Semakin menipisnya data primer untuk penyelidikan serta keengganan Pemerintah China membuka diri dan transparan menyebabkan semakin sulit menguak misteri asal-usul Covid-19 penyebab pandemi global.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Sejumlah anggota tim penyelidik gabungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang dikirim ke China untuk mencari tahu asal muasal virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19, mengingatkan seluruh pihak bahwa penelitian soal asal-usul penyakit ini berjalan di tempat. Peluang untuk memecahkan misteri penyakit ini pun semakin sempit. Selain masalah sumber data primer makin menipis, ada keengganan Pemerintah China membuka sejumlah data pasien paling awal terpapar penyakit ini.
Dalam sebuah tulisan pada laman jurnal Nature yang terbit Rabu (25/8/2021), para ahli WHO tersebut menyebutkan bahwa penyelidikan asal muasal virus SARS-CoV-2 berada di titik kritis. Kebutuhan kolaborasi yang seharusnya bisa dijalankan untuk mengungkap misteri penyakit ini tidak berjalan, bahkan terhenti.
Tim penyelidik gabungan, yang terdiri dari belasan ahli kesehatan yang ditunjuk WHO dan ilmuwan China telah melakukan penyelidikan bersama selama lebih kurang 28 hari pada Januari-Februari 2021.
Ada empat skenario asal muasal Covid-19 yang mereka umumkan seusai penyelidikan: seseorang terpapar kontak langsung spesies yang menjadi inang virus SARS-CoV-2, penularan ke manusia melalui inang perantara yang belum diketahui, penularan melalui rantai pasok makanan beku, dan kemungkinan kebocoran pada Institut Virologi Wuhan.
Meski demikian, tim penyelidik gabungan menyatakan bahwa laporan itu hanya dimaksudkan sebagai langkah awal.
Dalam artikel pada laman Nature tersebut, para ahli WHO mengatakan, waktu penyelidikan mereka sangat terbatas. Meski berada di China selama 28 hari, separuh dari waktu tersebut dipakai untuk masa karantina.
Tidak hanya itu. Saat penyelidikan berlangsung, para ilmuwan China enggan membagikan data mentah 174 kasus Covid-19 yang teridentifikasi terjadi pada Desember 2019 dengan alasan kekhawatiran soal kerahasiaan data pasien. Namun, disebutkan pula dalam tulisan itu, tim peneliti menilai bahwa 174 kasus tersebut bukan kasus Covid-19 paling awal sehingga dianggap kurang mendesak untuk didalami guna memahami asal-usul SARS-CoV-2.
Penelitian lanjutan
Di dalam laporan tersebut, tim peneliti memberikan beberapa rekomendasi penelitian lanjutan, termasuk melakukan survei antibodi, baik di China, terutama di kota Wuhan dan sekitarnya, maupun di luar wilayah China. Diperlukan juga survei komunitas dan mengikuti jejak-jejak awal, terutama lokasi peternakan pemasok hewan liar ke pasar di Wuhan.
Kini, yang menjadi kekhawatiran tim tersebut adalah peluang untuk menggelar penyelidikan lanjutan mengenai asal muasal virus itu semakin tertutup, terutama untuk melakukan penelitian biologis, baik terhadap hewan maupun manusia. Menurut tim, antibodi SARS-CoV-2 yang akan digunakan sebagai sampel pada orang-orang yang mungkin terpapar sebelum Desember 2019 makin berkurang.
Dalam perhitungan tim, peternakan satwa liar di China mempekerjakan sedikitnya 14 juta orang dan memasok mamalia hidup ke seluruh negeri. Kebijakan Pemerintah China menutup peternakan-peternakan tersebut dan memusnahkan hewan-hewan itu membuat bukti persebaran awal semakin sulit ditemukan.
Beberapa ilmuwan lain khawatir peluang terbaik untuk mengumpulkan sampel mungkin terlewatkan selama beberapa minggu pertama setelah sejumlah kasus penularan paling awal pada manusia muncul terkait sebuah pasar makanan laut di Wuhan. Peneliti China sebenarnya mengumpulkan ratusan sampel lingkungan segera setelah virus korona baru ditemukan, tetapi tidak jelas berapa banyak orang atau hewan yang diuji.
”Begitu Anda menemukan pedagang satwa liar beralih pada pekerjaan lain karena khawatir apakah mereka akan dapat melakukan ini (berdagang satwa liar) lagi atau tidak, jendela itu mulai tertutup,” kata Maciej Boni, profesor biologi Universitas Negeri Pennsylvania, AS, yang telah mempelajari asal virus dan bukan bagian dari tim WHO.
Meskipun demikian, lanjut Boni, para ilmuwan masih bisa menentukan dengan tepat sumber hewan Covid-19 dengan mendapatkan virus yang terkait erat pada spesies, seperti anjing rakun, cerpelai, atau tupai tanah. Namun, perlu waktu sekitar lima tahun untuk melakukan studi ekstensif seperti itu.
Fu Cong, Direktur Jenderal Pengendalian Persenjataan Kementerian Luar Negeri China setuju bahwa pencarian asal-usul Covid-19 terhenti. Namun, kata dia, itu bukan kesalahan China. ”China selalu mendukung dan akan terus berpartisipasi dalam upaya penelusuran asal berbasis sains,” katanya.
Penyelidikan intelijen AS
Secara terpisah, intelijen AS dikabarkan telah menyelesaikan penyelidikan soal asal-usul virus SARS-CoV-2. Presiden AS Joe Biden, menurut Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki, telah menerima laporan tersebut dan tengah membacanya.
”Setelah itu, laporan akan kami olah agar bisa dikonsumsi publik,” kata Psaki, di Washington, Rabu (25/8/2021).
Ia tidak mengatakan tenggat yang dibutuhkan sampai laporan itu bisa diakses oleh masyarakat.
Pemerintah China menyatakan marah atas penyelidikan oleh intelijen AS itu. Mereka menuduh AS mengambinghitamkan China agar reputasinya rusak di mata dunia. ”Penyelidikan ini murni politis, bukan berlandaskan ilmu pengetahuan, bukan untuk menjelaskan perkara,” kata Fu.
Kantor berita China Xinhua mengabarkan, Kedutaan Besar China di Washington telah bersurat kepada WHO untuk menurunkan tim menyelidiki laboratorium di Pangkalan Militer Fort Detrick di Negara Bagian Maryland dan laboratorium di Universitas North Carolina. Menurut Beijing, kedua lokasi itu juga melakukan penelitian terhadap berbagai macam virus.
Pencarian asal-usul Covid-19 menjadi sumber perselisihan sengit antara AS dan China, seiring makin meningkatnya perseteruan dua negara itu di bidang-bidang lain, mulai dari ekonomi, keamanan, geopolitik, hingga teknologi. (AP/REUTERS/DNE)