Di China, Film Bicara untuk Para Penyandang Tunanetra
Mendengarkan film dengan bantuan narator tak kalah serunya dengan menonton film. Berkat para sukarelawan narator film, penyandang tunanetra di China juga bisa ikut merasakan keseruan adegan-adegan film.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Zhang Xinsheng (51) selalu tak sabar menanti akhir pekan tiba. Sebab, setiap Sabtu menjadi hari mendengarkan film bersama teman-temannya di bioskop mini di Qianmen, Beijing, China. Mendengarkan film? Ya, ini acara khusus bagi para penyandang tunanetra, termasuk Zhang, untuk menikmati film.
Meski untuk sekali jalan butuh waktu dua jam menggunakan kereta bawah tanah yang relatif membingungkan, Zhang dan teman-temannya tetap bersemangat. Mereka berjalan bersama dengan bantuan tongkat dan aplikasi peta di telepon genggam. Sesekali terdengar suara perintah belok kanan, kiri, atau lurus dengan volume cukup keras.
Kemampuan penglihatan Zhang menurun sejak berusia 20 tahun. Ketika sudah sampai di tahap tidak bisa melihat sama sekali, Zhang malah semakin suka menonton bioskop di komunitas ”film bicara”. Di komunitas itu, para sukarelawan memberikan narasi cerita yang jelas, runut, rinci, dan lengkap sepanjang film untuk para penyandang tunanetra atau mereka yang hilang sebagian penglihatan.
”Saya pertama kali mendengarkan film tahun 2014. Setelah itu, rasanya seperti dunia baru terbuka untuk saya. Saya bisa mengikuti jalan cerita filmnya meski tidak bisa melihat. Gambarnya juga jelas di pikiran saya berkat narator yang menggambarkan adegan-adegannya sampai detail, sampai cara tertawanya dan menangisnya,” kata Zhang.
Puluhan penyandang tunanetra yang suka menonton film rutin datang ke acara pemutaran film yang dilakukan komunitas Xin Mu Theater, sekelompok sukarelawan yang pertama kali memperkenalkan film kepada penyandang tunanetra di China. Tugas para narator mendeskripsikan adegan apa pun yang sedang berlangsung, termasuk menggambarkan ekspresi wajah, gestur tubuh, suasana, dan kostum yang dikenakan para aktor dan aktris.
Bulan lalu, komunitas itu memutar A Street Cat Named Bob, film tentang seekor kucing yang membantu seorang laki-laki tunawisma di kota London, Inggris, untuk berhenti mengonsumsi narkoba dan menjadi penulis buku terkenal.
”Salju sedang turun di London, kota di Inggris. Kotanya mirip seperti Beijing, tetapi gedung-gedungnya tidak tinggi. Seorang laki-laki memakai teropong, dua silinder panjang dan bulat yang dipakai untuk melihat sesuatu yang jauh, sedang melihat James menyanyi di pojok jalanan dengan ditemani Bob, si kucing,” kata Wang Weili yang waktu itu menjadi narator film tersebut.
Selama Wang menceritakan filmnya, tidak ada suara lain. Semua duduk terdiam mendengarkan. Tidak ada suara orang berbicara atau berbisik. Bahkan tak ada suara orang sedang mengunyah makanan kecil.
Inspirasi memutarkan film untuk para penyandang tunanetra, menurut Wang, datang setelah menarasikan film The Terminator untuk salah seorang temannya. ”Teman saya senang sekali ketika saya ceritakan adegan-adegannya. Ikut tegang. Dia minta diceritakan terus apa yang saya lihat,” ujarnya.
Sejak itu, Wang menyewa ruangan kecil di halaman rumah tua di Beijing berbekal uang tabungannya pada 2005. Ia lalu memulai komunitas film bicara dengan peralatan seadanya, sebuah televisi layar datar kecil, alat pemutar DVD bekas, dan sekitar 20 kursi. Meski sederhana, bioskop mininya yang berukuran 20 meter persegi itu selalu penuh penonton.
Menceritakan film kepada penonton tunanetra gampang-gampang susah, terutama kalau ceritanya ada elemen sejarahnya atau karakter rekaan yang belum pernah dilihat atau diketahui para penonton. Contohnya adalah film Jurassic Park.
Mengingat banyak yang belum tahu bentuk dinosaurus, sebelum pemutaran film itu, Wang memberikan kesempatan para penonton untuk meraba-raba beberapa patung atau boneka model dinosaurus. ”Saya sampai harus menonton film itu 6-7 kali dan menuliskan naskah sendiri dengan rinci,” kata Wang.
Xin Mu kini digandeng oleh bioskop-bioskop besar untuk memutar film. Namun, karena pandemi Covid-19, komunitas ini untuk sementara memberikan layanan streaming dengan narasi-narasi rekaman suara.
Selama 15 tahun, ratusan film sudah diputar. Menurut Asosiasi China untuk Penyandang Tunanetra, terdapat 17 juta orang tunanetra di China. Sebanyak 8 juta di antaranya buta total.
Selama 10 tahun terakhir, kota-kota di China sudah membangun lebih banyak ruas jalan khusus untuk penyandang tunanetra, menambah rambu dengan huruf Braille di panel lift, dan memperbolehkan kandidat tunanetra mengikuti tes untuk mendapatkan posisi di pemerintahan dan kampus. ”Tetapi, kesempatan masyarakat tunanetra untuk berpartisipasi di kegiatan-kegiatan budaya masih terbatas,” kata pendiri Asosiasi Deskripsi Audio di Hong Kong, Dawning Leung.
Dawning juga mengatakan, penyandang tunanetra tidak memungkinkan masuk ke bioskop, teater, atau pameran seni karena tidak ada kesadaran pengelola atau penyelenggara akan kebutuhan narasi audio. ”Bahkan, deskripsi audio di museum juga dibuat untuk kepentingan orang yang bisa melihat. Mereka cerita soal sejarah suatu obyek atau di mana ditemukan, tetapi tidak menggambarkan seperti apa bentuknya,” ujarnya.
Selama bertahun-tahun para aktivis penyandang tunanetra juga mendorong perundang-undangan yang mewajibkan deskripsi audio untuk film, program televisi, atau karya seni di China daratan, sebagaimana sudah diterapkan di Hong Kong. Namun, perkembangannya lambat.
Film-film gratis yang diputarkan Xin Mu menjadi satu-satunya kesempatan bagi para penyandang tunanetra ikut merasakan dunia perfilman. ”Film sudah memperkaya hidup saya dan membantu saya memahami tantangan-tantangan yang ada dalam hidup,” kata Zhang.
Film favorit Zhang adalah film Bollywood berjudul Dangal. Film ini berkisah tentang seorang pelatih yang mengajari putrinya sendiri untuk melawan tabu sosial dan menjadi juara kompetisi gulat. ”Saya sering berpikir, saya juga bisa mengubah takdir saya dengan cara bekerja keras,” ujarnya. (AFP)