Masyarakat Adat Australia Barat Meminta Lebih Dilibatkan dalam Pengambilan Keputusan
Warga Aborigin di Australia Barat menginginkan agar masyarakat adat lebih banyak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Keterlibatan itu penting agar tidak ada lagi kasus perusakan situs-situs keramat dan bersejarah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
PERTH, RABU — Masyarakat adat di Negara Bagian Australia Barat meminta pemerintah merevisi rancangan perubahan Undang-Undang Perlindungan Warisan Budaya. Mereka menginginkan agar masyarakat adat lebih banyak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan sehingga tidak ada lagi kasus perusakan situs-situs keramat ataupun situs bersejarah milik masyarakat adat.
Dilansir dari media SBS News, 20 perwakilan masyarakat adat dari berbagai suku berkumpul di gedung parlemen Australia Barat pada Rabu (8/9/2021). Mereka rapat dengan Menteri Urusan Aborigin Australia Barat Stephen Dawson mengenai UU Perlindungan Warisan Budaya yang aslinya diterbitkan pada tahun 1972.
Dalam rancangan perubahan disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan yang hendak membuka lahan pertambangan ataupun bisnis lain di tanah ulayat wajib berdiskusi dengan masyarakat adat. Namun, keputusan final boleh atau tidaknya perusahaan membangun di tanah ulayat ada di tangan pemerintah.
”Rancangan ini sungguh tidak masuk akal. Semestinya keputusan ada di
tangan masyarakat adat karena kami yang memahami fungsi fisik maupun spiritual lahan tersebut,” kata Slim Parker, tokoh masyarakat adat Martidja Banjima.
Kasus terakhir yang mengejutkan Australia terjadi pada tahun 2020. Perusahaan pertambangan multinasional Rio Tinto memasuki kawasan Pilbara di Australia Barat. Mereka merusak situs Jurang Juukan yang memiliki bukti-bukti keberadaan manusia sejak 46.000 tahun lalu.
Insiden ini diprotes secara besar-besaran. Rio Tinto dalam pernyataan resminya mengaku tidak mengetahui jika Jurang Juukan adalah situs keramat bagi masyarakat adat. Direktur Utama Rio Tinto dan sejumlah pejabat perusahaan itu mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban. Pemerintah Negara Bagian Australia Barat juga memberi masyarakat adat ganti rugi sebesar 500.000 dollar Australia.
Namun, permasalahannya bukan di perbuatan Rio Tinto itu sendiri. Perusahaan itu bisa melakukan perusakan karena memiliki izin dari pemerintah. Artinya, pemerintah yang semestinya mengetahui peta tanah ulayat serta fungsi budayanya bagi masyarakat adat sengaja memberi izin kepada korporasi untuk merangsek masuk.
Dosen Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, sekaligus tokoh masyarakat adat Nyikina Warrwa, Anne Poelina, menjelaskan, situs-situs keramat itu bukan hanya harta bagi masyarakat adat, melainkan juga masyarakat dunia. Mengakui hak-hak masyarakat adat dan menerapkan pengakuan itu secara aktif turut menghentikan diskriminasi ras dan kelas sosial sistemik yang berlangsung di Australia maupun di belahan Bumi mana pun.
”Pemerintah memandang dari kacamata yang terlalu sempit. Masyarakat adat Australia secara jumlah memang tidak seberapa, tetapi kami adalah pelestari peninggalan nenek moyang yang manfaatnya jauh lebih luas dari batas geografis Australia. Ini demi kepentingan semua orang di Bumi,” ujarnya.
Para perwakilan masyarakat adat Australia Barat juga mengajukan aduan formal kepada Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penghentian Diskriminasi Ras. Harapannya, keterlibatan PBB bisa menjadi dorongan kepada pemerintah federal maupun negara bagian untuk memerhatikan aspirasi mereka.
Selesai pertemuan itu, Menteri Urusan Aboriginal Stephan Dawson mengatakan bahwa masyarakat adat keliru memahami rancangan perubahan UU. Keputusan final berada di tangan pemerintah negara bagian hanya terjadi jika masyarakat adat dan perusahaan setelah duduk bersama berkali-kali tetap tidak menemukan jalan keluar. Pemerintah akan selalu mengusahakan solusi dicapai dalam diskusi kesepakatan masyarakat adat dengan perusahaan.
Sementara itu, dilansir dari surat kabar Telegraph, Menteri Utama Negara Bagian Australia Barat Mark McGowan meresmikan aturan bahwa periode 2024-2033 semua hutan adat tidak boleh ditebang, kecuali oleh masyarakat adat dalam rangka pembersihan dan memerun untuk memelihara kelestarian lingkungan. Perusahaan-perusahaan perkayuan dan kertas dilarang membudidayakan pohon produksi di hutan adat.
Meskipun demikian, aturan ini dinilai ambigu karena pelarangan hanya diperuntukkan bagi perusahaan kayu dan kertas. Masih ada klausul yang memungkinkan perusahaan pertambangan memasuki wilayah tersebut. (Reuters)