Kisah kegagalan intelijen AS tidak berhenti pada peristiwa 11 September 2001, tetapi berlanjut pada rentetan peristiwa besar terkait dampak serangan tersebut, termasuk invasi ke Irak tahun 2003.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Tanggal 11 September 2021 genap 20 tahun serangan teroris yang sangat terkenal atas kota New York dan Washington DC. Ironisnya, serangan pada 11 September 2001 yang sangat menyakitkan bagi AS itu adalah simbol kegagalan besar intelijen AS, baik Badan Pusat Intelijen (CIA) maupun Biro Investigasi Federal (FBI), dalam mendeteksi datangnya ancaman serangan sebesar itu.
Dengan kata lain, terjadinya serangan teroris 11 September 2001 adalah kekalahan besar dinas intelijen AS dalam pertarungan dengan jaringan teroris internasional. Ironisnya pula, kisah kegagalan intelijen AS tidak berhenti pada peristiwa 11 September 2001, tetapi berlanjut pada rentetan peristiwa besar terkait dampak serangan tersebut.
Invasi AS ke Afghanistan pada akhir 2001 adalah salah satu contohnya. AS kembali ngotot merujuk pada informasi intelijen yang salah dalam mengambil keputusan melancarkan invasi ke Irak tahun 2003.
Menlu AS ketika itu, Colin Powell, di depan forum Dewan Keamanan PBB pada Februari 2003 menegaskan, tuduhan AS bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal berdasarkan informasi intelijen yang sangat kuat. Penegasan Powell itu merujuk pada laporan intelijen AS kepada Kongres pada Februari 2002 bahwa Irak masih terus mengembangkan senjata pemusnah massal. Irak dalam waktu enam bulan hingga satu tahun ke depan bisa membuat senjata nuklir jika didukung bahan uranium yang cukup.
Tuduhan kepemilikan Irak atas senjata pemusnah massal tersebut kemudian dijadikan dalih menginvasi Irak pada Maret 2003. Namun, pascainvasi ke Irak yang menumbangkan rezim Saddam Hussein, AS tidak pernah menunjukkan bukti kepemilikan Irak atas senjata pemusnah massal. Bahkan, senjata pemusnah massal tidak pernah ditemukan di Irak sampai saat ini. Ini kembali menunjukkan kegagalan besar intelijen AS tentang tudingannya bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal.
Terkait isu Afghanistan, intelijen AS lagi-lagi mengalami kegagalan besar. Pada tahun 2003, Pemimpin Tanzim Al Qaeda Osama bin Laden dalam sebuah rekaman video memperingatkan bahwa AS akan mengalami nasib seperti Uni Soviet yang dipaksa mundur dari Afghanistan.
Saat itu, intelijen AS menyebut peringatan Bin Laden hanyalah propaganda dan bagian dari perang urat saraf Tanzim Al Qaeda melawan AS. Setelah 20 tahun AS menduduki Afghanistan, ternyata peringatan Bin Laden menjadi kenyataan.
Intelijen AS lagi-lagi mengalami kegagalan jika melihat pemandangan Bandar Udara Internasional Kabul setelah Taliban menguasai kembali ibu kota Afghanistan pada 15 Agustus hingga hengkangnya pasukan AS dan sekutu pada 31 Agustus. Saat itu, betapa kacau-balau proses evakuasi warga asing dan warga Afghanistan dari bandara.
Situasi kacau tersebut akibat intelijen AS salah memprediksi bahwa Taliban bisa mengucilkan kota Kabul dalam waktu 30 hari dan menguasainya dalam waktu 90 hari. Namun, yang terjadi Taliban mampu menguasai kota Kabul hanya dalam hitungan jam dan berhasil masuk kota itu pada 15 Agustus, jauh lebih cepat dari yang diprediksi intelijen AS.
Akibatnya, warga asing dan warga Afghanistan tergesa-gesa meninggalkan Kabul dan terjadi situasi anarkistis di Bandara Kabul.