Politik Luar Negeri AS, dari Narasi Teror ke China
Perang melawan teror menjadi narasi politik luar negeri Amerika Serikat selama dua dekade terakhir. Kini narasi itu sudah tutup buku. Ke mana lagi laras politik konfrontasi adidaya itu diarahkan? China?
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·5 menit baca
Tragedi 11 September 2001, atau sering disingkat 9/11, adalah hari terkelam dalam sejarah modern Amerika Serikat (AS). Sebanyak 2.977 orang tewas dalam peristiwa itu dan ribuan lainnya luka-luka ataupun menderita penyakit dalam.
Investigasi otoritas AS menyimpulkan, Al Qaeda adalah pihak yang bertanggung jawab di balik serangan itu. Jaringan teroris yang dulu berbasis di Afghanistan itu membajak empat pesawat komersial dan menabrakkan tiga buah di antaranya, masing-masing ke dua menara kembar World Trade Center di New York dan sayap barat Pentagon di Arlington, Virginia. Satu pesawat lagi, yang diduga mengarah ke Gedung Putih, jatuh di sebuah lapangan di Shanksville, Pennsylvania, sebelum mencapai target.
Sepekan setelah kejadian, Presiden George W Bush dalam pidato di depan Kongres AS mendeklarasikan perang global melawan teror. ”Perang kita melawan teror berawal dengan Al Qaeda, tetapi tidak akan berakhir di situ. Perang ini tidak akan berakhir sebelum setiap kelompok teroris jaringan global ditemukan, dihentikan, dan dikalahkan,” kata Bush sebagaimana dikutip dari situs History.
Sejak saat itu, politik luar negeri AS pun mengusung narasi ”Perang Melawan Teror”. Narasi ini diperluas AS dengan menggandeng 85 negara untuk melakukan kegiatan kontraterorisme, mulai dari program intelijen hingga sejumlah skema pembiayaan. Indonesia termasuk di dalamnya.
AS juga menggelar operasi militer bersama sekutu di sejumlah negara, seperti Afghanistan, Irak, Pakistan, dan Suriah.
Profesor ilmu politik di Universitas Minnesota, Ronald R Krebs, melalui analisis di Washington Post pada 11 September 2021, berpendapat, narasi teror memiliki konsekuensi besar bagi kebijakan luar negeri AS. Narasi itu sekaligus mengalihkan perhatian AS dari tantangan lain.
Pertanyaan yang muncul setelah 20 tahun berjalan, apakah kebijakan itu efektif mencapai target? Jawabannya akan beragam. Namun, satu hal yang pasti, narasi itu memakan ongkos yang luar biasa besar di semua pihak, terutama justru AS sendiri.
Berdasarkan penelitian Institut Watson untuk Urusan Internasional dan Publik Universitas Brown bertajuk ”Ongkos Perang”, narasi teror selama dua dekade terakhir telah memakan ongkos kemanusiaan dan ongkos ekonomi yang masif. Ini dialami semua negara yang terlibat, lagi-lagi termasuk AS sendiri.
Dari sisi korban tewas akibat langsung dari perang, jumlahnya mencapai 801.000 orang di semua pihak. Ini mencakup tentara, kontraktor, warga sipil, jurnalis, dan pekerja kemanusiaan. Korban sipil saja mencapai 335.000 orang. Tentara AS yang tewas sekitar 7.000 orang.
Korban sipil saja mencapai 335.000 orang. Tentara AS yang tewas sekitar 7.000 orang.
Sementara itu, jumlah korban mati akibat tidak langsung dari perang lebih banyak lagi. Transmisinya melalui kekurangan gizi dan kelaparan, rusaknya infrastruktur, dan degradasi lingkungan. Ini belum termasuk korban luka-luka atau cacat yang tidak terdata.
Perang juga menyebabkan 37 juta orang menjadi pengungsi. Mereka adalah warga Afghanistan, Pakistan, Irak, Suriah, Libya, Yaman, Somalia, dan Filipina.
Perang pasca-9/11 juga telah berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global karena industri militer adalah salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Ada pula degradasi kebebasan sipil dan hak asasi manusia (HAM).
Dalam hal ekonomi, ongkosnya mencengangkan. Sebagian besar pendanaan Pemerintah AS untuk rekonstruksi di Irak dan Afghanistan digunakan untuk mempersenjatai pasukan keamanan di kedua negara itu.
Sebagian besar uang yang dialokasikan untuk bantuan kemanusiaan dan pembangunan kembali bagi masyarakat sipil telah hilang karena penipuan, pemborosan, dan penyalahgunaan.
Total biaya perang AS di Irak, Afghanistan, Pakistan, Suriah, dan di tempat lain mencapai 6,4 triliun dollar AS. Ini tidak termasuk biaya bunga di masa depan atas pinjaman untuk biaya perang. Ekonomi domestik AS pun terdampak, seperti hilangnya peluang kerja dan kenaikan suku bunga.
Ongkos perang masih akan berlanjut selama beberapa dekade ke depan. Misalnya untuk biaya pemulihan kembali berbagai infrastruktur.
AS tentu sadar penuh dengan besarnya ongkos perang itu. Toh, butuh dua dekade di bawah pemerintahan empat presiden untuk sampai pada keputusan politik mengakhiri narasi itu.
Presiden Joe Biden memutuskan menghentikan operasi militer AS di Afghanistan mulai 31 Agustus. ”Setelah 20 tahun perang di Afghanistan, saya menolak mengirim generasi putra dan putri Amerika lainnya untuk maju dalam perang yang seharusnya sudah lama berakhir,” kata Biden dalam pidato di Washington DC, 1 September 2021, yang disiarkan berbagai media.
Biden menegaskan menolak melanjutkan perang yang tidak lagi melayani kepentingan nasional AS. Ia sekaligus mengisyaratkan narasi baru politik AS. China menjadi subyek pertama yang dirujuk.
”Dunia sedang berubah. Kita terlibat dalam persaingan serius dengan China. Kita sedang menghadapi tantangan di berbagai bidang dengan Rusia. Kita dihadapkan pada serangan siber dan proliferasi nuklir. Kita harus meningkatkan daya saing Amerika untuk menghadapi tantangan baru ini dan persaingan abad ke-21,” katanya.
Langkah memerangi terorisme, Biden melanjutkan, bisa tetap dilakukan AS bersama dengan upaya menghadapi ancaman baru. ”Sebagaimana telah saya jelaskan selama ini, HAM akan menjadi pusat kebijakan luar negeri kita. Namun, cara untuk melakukannya bukanlah melalui pengerahan militer tanpa akhir, melainkan melalui diplomasi, instrumen-instrumen ekonomi, dan menghimpun dukungan dunia,” katanya.
Sejak awal, pemerintahan Biden konsisten mengampanyekan China sebagai ancaman AS. Alasannya, China merupakan pelanggar HAM, tidak mengusung nilai-nilai demokrasi, agresif dalam kegiatan militer, curang dalam urusan dagang, dan kebijakan ekonominya mengancam tatanan global.
Narasi ini disampaikan terus-menerus di berbagai forum. Biden juga menghimpun dukungan dari sekutu dan negara lain untuk menjadikan China sebagai ancaman dan musuh bersama. Ini diawali dengan G-7 dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Ronald Krebs berpendapat, pemerintahan Biden telah membingkai China sebagai pesaing dengan visi politik global yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Barat. Melalui narasi ini, AS secara efektif telah menghimpun dukungan sekutu Eropanya untuk melawan pengaruh China.
”Dengan mempertahankan kebijakan AS yang konfrontatif, visi narasi tentang China yang agresif dapat menjadi kenyataan,” kata Krebs.