2050, Sebanyak 216 Juta Penduduk Bumi Terpaksa Mengungsi akibat Krisis Iklim
Dalam penghitungan risiko serius, apabila tidak ada tindakan pengurangan emisi dan suhu Bumi sebanyak 1,5 derajat celsius, terhitung per tahun 2050 Bumi akan memanas di titik yang tidak bisa diperbaiki.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Krisis iklim mendesak segera ditanggulangi. Apabila telat atau setengah-setengah dalam mitigasi, dalam kurun 30 tahun diperkirakan 216 juta penduduk Bumi terpaksa bermigrasi karena terdampak kerusakan alam. Penurunan emisi karbon adalah kunci dari mitigasi. Permasalahannya, masih ada negara, termasuk Indonesia, yang sumber energinya berasal dari pencetus karbon terbanyak, yaitu batubara.
Laporan Groundswell mengenai analisis risiko kerusakan alam akibat krisis iklim ini disusun Bank Dunia dan diluncurkan secara daring pada Senin (13/9/2021). Laporan ini memakai tiga skenario risiko bencana, yaitu ringan, menengah, dan serius.
Dalam penghitungan risiko serius, apabila tidak ada tindakan pengurangan emisi dan suhu Bumi sebanyak 1,5 derajat celsius, terhitung per tahun 2050 Bumi akan memanas di titik yang tidak bisa diperbaiki. Sebanyak 216 juta penduduk planet ini akan terpaksa mengungsi karena tempat tinggal mereka mengalami kekeringan, gagal panen, bahkan tenggelam karena pemanasan global.
Wilayah-wilayah dengan risiko tinggi adalah Amerika Latin, Afrika Utara, Afrika Sub-Sahara, Eropa Timur, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, dan Pasifik. Di Afrika Sub-Sahara, misalnya, 86 juta orang terancam kekeringan parah. Di Bangladesh, ada 19,9 juta penduduk yang terancam gagal panen ataupun tempat tinggalnya tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut.
”Laporan ini baru menghitung kemungkinan migrasi di dalam satu negara. Ini belum mengkaji risiko migrasi antarnegara yang pastinya akan mengakibatkan konflik lebih parah,” kata pakar iklim Bank Dunia, Viviane Wei Chen Clement.
Sisi penghitungan risiko rendah pun ”hanya” sedikit lebih baik. Laporan ini menganalisis, kalaupun negara-negara di Bumi berhasil berkomitmen menurunkan emisi karbon dan mempraktikkan pembangunan berkelanjutan, pada 2050 masih ada 44 juta orang yang akan menjadi pengungsi akibat krisis iklim.
Kunci pengendalian emisi ialah mengurangi atau menghentikan sama sekali pemakaian batubara. Permasalahannya, enam negara terbesar di Asia, yaitu China, Indonesia, Vietnam, Turki, Bangladesh, dan India, masih bergantung pada batubara sebagai sumber energi. Tercatat bahwa 80 persen proyek pembangunan pembangkit listrik yang memakai batubara ada di enam negara tersebut.
Surat kabar nasional China, Global Times, dalam tajuk rencana dua pekan lalu mengakui adanya krisis iklim. Akan tetapi, mereka berargumen bahwa batubara merupakan pemicu percepatan ekonomi China. Mereka meminta masyarakat dunia menyadari bahwa China akan melakukan mitigasi krisis iklim dengan cara sendiri.
”Targetnya ialah menggandakan pendapatan domestik bruto China per tahun 2035, setelah itu baru negara mulai bisa secara bertahap mengurangi emisi karbon,” demikian kutipan tajuk tersebut. Rencana China ini bertolak belakang dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat yang justru berkomitmen bahwa pada 2030 mereka bisa membabat setengah dari emisi karbon.
Masalah Asian Power edisi September menjelaskan, apabila enam negara Asia itu menghentikan pemakaian batubara, bisa mengurangi empat perlima emisi yang ada di dunia. Lembaga kajian energi Carbon Tracker juga memberi paparan bahwa harga batubara sejatinya tidak ekonomis dan akan terus bertambah mahal. Negara-negara pengimpor batubara semakin berkurang dan teknologi penghasil energi bersih justru akan semakin bisa dijangkau.
Negara maju yang masih mengoperasikan pembangkit tenaga listrik bertenaga batubara ialah Australia. Alasan pemerintah demi menjaga tarif listrik tetap murah dan terjangkau bagi masyarakat. Ini pun oleh pakar-pakar energi global dianggap sebagai dalih yang tidak kuat.
”Lebih dari 50 persen tarif listrik di Australia itu dari biaya infrastruktur serta sistem transmisi dan distribusi. Ini sumber masalah yang harus diurai, bukan dari jenis energi penghasil listriknya,” kata Owen Evans, pakar keuangan dari Institut Kajian Ekonomi dan Keuangan Energi (IEFA). (AP/Reuters)