Untuk ketiga kalinya sejak tahun 2019, PM Prayuth Chan-O-cha lolos dari mosi tidak percaya di parlemen. Demonstran langsung menyambut dengan aksi turun ke jalan di jantung kota Bangkok.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·3 menit baca
Situasi politik di Thailand memanas setelah Perdana Menteri Prayuth Chan-O-cha berhasil lolos dari mosi tidak percaya di parlemen. Pengunjuk rasa, dalam kemarahan mereka, berjalan di bawah guyuran hujan deras, Sabtu (4/9/2021), di jantung komersial Bangkok.
Membawa bendera merah, mereka meneriakkan seruan agar pemerintahan dibubarkan. ”Jika keadaan baik-baik saja, kenapa kami protes?” ujar seorang pengunjuk rasa.
Selama sepekan terakhir, suara para demonstran semakin terdengar menuntut Prayuth mundur. Buruknya penanganan pemerintah atas pandemi Covid-19 yang berimbas pada merosotnya perekonomian menjadi alasan utama tuntutan tersebut. Hingga saat ini, infeksi di Thailand 1,2 juta kasus dengan korban meninggal 12.000 orang.
Lambannya vaksinasi memperburuk keadaan. Thailand tidak turut dalam skema distribusi vaksin melalui mekanisme Covax. Performa ekonomi Thailand dinilai paling buruk sejak krisis finansial yang melanda Asia tahun 1997.
Barangkali protes terbaru ini adalah bentuk kegemasan lantaran Prayuth lolos mosi tidak percaya di parlemen untuk ketiga kalinya sejak diinisiasi tahun 2019. Prayut mulai berkuasa tahun 2014 saat berhasil melancarkan kudeta atas pemerintahan terpilih. Dia terus berkuasa sampai dipilih sebagai perdana menteri dan memimpin pemerintahan koalisi dalam pemilu tahun 2019.
Prayuth lolos dengan suara meyakinkan di parlemen dengan dukungan 264 anggota dari 271 anggota koalisinya. Dukungan terbukti masih solid meski beredar rumor sejumlah anggota akan menggulingkannya.
Itulah sebabnya, jumlah pengunjuk rasa pada akhir pekan lalu bertambah. Sejak akhir Juni, gelombang protes terus mengalir. Demonstran sering kali berakhir bentrok dengan polisi.
Pada Sabtu, polisi memblokir rute jalan yang akan dilalui demonstran menggunakan kontainer di sekitar Taman Lumphini. Di pusat kota, polisi antihuru-hara telah dikerahkan untuk berjaga-jaga, terutama di sekitar Ratchaprasong, distrik komersial utama di Bangkok.
13 tahun
Ingatan lantas melayang ke peristiwa unjuk rasa besar-besaran di Bangkok tahun 2008 untuk menuntut mundurnya Perdana Menteri Samak Sundaravej. Pada awal September, 13 tahun lalu, ribuan demonstran yang dimotori Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) menduduki kompleks gedung pemerintahan di Bangkok. Ciri khas demonstran waktu itu adalah kaus kuning yang melambangkan warna kerajaan.
Protes berlangsung selama tiga bulan hingga terpilihnya perdana menteri baru, Abhisit Vejjajiva, pada Desember 2008. Baru sebulan berkuasa, muncul gelombang protes baru yang merupakan kelompok pendukung pemerintahan sebelumnya. Diduga aksi dibiayai mantan PM Thaksin Shinawatra yang digulingkan melalui kudeta. Berbeda dengan aksi kaus kuning, demonstran kali ini berkaus merah.
Abhisit ketika itu juga menghadapi mosi tidak percaya di parlemen pada Maret 2009, yang disusul demonstrasi besar-besaran kelompok kaus merah pada bulan berikutnya. Setahun berselang, kaus merah menggelar demonstrasi menuntut Abhisit mundur. Mereka menduduki kawasan Ratchaprasong selama tiga bulan. Kali ini, aparat keamanan merespons dengan keras. Situasi mencekam selama sekitar sepekan saat tentara membubarkan paksa demonstran. Setidaknya 88 orang tewas dan 1.500 orang terluka.
Sabtu malam lalu, di persimpangan Din Daeng, demonstran melemparkan petasan. Din Daeng juga merupakan titik panas protes tahun 2010.
Pandemi Covid-19 tak menyurutkan orang berunjuk rasa. Dikhawatirkan Thailand berpotensi mengulang kembali memori buruk demonstrasi yang berujung pada kekerasan.