Menanti Bukti Janji Taliban untuk Perempuan Afghanistan
Banyak yang meragukan Taliban akan memenuhi janji memenuhi hak-hak sipil perempuan. Indonesia mempunyai kesempatan membantu memoderasi konservatisme Taliban.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·6 menit baca
Dalam berbagai percakapan, keraguan terhadap pemerintahan Taliban jilid dua akan memenuhi janji atas hak-hak sipil perempuan Afghanistan selalu muncul. Keraguan itu salah satunya disuarakan mantan hakim dan pengacara di Kabul, Najla Ayoubi.
Najla berada di Kabul saat Taliban berkuasa pada tahun 1996 hingga 2001. Perempuan harus berada di dalam rumah. ”Bahkan untuk berbelanja bahan makanan sehari-hari ke toko kelontong, saya harus minta tetangga menemani karena saya tidak bisa keluar rumah sendiri,” jelas Najla. Najla ikut memberi kesaksian dan dukungan bagi perempuan Afghanistan dalam acara daring ”Open Mic: Sikap Indonesia untuk Perlindungan Perempuan di Afghanistan”, Sabtu (11/9/2021) siang. Kegiatan ini diadakan oleh Asian Muslim Action Network di Indonesia yang diketuai Dwi Rubiyanti Kholifah, bersama jaringan masyarakat sipil.
Pada periode 1996-2001, kawin paksa dan kawin usia anak banyak terjadi. Perempuan dipaksa menikah dengan tentara Taliban. Anak perempuan oleh orangtua segera dinikahkan karena ingin terlepas dari beban ekonomi dan khawatir terhadap keamanan anak perempuannya. ”Taliban berjanji akan memberi kebebasan sesuai hukum Islam, tetapi hukum itu menurut tafsir siapa?” Najla menggugat. Dia mengharapkan pemerintah dan masyarakat Indonesia dapat membantu agar perempuan Afghanistan tidak lagi mengalami masa kelam 1996-2001.
Keraguan pada janji pemerintahan Taliban bukan tanpa dasar. Setelah merebut Kabul kembali pada Minggu (15/8/2021), juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, dalam jumpa pers pada Selasa (17/8/2021) mengatakan, mereka akan menghormati hak-hak perempuan untuk bekerja di luar rumah dan anak perempuan bersekolah. Syaratnya, mengikuti norma hukum Islam, tanpa merinci lebih jauh apa yang dimaksud. Untuk menunjukkan pemerintahan Taliban 2.0 berbeda dari sebelumnya, perempuan penyiar televisi mewawancarai pejabat Taliban di studio.
Keraguan sebagian besar perempuan Afghanistan dan masyarakat dunia pada janji Taliban terbukti ketika Taliban mengumumkan pemerintahannya, Selasa (7/9/2021). Selain tidak mewakili keberagaman etnis di Afghanistan, pemerintahan yang terbentuk juga tidak menyertakan perwakilan perempuan. Tokoh-tokoh yang duduk di dalam pucuk pemerintahan dinilai konservatif.
Di sejumlah wilayah perempuan telah dilarang keluar rumah tanpa ditemani anggota keluarga laki-laki. Menurut laporan Alison Davidian, perwakilan UN Women, organisasi untuk pemajuan hak-hak perempuan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Afghanistan, di sejumlah provinsi perempuan dilarang bekerja di luar rumah.
Memoderasi
Di tengah keraguan luas, terdapat harapan situasi di Afghanistan masih mungkin menjadi lebih baik bagi perempuan. Tampak tanda-tanda pemerintahan Taliban menyadari partisipasi perempuan tetap diperlukan dalam membangun negara itu.
Setelah sebelumnya mendorong perempuan tenaga kesehatan tetap bekerja, pekan lalu Menteri Pendidikan Tinggi Abdul Baqi Haqqani mengumumkan perempuan boleh tetap kuliah. Syaratnya ruang belajar perempuan dan laki-laki terpisah dan perempuan harus memakai hijab menutup tubuh. Belum jelas apakah wajah juga harus ditutup seperti periode 1996-2001. Dosen laki-laki kemungkinan masih boleh mengajar dari balik tirai atau memakai teknologi. Haqqani juga mengatakan, kurikulum akan dikaji ulang agar sejalan dengan nilai-nilai agama dan sejarah Afghanistan.
Pada periode bulan madu saat ini, ketika pemerintahan Taliban membutuhkan pengakuan masyarakat internasional dan juga bantuan ekonomi, masyarakat dunia dapat mensyaratkan pemajuan hak-hak sipil rakyat Afghanistan, termasuk pemajuan hak-hak perempuan, di dalam paket bantuan.
Indonesia sebagai negara dengan sistem demokrasi dan mayoritas penduduk Muslim di tengah beragamnya suku bangsa dapat menjadi contoh Islam jalan tengah yang toleran, inklusif, adil, seimbang, berada di tengah. Islam wasatiyah yang digagas Nahdlatul Ulama sudah menarik perhatian Taliban yang ingin mengatasi konflik suku-suku di Afghanistan.
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di Afghanistan, Dr Fazal Ghani Kakar, dalam webinar pada Sabtu (11/9/2021) malam yang diadakan cabang NU di Amerika Serikat dan Kanada mengatakan, mendiang pendiri Taliban Mullah Omar memiliki hubungan cukup baik dengan NU di Afghanistan. Omar tertarik pada Islam jalan tengah NU karena dia menginginkan Afghanistan bisa keluar dari konflik suku-suku. NU di Afghanistan adalah organisasi sendiri yang tidak terkait dengan NU Indonesia.
Pada sisi lain, Kakar menyebut Taliban lahir karena konflik bersenjata yang panjang dengan Soviet dan kemudian dengan Amerika Serikat. Perlu bantuan dari luar untuk mengubah mentalitas Taliban sebagai mesin perang menjadi lebih moderat, lebih memahami pengelolaan pemerintahan, dan meyakinkan Taliban mengenai isu partisipasi perempuan dalam politik dan ekonomi.
Bila menggunakan jalan pikir Taliban, Islam menjamin hak-hak perempuan setara dengan laki-laki. Wakil Ketua Syuriah NU di Amerika Serikat-Kanada dan pengajar kajian keagamaan di Hobart and William Smith Colleges di New York, Prof Etin Anwar, menyebut mendapatkan pendidikan adalah ibadah. Melalui pendidikan, perempuan akan mengenal dirinya dan Tuhannya. Namun, sayangnya, banyak yang menganggap hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia datang dari Barat, padahal semua bermuara dari dalam Islam.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) meminta agar situasi di Afghanistan dijaga supaya damai. Situasi konflik akan menyebabkan perempuan dan anak paling menderita. KUPI juga menegaskan bahwa ajaran Islam, seperti terdapat di dalam Alquran, menjamin kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan.
Walakin, perempuan tidak homogen. Budaya suku-suku, pendidikan, kondisi geografis, dan interpretasi ajaran agama memengaruhi cakrawala pemikiran perempuan. BBC.com melaporkan, ratusan perempuan dalam nikab hitam dan membawa bendera kecil Afghanistan berunjuk rasa di Shaheed Rabbani Education University, Kabul, Minggu (12/9/2021). Mereka mendukung aturan Taliban mengenai jender dalam pendidikan.
Analis konflik dan keamanan dengan pengalaman 10 tahun di Timur Tengah, Afrika Utara, termasuk Afghanistan, Alto Labetubun, kepada Kompas menuturkan pengalamannya sebagai direktur program salah satu proyek stabilisasi Afghanistan yang diadakan Pemerintah Amerika Serikat. Tidak mudah mengajak perempuan, terutama di kota-kota kecil dan perdesaan yang dikuasai suku-suku, untuk berpartisipasi di ruang publik. Mereka memilih tetap berada di dalam rumah.
”Ada irisan antara agama dan praktik budaya suku yang sama-sama menempatkan perempuan pada kasta terendah dalam komunitas. Perempuan dianggap sekadar alat reproduksi,” papar Alto yang berada di Afghanistan tahun 2011-2012.
Alto pesimistis Taliban jilid dua akan bersahabat dengan perempuan karena relasi jender yang konservatif adalah landasan ideologis yang mereka miliki sekaligus perekat antara suku dan klan yang membentuk Taliban. ”Jika ada perubahan radikal, Neo Taliban akan tercerai berai. Tidak mungkin ada perubahan radikal seperti terlihat di negara-negara yang mengakui hak-hak perempuan secara progresif,” tandas Alto.
Peran Indonesia
Di dalam pesimistis, harapan masih muncul bahwa jaminan hak-hak perempuan untuk bebas berekspresi, bebas dari rasa takut, bebas menentukan masa depan, dan mendapat jaminan atas hak-hak ekonomi, sosial, politik, dan kesehatan yang setara.
Harapan terutama ditumpukan pada Pemerintah Indonesia agar memainkan peran lebih besar pada periode ”bulan madu” pemerintahan interim Taliban dengan membuka dialog langsung. Kementerian Luar Negeri dapat mengupayakan agar Afghanistan Indonesia Women Solidarity Network tetap terjalin di bawah pemerintahan baru. Pemerintah dapat mengajak organisasi masyarakat sipil Indonesia, dan bekerja sama dengan masyarakat internasional, dalam kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa, Inter-Parliamentary Union, dan Organisasi Kerja Sama Islam.
Bantuan bagi Afghanistan yang saat ini sangat dibutuhkan dapat disertai syarat perlindungan hak-hak perempuan dan anak Afghanistan berbasis instrumen internasional sebagai prasyarat Afghanistan menjadi anggota masyarakat internasional.
Pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia—negara berpenduduk Muslim terbesar dan menjalankan demokrasi—dapat meyakinkan Taliban bahwa hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia yang bersumber dari Islam. Upaya tersebut tidak mudah, tetapi wajib diupayakan melalui dialog yang terbuka dan jujur seraya memahami budaya masyarakat Afghanistan yang disebut sebagai ramah dan 40 tahun berada dalam konflik bersenjata.