Persaingan AS-China Kontraproduktif untuk Kerjasama Iklim
Amerika Serikat dan China adalah dua produsen terbesar karbon di dunia. Kerja sama kedua negara amat vital. Persoalannya, persaingan hegemoni bisa mendistorsi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
(YUE YUEWEI/XINHUA VIA AP)
Foto dirilis Kantor Berita China, Xinhua. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi (kiri) dan Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Iklim (kanan), John Kerry bertemu secara virtual di China, Rabu (1/9/2021).
BEIJING, KAMIS – Pertarungan kepentingan politik-ekonomi antara Amerika Serikat dan China mewarnai pembahasan kerja sama seputar perubahan iklim kedua negara. Bahkan tidak menutup kemungkinan, tensi pertentangan kedua negara akan mendistorsi kerjasama.
Utusan Khusus Kerja Sama Iklim Amerika Serikat (AS) John Kerry berkunjung ke Tianjin, China, untuk bertemu mitranya, Utusan Khusus Iklim China, Xie Zhenhua, guna membahas pernyataan bersama negara-negara tentang perubahan iklim.
Dalam kesempatan berbeda, Kerry menggelar pertemuan virtual dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, Rabu (1/9/2021). Sehari kemudian, Kerry menggelar pertemuan virtual dengan Wakil Perdana Menteri China, Han Zheng. “Kalau AS mau bekerja sama dengan China untuk menangani krisis iklim, jangan perlakukan China sebagai lawan ataupun musuh,” kata Wang Yi.
Kerja sama perubahan iklim antara AS dan China, menurut Wang Yi, akan ditentukan oleh sifat hubungan kedua negara. Jika AS terus memperlakukan China dengan tidak baik, maka itu berisiko merusak kerja sama kedua negara. Demikian pula sebaliknya, kerja sama akan efektif jika AS memperlakukan China sebagai mitra setara. "Sekarang, bolanya ada di tangan AS," kata Wang Yi.
Sementara mengutip keterangan Departemen Luar Negeri AS, Kerry mengatakan kepada Han bahwa tanpa upaya pengurangan yang signifikan oleh China, dunia tidak dapat memenuhi target pemanasan maksimal hingga 1,5 derajat Celcius.
AFP/CHRISTOF STACHE
Personel militer menyusuri Sungai Ahr dengan menaiki perahu karet melintasi puing atap rumah yang tersapu banjir di Rech, Rhineland-Palatinate, Jerman barat, Rabu (21/7/2021).
Selama beberapa tahun terakhir, AS dan China terus bersitegang dalam berbagai isu. AS menyerang China dalam sejumlah isu di dalam dan luar negeri. Di antaranya adalah hak asasi manusia di Xinjiang, perebutan wilayah di Laut China Selatan, dan demokrasi di Hong Kong. AS juga mempersoalkan asal usul Covid-19.
Dunia menghadapi masalah pemanasan global yang serius. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, apabila suhu rata-rata dalam satu dekade ke depan naik 2 derajat Celcius saja, Bumi akan mengalami kerusakan iklim yang tidak akan bisa diperbaiki. Bahkan penelitian mutakhir menyebutkan, kenaikan sampai 1,5 derajat Celcius saja sudah menyebabkan sejumlah malapetaka.
Pemanasan global misalnya, akan mengakibatkan banjir dan badai. Kekeringan juga akan terjadi hingga menyebabkan gagal panen global. Terumbu karang akan rusak parah. Berbagai biota laut yang penting untuk keberlangsungan hidup makhluk Bumi akan musnah.
Adalah emisi gas rumah kaca atau karbon yang menjadi biang keladi dari pemanasan global itu. Penyebab utamanya ialah sektor industri, kendaraan bermotor, dan kegiatan rumah tangga. Berdasarkan kesepakatan di Paris pada 2015, seluruh negara di dunia berkomitmen untuk mengurangi produksi karbon mereka.
Uni Eropa misalnya, telah menargetkan untuk nihil produksi karbon per 2050. Persoalan ini akan dibahas kembali dalam pertemuan iklim di Glasgow, Skotlandia pada November. China merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, yaitu 28 persen dari emisi global. Sementara AS menempati peringkat kedua dengan porsi 15 persen.
Presiden AS, Joe Biden, menyatakan, AS akan mengurangi 52 persen emisi karbon negaranya per 2030. Target ini dua kali lebih besar dibandingkan komitmen Presiden Barack Obama. Selanjutnya per 2050, AS menargetkan nihil produksi karbon dan sepenuhnya memakai energi yang ramah lingkungan.
REUTERS/CHINA STRINGER NETWORK
Batubara impor dikeruk dari kapal kargo pengangkut batubara di sebuah pelabuhan di Lianyungang, Provinsi Jiangsu, China, pada 26 Juli 2018. Batubara merupakan salah satu komoditas yang bakal menjadi medan perang tarif antara Amerika Serikat dan China.Dalam tajuk rencana surat kabar pemerintah China, Global Times, dijabarkan bahwa AS tidak boleh memaksa China untuk mengikuti standar mereka. China juga memiliki misi dekarbonisasi yang diterapkan sesuai kondisi sosial dan ekonomi mereka.
“China merupakan negara berkembang, berbeda dari negara-negara Barat yang sudah maju. Kami harus melakukan dekarbonisasi dengan cara sendiri tanpa menghalangi pertumbuhan ekonomi,” sebut tajuk tersebut.
China tetap berambisi meningkatkan produk domestik bruto hingga dua kali lipat di 2035. Demi peningkatan itu, China akan mencapai produksi karbon tertinggi di 2030.
Sampai saat ini, 60 persen ekonomi China masih mengandalkan batubara yang merupakan polutan terparah. Setelah titik puncak emisi itu tercapai, China berencana mengganti 20 persen sumber energi mereka ke energi bersih. Baru pada 2060 mereka akan sepenuhnya meninggalkan karbon.
Pakar kebijakan energi Greenpeace, Li Shuo, kepada harian Washington Post, mengatakan, setiap negara memang memiliki pendekatan masing-masing untuk upaya dekarbonisasi. “China dan AS jangan bersikukuh menampilkan kekuatan politik. Di isu krisis iklim, kepentingan Bumi yang harus dinomorsatukan,” ujarnya. (AP/AFP)