Amerika Serikat dan Israel sepakat mendesak Iran untuk menghentikan program pengayaan nuklirnya. AS akan menempuh jalan diplomasi. Namun, jika tidak jalan, Presiden AS Joe Biden siap dengan rencana cadangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Gedung Putih mengumumkan hasil pertemuan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dengan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett di Washington DC, Amerika Serikat, Jumat (27/8/2021) siang waktu setempat. Keduanya sepakat untuk menghentikan program pengayaan uranium oleh Iran. Amerika Serikat menginginkan langkah diplomatis walaupun Israel sebenarnya mengharapkan tindakan lebih tegas.
”Amerika Serikat (AS) akan mengutamakan diplomasi dengan Iran dan membujuk mereka untuk kembali ke perjanjian tahun 2015. Tetapi, jika pendekatan damai gagal, kami memiliki rencana cadangan,” kata Biden seusai bertemu dengan Bennett.
Pembicaraan kedua pemimpin berlangsung selama 50 menit. Pertemuan ini semestinya dilakukan pada Kamis. Namun, agenda tertunda akibat serangan bom di Kabul, Afghanistan, oleh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Khurasan.
Biden, yang pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa pemerintahan Barack Obama, ingin mengembalikan kesepakatan nuklir AS-Iran seperti pada 2015. Ketika itu, AS berjanji mencabut semua sanksi dan embargo ekonomi Iran dengan syarat negara di Timur Tengah itu menghentikan program pengayaan uranium dan pengembangan teknologi nuklir mereka.
Pada 2018, di masa pemerintahan Presiden Donald Trump, AS keluar dari perjanjian ini. Trump berpendapat kesepakatan dengan Iran itu tidak relevan dan AS meneruskan embargo ekonomi mereka. Di sisi lain, Iran meneruskan program pengayaan nuklir dan mengatakan bahwa hal itu murni untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tanpa ada niat buruk.
Sebelum bertemu dengan Biden, Naftali Bennett mengutarakan kekhawatiran Israel mengenai program nuklir Iran. Bennett memiliki pendapat serupa dengan Trump, yaitu perjanjian 2015 sudah tidak lagi relevan dengan keadaan sekarang.
”Apabila AS mencabut embargo ekonomi atas Iran, justru berbahaya. Nanti Iran jadi bebas melakukan pengadaan barang dan jasa yang bisa dipakai untuk program nuklir mereka. Ini akan menjadi mimpi buruk dunia jika pemerintahan radikal seperti Iran memiliki persenjataan nuklir,” ujarnya.
Bennett menyebut bahwa informasi yang dihimpun oleh Kementerian Pertahanan Israel menyebutkan bahwa Iran sudah dalam kemampuan teknologi untuk membuat senjata nuklir. Kabarnya, mereka bisa mengembangkan bom nuklir dalam kurun dua bulan. Ini yang ditakutkan Israel. Pada April, Israel menembakkan rudal ke fasilitas nuklir Iran di kota Natanz sebagai peringatan.
Israel juga memiliki program nuklir. Bahkan, Israel dilaporkan memiliki 200 hulu ledak. Meskipun begitu, Israel tidak pernah mengakui ataupun menyangkal apabila mereka memiliki bom ataupun senjata lain untuk mengakomodasi hulu ledak itu.
”Tentu, Israel senang bahwa AS tetap memiliki visi untuk menghentikan program nuklir Iran. Kami berharap diplomasi akan lancar dan jika tidak, AS memegang komitmen untuk mencari alternatif lain,” tutur Bennet setelah rapat dengan Biden.
Berdasarkan analisis lembaga riset Institut Kajian Strategis Internasional (IISS) di Inggris per April 2021, Iran memiliki rudal yang bisa menjangkau jarak hingga 1.900 kilometer. Negara-negara yang masuk dalam radius ini, antara lain, adalah Israel, India, Ukraina, dan Etiopia. Langkah Iran sukar ditebak karena mereka memiliki presiden baru, Ebrahim Raisi, yang berhaluan konservatif. (AP/REUTERS)