Bencana Pendidikan bagi Satu Generasi
Pandemi Covid-19 menghentikan kegiatan belajar-mengajar. Jutaan anak terancam tak memiliki kemampuan dasar, termasuk membaca-menulis. Vaksin untuk murid sekolah dan protokol kesehatan menjadi kunci dibukanya sekolah.
Sudah sekitar 1,5 tahun pandemi Covid-19 menyelimuti dunia. Selama itu pula disrupsi melanda berbagai sudut kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Banyak anak kehilangan waktu mendapatkan pembelajaran yang mereka butuhkan untuk menguasai kemampuan dasar. Sekjen PBB Antonio Guterres menyebutnya bencana bagi satu generasi.
Jari jemari kanan Radhika Kumari agak sedikit gemetar saat memegang sebatang kapur putih dan mencoba menuliskan sesuatu di papan tulis. Namun, sebelum dia menuliskan satu huruf pun, kapur itu jatuh dari tangannya.
Radhika, seperti dikutip dari laman BBC, 29 Agustus 2021, tengah mencoba menulis alfabet Hindi. Ini sebenarnya tugas sederhana bagi sebagian besar murid sekolah berusia 10 tahun seperti dia. Radhika mengaku kesulitan untuk menuliskannya karena sudah 17 bulan tidak mengikuti pembelajaran akibat pandemi, termasuk pembelajaran daring.
”Hindi dan Inggris adalah mata pelajaran favorit saya di sekolah,” ujar Radhika.
Awal tahun lalu, ia sedang menyelesaikan pendidikan kelas II di sekolah dasar yang dikelola pemerintah setempat. Ia sekarang telah naik ke kelas IV. Padahal, selama pandemi ini, ia tidak memiliki alat untuk pembelajaran.
Hal yang sama terjadi pada Vinita Kumari (7). Sang ayah, Madan Singh, kecewa karena anaknya belum bisa membaca dan menulis. Pada saat bersamaan, sang ayah mengaku tidak memiliki waktu untuk membantu putrinya karena harus mencari nafkah. Selain itu, Singh juga buta huruf.
Baca juga : Hampir 300 Juta Pelajar Terdampak
Radhika dan Vinita tinggal di sebuah desa kecil di Distrik Latehar, Negara Bagian Jharkhand, salah satu negara bagian termiskin di India. Akses internet di desa itu masih sangat sulit. Keluarga Radhika yang berasal dari kasta Dalit—kasta terendah dalam sistem kekerabatan di India—ditambah ketidakmampuan keluarga untuk mengakses internet, membuatnya merasakan kesulitan itu. Kondisi sama dirasakan murid-murid sekolah dari kalangan keluarga miskin dan marjinal di banyak desa di India.
Berbeda dengan sekolah swasta yang diikuti oleh murid-murid dari kasta tertinggi ataupun kelompok masyarakat mapan, sekolah-sekolah negeri di desa dan di daerah pinggiran mengalami kesulitan menggelar kegiatan belajar- mengajar. Siswa-siswi mereka, yang sebagian besar dari keluarga miskin, tidak memiliki alat-alat memadai, seperti komputer atau telepon pintar, hingga akses internet yang tak merata. Mereka pun tertinggal dalam belajar.
”Sangat mengejutkan mengetahui bahwa dari 36 anak yang terdaftar di tingkat dasar, 30 anak tidak dapat membaca satu kata pun,” kata Jean Dreze, ekonom India berdarah Belgia.
Kehilangan fondasi
Dreze tidak hanya bertemu dengan Radhika yang mengalami kesulitan dalam memahami abjad. Di India, memahami abjad merupakan ilmu dasar yang akan menjadi fondasi bagi kemampuan murid untuk memasuki jenjang pendidikan lanjutan. Dreze juga bertemu dengan puluhan siswa lain di daerah-daerah lain. Dia mengatakan, survei yang dilakukannya menemukan bahwa sebagian besar murid sekolah dasar mulai tertinggal dalam kemampuan membaca dan menulis, terutama di kalangan siswa yang tidak memiliki akses atas materi belajar.
Radhika dan anak-anak seusianya sudah kehilangan waktu hampir 1,5 tahun. Mereka tidak memiliki akses terhadap materi pembelajaran. Meski demikian, mereka tetap dianggap naik kelas. Di bawah Undang-Undang Pendidikan India, wajib bagi sekolah untuk tetap meloloskan anak-anak yang terdaftar sampai kelas V meski fondasi pendidikan dasarnya belum cukup kuat. Sekolah tetap berpegang pada aturan ini meski ada gangguan dalam pembelajaran bagi begitu banyak siswa.
Baca juga : Jutaan Anak di Dunia Telantar akibat Covid-19
Dreze khawatir kondisi ini hanya puncak dari gunung es. Banyak anak akan putus sekolah karena tidak memiliki fondasi pengetahuan dasar yang kuat.
”Begitu Anda dapat membaca serta menulis dan Anda telah mencapai tingkat yang lebih tinggi, Anda dapat terus maju, mendidik diri sendiri dengan cukup baik. Namun, jika belum mempelajari dasar-dasarnya, Anda sebenarnya tertinggal walau dipromosikan ke kelas lebih tinggi. Sama seperti putus sekolah,” kata Dreze.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal 2020 telah mengganggu, atau bahkan merusak, sistem dan tatanan kehidupan warga dunia, termasuk sistem pendidikan. Untuk mencegah penularan, terutama di kalangan anak-anak, pemerintah di tiap-tiap negara memutuskan menghentikan kegiatan belajar- mengajar.
Laporan Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang dirilis pada akhir Maret 2021 memperlihatkan, 584 juta anak-anak usia sekolah di seluruh dunia mengalami kesulitan membaca. Angka ini melonjak dari studi yang dilakukan tahun sebelumnya, yang mencapai angka 460 juta anak. Wilayah yang terdampak adalah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika.
Baca juga : Pandemi Covid-19 Memperdalam Krisis Pembelajaran
Dalam laporan itu disebutkan, berdasarkan pemodelan yang digunakan, ketika seorang murid tidak melakukan kontak apa pun di lingkungan pendidikannya (teman, guru, dan sekolah), mereka akan kehilangan dua bulan pelajaran atau ilmu yang pernah dipelajarinya. Dengan pemodelan itu, mengutip laporan tersebut, murid-murid sekolah akan kehilangan atau melupakan pelajaran atau ilmu yang pernah mereka dapatkan selama setahun sebelumnya (sebelum pandemi).
Bencana
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam laporan tersebut, menyebut kondisi yang dialami dunia pendidikan, khususnya murid-murid, sebagai bencana. Bencana tidak hanya bagi pendidikan, tetapi juga bencana bagi satu generasi. Tertinggalnya murid-murid usia sekolah dalam kemampuan dasar diperkirakan berdampak selama beberapa dekade ke depan, terutama efek jangka panjang pada pembangunan ekonomi dan masa depan generasi ini.
Situasi dilematis dihadapi oleh dunia pendidikan. Kegiatan belajar-mengajar secara luring bisa menjawab kegelisahan banyak pengambil kebijakan dan sebagian besar anak dari kalangan tak mampu, terutama karena kendala akses internet dan perangkat pendukungnya yang tidak memadai. Kegiatan belajar- mengajar dinilai tidak berdampak optimal terhadap para murid.
Namun, hal itu tidak mudah karena hingga sekarang vaksin untuk anak-anak berusia 0-11 tahun belum siap. Scott Gottlieb, anggota Dewan Direktur Pfizer, salah satu produsen vaksin di Amerika Serikat, yang dikutip laman CNBC, mengatakan, Pfizer dan BioNTech berharap vaksin untuk anak-anak usia 5-11 tahun akan mendapatkan otorisasi penggunaan darurat, setidaknya pada musim dingin tahun ini.
Meski anak-anak dianggap memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan manusia dewasa, kekhawatiran infeksi Covid-19 akibat kegiatan belajar-mengajar luring masih sangat tinggi. Apalagi, masih ada pro-kontra manfaat vaksin bagi manusia.
Baca juga : Ketika Sekolah dan Guru Melawan Ancaman Penurunan Hasil Belajar
Kasus terbaru di San Francisco, Amerika Serikat, seorang guru sekolah yang belum disuntik vaksin diduga menjadi sumber infeksi terhadap setidaknya 26 orang, termasuk 12 muridnya. Delapan dari 10 murid yang duduk di baris depan dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Sementara di baris belakang, empat dari 14 murid juga dinyatakan positif. Dari satu sumber yang sama, setidaknya enam murid lain di kelas yang berbeda juga terinfeksi. Dari mereka, muncul kluster baru karena mereka juga menularkan kepada orangtua dan saudara kandung masing-masing.
Kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka di AS, beberapa waktu lalu, pun menyisakan banyak masalah. Berdasarkan data Akademi Pediatrik Amerika (AAP), 19-26 Agustus 2021, terdapat 203.962 kasus Covid-19 pada anak-anak. Selama dua pekan, 12-26 Agustus 2021, AAP mencatat kenaikan kasus Covid-19 pada anak-anak hingga 9 persen.
”Situasi sekarang sangat buruk dan anak-anak kita akan terdampak paling hebat akibat pandemi ini,” kata Sally Goza, mantan Presiden AAP.
Lonjakan kasus baru, terutama pada anak-anak usia sekolah, telah menimbulkan ketegangan antara para pemimpin negara bagian dari kelompok konservatif (Partai Republik) dan distrik setempat, terutama soal kewajiban menggunakan masker saat kegiatan belajar-mengajar dimulai kembali secara tatap muka.
Baca juga : Menahan ”Learning Loss” di Masa Pandemi
Manajemen sekolah di Florida, Texas, dan Arizona telah menginstruksikan kewajiban mengenakan masker di sekolah. Instruksi ini melawan keputusan gubernur di negara-negara bagian yang melarang pemberlakuan aturan kewajiban mengenakan masker. Bahkan, Gubernur Florida Ron DeSantis, anggota Partai Republik, mengancam akan menahan dana pendidikan bagi sekolah-sekolah yang menentang kebijakannya dengan menerapkan aturan tersebut.
Sementara di Texas, Gubernur Greg Abbott mengajukan banding ke Mahkamah Agung negara bagian untuk membatalkan aturan kewajiban mengenakan masker di Dallas County.
Anthony Fauci, pakar penyakit menular AS, mengatakan bahwa dia mendukung kewajiban vaksin dan penggunaan masker bagi para murid. Dia yakin kewajiban melakukan vaksinasi adalah ide bagus guna melindungi anak-anak usia sekolah dari kemungkinan terinfeksi. Pada saat sama, dia berharap agar vaksin bagi anak-anak usia 5-11 tahun atau lebih mudah bisa segera hadir.
Menurut Michael Ryan, Direktur Eksekutif WHO, meski tingkat vaksinasi di sebuah negara sudah tinggi, salah satu cara mencegah penularan dan tertular adalah dengan tetap mengenakan masker di tempat-tempat publik. (AFP/REUTERS)