Pandemi Covid-19 kian membuka persoalan struktural Sri Lanka yang disebabkan defisit perdagangan. Saat ini, cadangan devisa Sri Lanka menipis. Pemerintah pun menghentikan beberapa impor, termasuk produk pangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
KOLOMBO, RABU — Pemerintah Sri Lanka mengumumkan bahwa negara berpenduduk 21 juta jiwa itu dalam situasi darurat pangan. Ini terjadi karena pemerintah terpaksa membatasi impor, termasuk pangan, menyusul cadangan valuta asing pada bank-bank di negara itu menipis.
”Sekarang kita semua harus berhemat. Pengelolaan pangan dan kebutuhan pokok akan dilakukan dengan saksama,” kata Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, Rabu (31/8/2021). Ia juga mengumumkan penunjukkan salah seorang petinggi militer untuk mengawasi peredaran pangan.
Harga beras, gula, bawang, dan kentang dikabarkan melonjak. Di mana-mana mulai terlihat antrean warga mencari gas untuk bahan bakar memasak, minyak tanah, dan susu bubuk yang semakin jarang ditemukan. Jika tidak segera ditangani, krisis akan terjadi sehingga pemenuhan kebutuhan pokok akan semakin sukar dilakukan.
Menteri Energi Sri Lanka Udaya Gammanpila bahkan mengeluarkan imbauan agar masyarakat untuk sementara waktu jangan memakai kendaraan bermotor demi menghemat bensin. Ia juga mengatakan, pemerintah berencana mengeluarkan kuota pemakaian bahan bakar minyak.
Sri Lanka adalah negara dengan komplikasi persoalan ekonomi yang akut. Ini dipicu oleh neraca perdagangan negara itu yang konsisten defisit sejak 1980-an. Akibatnya, cadangan valuta asingnya minim. Dengan demikian, kemampuan negara itu membayar utang pun amat lemah.
Situasi pandemi Covid-19 menekan perekonomian Sri Lanka. Nilai tukar mata uang Sri Lanka, rupee, anjlok 20 persen terhadap dollar AS. Ekonomi Sri Lanka juga tumbuh minus 3,6 persen pada 2020. Agregasinya, cadangan valuta asing di bank-bank domestik semakin menipis.
Persoalan itu membuat kemampuan bayar Sri Lanka semakin lemah. Untuk itu, pemerintah mau tidak mau menekan transaksi dalam valuta asing. Impor kendaraan bermotor, segala jenis minyak makan, dan kunyit, misalnya, dihentikan.
Cadangan devisa Sri Lanka per Juli 2021 hanya sebesar 2,8 miliar dollar AS, sementara per November 2019 stoknya masih 7,5 miliar dollar AS. Sri Lanka sejauh ini mendekati negara-negara tetangga untuk memberikan pinjaman.
Bangladesh telah mengulurkan tangan melalui kerja sama Bank Bangladesh (BB) dengan Bank Sentral Sri Lanka (CBSL). Per 18 Agustus, BB mentransfer 50 juta dollar AS kepada CBSL. Berdasarkan perjanjian kerja sama, total dari BB ke CBSL mencapai 200 juta dollar AS yang akan disalurkan dalam beberapa tahap.
Pinjaman ini berupa pertukaran mata uang. Artinya, CBSL harus membayar mata uang dollar AS itu dengan mata uang rupee dalam jumlah sepadan. Menurut surat kabar Ada Derana, untuk setiap tenggat pembayaran utang, CBSL akan diberi tambahan tiga bulan untuk melunasi.
Sementara itu, surat kabar Sunday Times melaporkan, Pemerintah Sri Lanka juga mendekati Iran dan Uni Emirat Arab agar mereka mau menjual minyak dengan sistem kredit. Artinya, Sri Lanka tidak membeli dengan dollar AS atau valuta asing lainnya secara tunai, tetapi mencicil. Belum ada tanggapan dari Iran ataupun UEA.
”Sri Lanka memiliki masalah hidup dari pinjaman sehingga tidak ada tabungan. Harus ada keseimbangan antara tabungan dan investasi domestik, baik oleh negara maupun oleh penduduknya,” kata ekonom Universitas John Hopkins, Steve Hanke, kepada media Economy Next. (AP)