Refleksi 20 Tahun Peristiwa 11 September: Kekerasan dan Intoleransi adalah Teror yang Sebenarnya
Selama dua dekade, AS melancarkan perang melawan terorisme. Namun, perang itu berbalik melahirkan ekstremisme yang menyerang kemajemukan bangsa AS sendiri.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
AFP/ANGELA WEISS
Menara cahaya bersinar di tempat yang dulunya adalah gedung World Trade Center di New York, Amerika Serikat, Jumat (10/9/2021). Pada hari Sabtu (11/9/2021) AS memperingati 20 Tahun Tragedi 11 September.
NEW YORK, SABTU – Amerika Serikat memperingati 20 tahun peristiwa penyerangan oleh kelompok teroris Al-Qaeda yang menewaskan 3.000 orang di New York, Washington, dan Pennsylvania, Sabtu (11/9/2021). Becermin pada perkembangan selama dua dekade ini, sejumlah kritik berpendapat bahwa modal sosial dan politik yang dimiliki AS tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk membangun bangsa yang inklusif dan toleran. Justru, konflik dan pertumpahan darah mewarnai kebijakan politik luar negeri mereka.
Peringatan 20 Tahun peristiwa 11 September diadakan di tiga tempat. Presiden AS Joe Biden hadir di kota New York, tepatnya di titik tempat gedung World Trade Center (WTC) dulu berdiri. Di sana, ia ditemani oleh Presiden AS 2009-2017 Barack Obama dan Presiden AS 1993-2001 Bill Clinton. Sementara itu, di Tugu Peringatan Shanksville, Pennsylvania, hadir Wakil Presiden AS Kamala Harris dan Presiden AS 2001-2009 George Walker Bush. Upacara juga dilakukan di Gedung Pentagon, Washington. Biden akan berkunjung ke dua lokasi itu setelah mengheningkan cipta di New York.
Biden dikabarkan tidak akan memberi sambutan karena upacara peringatan akan fokus pada mengenang para korban. Meskipun begitu, pada Jumat (10/9), Gedung Putih merilis video sambutan dari Presiden AS ke-46 itu. “Sudah 20 tahun berlalu, tetapi duka itu tetap ada. Anak-anak kehilangan orangtua dan banyak orangtua harus melanjutkan hidup tanpa anak mereka. Namun, tragedi ini mengajarkan kita semua bahwa AS adalah bangsa yang bersatu,” katanya.
Ucapan-ucapan mengenang peristiwa ini datang dari berbagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Ratu Elizabeth II dari Inggris mengirim pujian atas semangat dan ketabahan yang ditunjukkan oleh para penyintas 9/11 dan keluarga para korban. Ia mengatakan, penyintas dan keluarga merupakan teladan atas harapan dan keuletan untuk terus maju, meskipun duka kehilangan orang-orang yang dicintai akan terus ada.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan bahwa Peristiwa 9/11 mengingatkan dunia bahwa kemerdekaan dan kebebasan memang harus dibayar mahal. “Demokrasi akan terus membutuhkan perjuangan,” tuturnya.
AFP/SETH MCALLISTER
Dalam arsip foto yang diambil pada 11 September 2001, pesawat komersial yang dibajak ditabrakkan ke gedung World Trade Center di New York, Amerika Serikat.
Serangan 9/11 terjadi di tiga titik. Pesawat maskapai United dengan nomor penerbangan 175 dibajak oleh anggota Al-Qaeda dan menabrak gedung WTC. Di Pentagon, pesawat United 77 juga menabrakkan diri ke gedung Departemen Pertahanan AS itu. Adapun pesawat United 93 jatuh di Somerset, Pennsylvania setelah para awak dan penumpang melawan para pembajak dan mencegah mereka menabrakkan diri ke kota besar.
Peristiwa itu mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat AS. Di sektor keamanan, bandara, stasiun, dan tempat-tempat umum memasang detektor metal dan menggeledah calon penumpang. Di sektor politik dan pertahanan, AS mencanangkan perang melawan terorisme.
Dalam wawancara dengan media ABC News, Kepala Divisi Penanggulangan Terorisme Kepolisian New York, Martine Materasso mengungkapkan, divisi tempat ia mengabdi tersebut baru dibentuk pasca serangan 9/11. Kepolisian New York adalah satuan pertama yang memiliki unit intelijen dan kontraterorisme.
“Kami megawasi berbagai hal yang kasat mata secara fisik maupun di media sosial. Berbagai propaganda yang beredar selalu kami pantau. Ini tidak hanya untuk kelompok teroris dari luar negeri, tetapi juga di dalam negeri yang mencakup kelompok ekstrem sayap kiri maupun kanan yang berisiko melakukan kekerasan,” ujar Materasso. Untuk peringatan tahun ini, pihaknya juga meningkatkan kewaspadaan setelah peristiwa pengambilalihan pemerintahan Afghanistan oleh kelompok bersenjata Taliban.
Pejalan kaki melewati barisan bendera Amerika Serikat di Tempe, Negara Bagian Arizona, Jumat (10/9/2021). Setiap bendera yang melambangkan setiap korban Tragedi 11 September 2001 akibat serangan teroris di kota New York, Washington, dan Somerset di Pennsylvania.
Sejumlah pakar melihat bahwa setelah peristiwa 9/11 itu, AS melewatkan kesempatan untuk membangun bangsa yang inklusif dan toleran. Guru Besar Hubungan Internasional Sekolah Ekonomi London (LSE) Fawaz Gerges yang juga menulis buku Sejarah Negara Islam Irak dan Suriah menjelaskan dalam esainya untuk surat kabar Washington Post. “Pada tanggal 11 September 2001 seluruh dunia berada di sisi AS, termasuk Timur Tengah dan dunia Islam mengutuk aksi terorisme itu. Iran saja yang musuh bebuyutan AS untuk pertama kali sejak tahun 1979 membuat kontak resmi menyatakan duka cita dan dukungan terhadap AS,” katanya.
Ia menjelaskan, ini adalah modal sosial dan politik luar biasa bagi AS untuk mengembangkan diplomasi yang inklusif dan toleran. Menurut Gerges, AS semestinya bisa memanfaatkan momen untuk menunjukkan bahwa cara terbaik melawan aksi teror ialah bangsa AS tidak takut dan bersama dunia mengusung perdamaian serta komunikatif dengan berbagai pihak.
“Sebaliknya, yang terjadi adalah deklarasi perang fisik melawan terorisme yang berujung kepada 20 tahun pertumpahan darah di Irak dan Afghanistan. Pasukan AS dan penduduk sipil sama-sama menjadi korban. Biden ketika menarik pasukan AS dari Washington mengatakan bahwa diplomasi AS kini berbasis kepentingan warga. Ini harus ditegaskan bahwa kepentingan warga adalah inklusivitas, bukan hanya kepentingan golongan elite,” ujarnya.
Cynthia Miller-Idriss, Direktur Laboratorium Kajian Polarisasi dan Ekstremisme American University di majalah Foreign Affairs, menjelaskan bahwa perang melawan terorisme itu tidak hanya melahirkan lebih banyak ekstremis anti AS, tetapi juga ekstremis sayap kanan yang menentang kemajemukan masyarakat AS itu sendiri. Bahkan, kedua kutub ekstremis ini sama-sama lahir di Bumi AS, bukan dari pihak luar yang selama ini digaungkan.
AFP/ANGELA WEISS
Setangkai bunga disematkan pada sebuah nama di situs Memorial 11 September di menara utara World Trade Center di New York, 8 September 2001.
Data Biro Penyelidik Federal AS (FBI) mengungkapkan, pada tahun 2019 ada 49 aksi teror yang 38 di antaranya dilakukan oleh kelompok ekstrem kanan. Pada Maret, FBI mengungkapkan tengah melakukan penyelidikan terbuka atas 2.000 kasus terorisme.
“Kita terlena oleh narasi perang melawan teror adalah melawan orang-orang yang dinilai berbeda secara penampilan dan kepercayaan dari masyarakat AS pada umumnya. Serangan ke Gedung Capitol tanggal 6 Januari oleh kelompok ekstrem kanan membuktikan justru teror nyata AS adalah diskriminasi terhadap warga negara sendiri yang dibiarkan secara sistematis,” tuturnya.
Institut Watson untuk Kebijakan Internasional dan Publik di Universitas Brown pada Agustus menerbitkan laporan berjudul Harga Peperangan (Costs of War) pasca 9/11. Mereka mencatat ada 930.000 korban tewas secara langsung dari berbagai peperangan dan konflik bersenjata antara lain di Afghanistan, Irak, dan Pakistan. Ini mencakup tentara AS maupun warga sipil.
Selain itu, dunia menghadapi masalah 38 juta pengungsi dan warga yang kehilangan tempat tinggal. Dari sisi finansial, AS sudah menghamburkan 8 triliun dollar AS untuk operasi militer di 85 negara dan ratusan gugatan pelanggaran hak asasi manusia. Penyiksaan tahanan dan metode interogasi yang kejam menjadi kegiatan yang dilumrahkan selama perang ini. (AP/AFP/Reuters)