besar berbagai aturan mengenai karantina wilayah akan dilonggarkan, bahkan dicabut, meski sejumlah protokol kesehatan tetap dipraktikkan.
”Namun, kami tidak bisa menjanjikan hal yang sama bagi penduduk yang belum divaksin. Anda tidak akan memiliki hak yang sama dengan mereka yang telah divaksin karena Anda tidak memiliki kekebalan tubuh. Mohon maaf, tetapi ini adalah hasil pilihan Anda sendiri untuk tidak divaksin Covid-19,” kata Menteri Utama NSW Gladys Berejiklian seperti dikutip surat kabar Daily Mail.
Animo masyarakat terhadap vaksinasi Covid-19 di NSW beragam. Menteri Kesehatan NSW Jeremy McAnully mengungkapkan, dalam sehari terakhir ada 1.257 tambahan kasus positif baru dan tujuh kematian. Seluruh kematian adalah lansia, tetapi mayoritas pasien positif yang memerlukan ventilator adalah orang-orang yang tidak divaksin.
”Titik-titik merah di NSW mayoritas adalah komunitas masyarakat adat yang masih terbatas akses vaksin. Kami terus mengupayakan sosialisasi agar warga mau datang ke posko vaksin dan tidak terjebak hoaks bahwa vaksin Covid-19 membahayakan kesehatan,” ujarnya.
Media nasional ABC News mengatakan, di distrik Greenway yang mayoritas dihuni imigran, animo vaksinasi justru tertinggi. Sudah 91 persen warga berusia 15 tahun ke atas memperoleh dosis pertama vaksin Covid-19. Salah satu alasannya ialah kelompok imigran mayoritas adalah pekerja kerah biru yang tetap harus masuk kerja di tengah karantina wilayah.
Selain itu, tokoh komunitas Tamil di Greenway, Thiaru Arumugam, mengungkapkan, mereka juga giat melakukan pendekatan ke sejumlah tetua komunitas imigran yang terdiri atas berbagai ras dan kelompok etnis. Tokoh-tokoh agama juga dilibatkan dalam sosialisasi sehingga tempat-tempat ibadah, seperti masjid, kuil, dan gereja, menerapkan wajib bermasker dan mengimbau umat untuk divaksin atas inisiatif sendiri.
Kejar target
Vietnam juga mengejar target vaksinasi setidaknya di kota-kota besar. Saat ini lebih dari setengah populasi di negara berpenduduk 98 juta jiwa ini sedang menjalani karantina wilayah, terutama di kota-kota bagian selatan seperti Ho Chi Minh.
Pada tahun 2020, Vietnam mendapat pujian global karena berhasil mengendalikan pandemi Covid-19. Jumlah kematian pada saat itu 35 orang, sebuah capaian luar biasa untuk standar dunia yang tengah kewalahan menangani penyebaran Covid-19. Akan tetapi, munculnya galur Delta mengubah keadaan di Vietnam. Hanya dalam empat bulan, angka kasus positif bertambah menjadi 600.000 kasus dan 15.000 kematian.
Vietnam merupakan negara yang kesulitan memenuhi target vaksinasi karena keterbatasan vaksin. Sebagai gambaran, di kota Ho Chi Minh, 95 persen penduduk dewasa sudah divaksin dosis pertama. Di Hanoi,80 persen warga memperoleh dosis pertama. Permasalahannya, untuk dosis kedua, stok vaksin Sinopharm terbatas.
Oleh sebab itu, pemerintahnya memutar otak dengan memberlakukan kombinasi vaksin. Dosis pertama Sinopharm akan dicampur dengan dosis kedua AstraZeneca, Pfizer, ataupun Moderna. Menurut Wali Kota Hanoi Chu Ngoc Anh, ini bisa mempercepat pemenuhan target vaksinasi. Meskipun begitu, secara nasional, baru 28 persen penduduk Vietnam menerima dosis pertama dan 4 persen menerima dosis lengkap.
Kelangkaan vaksin juga terjadi di Filipina. Ini menjadi alasan Presiden Rodrigo Duterte tidak mau membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka. Sudah dua tahun ini anak-anak Filipina menjalani pembelajaran jarak jauh meskipun faktanya 80 persen siswa Filipina tidak memiliki internet, komputer, ataupun gawai pintar.
”Saya tidak mau anak-anak menjadi penyebar virus hanya karena mereka harus sekolah, sementara masih ada pilihan sekolah daring,” kata Duterte.
Sejauh ini baru 20 persen penduduk dewasa Filipina yang sudah divaksin penuh. Masyarakat Filipina ragu divaksin karena trauma dengan kasus vaksin demam berdarah tahun 2017, Dengvaxia, yang dituding mengakibatkan kematian ratusan anak. Duterte di media beberapa kali mengancam akan memenjarakan warga yang menolak divaksin.
Isy Faingold, Kepala Bidang Pendidikan di Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) Filipina, mengungkapkan bahwa literasi di kalangan siswa, terutama usia 15 tahun, terjun bebas. Orangtua kesulitan mendampingi siswa belajar karena keterbatasan akses internet. Bagi orangtua tunggal, banyak yang tidak bisa mendampingi anak karena harus mencari nafkah.
”Pilihan bagi keluarga miskin dengan orangtua tunggal berat sekali. Jika orangtua mendampingi anak, ia tidak bisa bekerja sehingga tidak ada pemasukan hari itu. Tentu mereka memilih bekerja daripada mendampingi anak bersekolah,” tuturnya.
Pada tahun 2020, jumlah siswa baru secara keseluruhan adalah 26,9 juta dan di tahun 2021 turun menjadi 21 juta. Artinya, banyak orangtua memutuskan tidak menyekolahkan anak. (AFP/AP)