Kepentingan Keberlanjutan Bumi di Atas Politik Internasional
Sikap, cara, dan pilihan manusia bertindak turut berpengaruh pada masa depan dunia. Beragam bencana dan kondisi lingkungan dunia saat ini menjadi alarm agar manusia segera bertindak menyelamatkan dunia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
MARSEILLE, JUMAT — Isu keberlanjutan lingkungan hendaknya dinomorsatukan di atas politik internasional. Umat manusia hanya memiliki satu Bumi yang keberadaannya terus terancam oleh pencemaran, pemanasan global, dan krisis iklim. Komitmen dan langkah drastis dari semua negara mendesak segera dilakukan.
”Takdir manusia saling berhubungan melewati batas-batas geografis. Alam dan manusia tidak bisa dipisahkan. Pelestarian alam adalah kewajiban kita semua,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron ketika membuka Kongres Konservasi Global di Marseille, Perancis, Jumat (3/9/2021).
Kongres ini diadakan setiap empat tahun. Kali ini, ada 16.000 ilmuwan dan pakar lingkungan yang terlibat. Mereka hadir, baik langsung di Marseille maupun melalui media daring. Topik yang dibahas ialah peningkatan populasi manusia menjadi 9 miliar dalam beberapa tahun ke depan dan dampak krisis iklim.
Salah satu hal yang digarisbawahi ialah daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Daftar merah berarti spesies binatang maupun tumbuhan di darat dan laut yang dalam kondisi kritis. Mereka terancam punah apabila tidak segera dilakukan langkah pelestarian.
IUCN menyebutkan ada 135.000 spesies makhluk hidup yang masuk ke dalam daftar merah dan 28 persen di antaranya hampir punah. Pemanasan global dan berkurangnya habitat menjadi penyebab utama kepunahan makhluk hidup.
Populasi ikan hiu di laut berkurang 70 persen sejak tahun 1970 dan 18 spesies burung pemangsa terancam punah akibat tidak ada makanan maupun habitat. Di darat, 90 persen habitat kucing-kucing besar menghilang digantikan pertanian dan permukiman. Sebagai gambaran, di alam liar Bumi kini hanya tersisa 20.000 ekor singa, 7.000 ekor citah, dan 4.000 ekor harimau.
Kongres kali ini juga melibatkan berbagai perwakilan masyarakat adat di penjuru Bumi. Masyarakat adat ialah kelompok orang yang hidupnya langsung bergantung kepada alam. Jika alam rusak, hidup mereka otomatis segera terdampak. Permasalahannya, masyarakat adat hampir tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait lingkungan. Bahkan, ada pula kelompok masyarakat adat yang dipersekusi karena menerapkan tradisi mereka di alam liar.
”Kami ingin menjelaskan kepada dunia mengenai prinsip keselarasan hidup masyarakat adat. Ada pengetahuan-pengetahuan tradisional yang bisa disandingkan dengan ilmu modern untuk melestarikan lingkungan sambil tetap bisa menuai manfaat bagi manusia,” kata Jose Gregorio Diaz Mirabal, salah satu perwakilan sembilan suku Amazon dari Amerika Selatan.
Beberapa hal yang didorong dalam kongres ini ialah penurunan emisi karbon dan percepatan netral karbon di dunia. Selain itu, dibahas pula mengenai rencana agar Bumi bisa bebas dari sampah plastik pada tahun 2030.
Pemanasan global
Salah satu dampak krisis iklim yang terasa ialah pemanasan global. Wujudnya berupa meningkatnya angin kencang, hujan lebat, dan sambaran petir. Gelombang panas di Amerika Utara, kebakaran hutan di Benua Amerika dan Mediterania, serta banjir di Eropa Barat adalah beberapa contoh bukti.
Di India, pemanasan global mengakibatkan meningkatnya jumlah sambaran petir sebanyak sepertiga dari tahun 2019. Organisasi Kampanye India Tangguh Petir (ILRC) mencatat, pada periode Maret 2020 hingga Maret 2021 terjadi 19 juta sambaran petir di negara itu.
Total 2.500 orang kehilangan nyawa akibat tersambar petir setiap tahun di India. Jumlah ini belum termasuk binatang-binatang yang ikut terbunuh. Bulan Mei 2020, sekawanan gajah berjumlah 18 ekor mati tersambar petir.
”Petir terjadi akibat adanya lokalisasi pemanasan di permukaan Bumi. Di titik-titik itu, kelembaban meningkat drastis sehingga mengakibatkan awan dan angin kencang yang menghasilkan petir,” tutur Sanjay Srivastava, peneliti dari ILRC.
Menggugat korporasi
Perusahaan-perusahaan swasta juga dituntut lebih aktif terlibat menangani krisis iklim. Di Uni Eropa telah dikeluarkan komitmen agar pada tahun 2050 wilayah ini bisa sepenuhnya netral karbon. Negara-negara yang masih memakai energi batubara didesak agar segera beralih ke energi hijau, seperti sinar matahari dan panas bumi.
Di Jerman, Kanselir Angela Merkel menetapkan bahwa negara itu akan netral karbon per tahun 2045, lima tahun lebih awal dibandingkan Uni Eropa karena Jerman menargetkan bisa menjadi teladan global. Perusahaan-perusahaan kendaraan bermotor diminta berhenti memproduksi kendaraan berbahan bakar minyak mulai tahun 2030.
Meskipun demikian, organisasi lingkungan hidup Greenpeace dan Deutsche Umwelthilfe (DUH) menilai aturan ini tidak cukup karena tidak mengikat perusahaan otomotif. Mereka kemudian mengajukan gugatan kepada tiga perusahaan otomotif terbesar di Jerman, yakni Volkswagen (VW), Bayerische Motoren Werke (BMW), dan Daimler, agar membuat pernyataan resmi dan rencana strategi mengenai komitmen tersebut.
”Jika menolak, akan kami gugat mereka ke pengadilan. Perusahaan otomotif termasuk penyebab krisis iklim. Gara-gara pemanasan global, Jerman bulan lalu banjir besar,” kata Direktur Eksekutif DUH Sacha Mueller-Kraennen. Ia mengungkapkan, pihaknya juga akan meminta komitmen serupa kepada perusahaan minyak bumi dan gas alam Wintershall Dea. (AP/AFP)