Orang Laut membantu bangsawan Melayu Sumatera mengembangkan kekuasaan di Tumasik. Setelah Tumasik jadi Singapura, Orang Laut kini menjadi minoritas.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Bagi banyak orang, Melayu dianggap sebagai suku asli di Malaysia dan Singapura. Padahal, ada suku lain yang lebih dulu mendiami wilayah yang kini dikenal sebagai Malaysia dan Singapura itu. Suku-suku itu kini menjadi kelompok minoritas.
Antropolog Singapura, Cynthia Chou, menulis sejumlah buku soal Orang Laut. Dalam buku-buku Chou disebutkan, Orang Laut adalah salah satu suku asli yang mendiami pesisir timur Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan Tumasik. Di hutan-hutan Semenanjung Malaysia, juga ada juga suku-suku asli yang kini dikenal sebagai Orang Asli. Mirip Suku Anak Dalam di Sumatera, Indian di Amerika, dan Aborigin di Australia.
Orang Laut dan Orang Asli sudah ada di Malaysia dan Singapura jauh sebelum Melayu masuk ke sana. Bahkan, mereka membantu para pembesar Melayu yang lari dari Sumatera ratusan tahun lalu untuk mengembangkan pengaruh di Semenanjung Malaysia.
Kala Thomas Stamford Raffles mendarat di Singapura pada Januari 1819, penduduk mayoritas pulau itu adalah Orang Laut. Kini, sebagaimana diungkap dalam laporan BBC pada Kamis (26/8/2021), Orang Laut malah dianggap sebagai Melayu.
Antropolog Singapura, Vivienne Wee, menyebut bahwa asimilasi Orang Laut memicu penghilangan budaya mereka. Kini tidak ada lagi tempat yang dapat disebut menunjukkan identitas Orang Laut. Bahkan, sulit menemukan warga Singapura yang benar-benar dapat disebut Orang Laut. ”Hanya ada keturunan, tidak ada suku. Generasi muda hanya punya kenangan,” kata dia.
Di masa pemerintahan Lee Kuan Yew, Singapura ingin tumbuh menjadi negara modern. Salah satu caranya adalah relokasi besar-besaran penduduk dari berbagai lokasi ke berbagai rumah susun. Dari tinggal di perahu atau pondok sederhana di tepi pantai, banyak Orang Laut harus tinggal di rumah susun. Mereka terpisah dari laut atau sungai yang menjadi bagian hidup selama berabad-abad.
Permukiman Orang Laut terakhir berada di bekas Pulau Seking. Pada 1993, permukiman itu dihancurkan dan penghuninya diminta pindah ke rumah susun. Setelah permukiman digusur, Pemerintah Singapura menjadikan Pulau Seking sebagai pusat pembuangan sampah. Kini, pulau itu digabungkan dengan Pulau Semakau.
Kini, Orang Laut tersebar di berbagai rusun Singapura. Mereka tidak lagi mengandalkan hidup dari laut. Mereka bekerja seperti kebanyakan orang Singapura. Ada yang jadi politisi seperti mendiang Othman Wok, mantan Duta Besar Singapura untuk RI. Ada yang menjadi guru, seperti Mohamed Shahrom Bin Mohd Taha.
Kala masih kuliah, sebagaimana dilaporkan The Straits Times, Shahrom berusaha mengoreksi pemahaman salah terhadap nenek moyangnya. Bagi tentara Inggris abad ke-19, Orang Laut kerap dianggap sebagai bajak laut. Padahal, asumsi itu dipicu salah paham soal siapa yang berwenang atas alur pelayaran di sekitar Singapura.
Bagi Orang Laut, atas kewenangan dari Kesultanan Melayu yang berpindah dari Riau hingga Semenanjung Melayu, pengendalian alur pelayaran adalah kewenangan mereka. Karena itu, mereka mengutip biaya perlintasan dan bagi pelanggar akan diserbu, lalu semua miliknya disita.
Bagi pasukan Inggris, tindakan itu pembajakan. Sebab, kewenangan Orang Laut tidak diakui tentara Inggris di Singapura.
Terputus
Shahrom menyebut, ia dan Orang Laut terputus dari cara hidup nenek moyang mereka. Hal paling sederhana adalah Orang Laut tidak bisa lagi mendapat pangan laut segar secara bebas. Padahal, Orang Laut menganggap makanan adalah pemberian dari laut dan karena itu mereka menghormati laut. ”Jangan memancing berlebihan,” kata guru sejarah itu.
Bagi Asnida Daud, salah satu keturunan Orang Laut di Singapura, makanan bukan hanya soal nutrisi. Makanan juga mewariskan identitas dan pengetahuan yang diwariskan dari nenek moyang mereka.
Karena itu, Firdaus Sani berusaha mengenalkan lagi kuliner khas Orang Laut di Singapura. ”Masakannya agak mirip dengan masakan Melayu. Akan tetapi, saya merasakan selalu saja tidak menemukan rasa yang pas dengan resep keluarga kami. Ternyata, memang masakan Melayu dan Orang laut berbeda,” kata salah satu keturunan Orang Laut di Singapura itu.
Sejak 2020, ia mulai memasarkan kuliner Orang Laut lewat bendera Orang Laut Singapore. Pandemi Covid-19 dimanfaatkannya untuk mengembangkan bisnis masakan yang diantar ke rumah pelanggan itu.
Seperti Shahrom, Firdaus memang kesulitan mendapatkan bahan segar dan asli untuk aneka masakan Orang Laut. Singapura memang mengatur ketat soal pemancingan. Keturunan Orang Laut masa kini tidak bisa lagi seperti nenek moyang mereka yang tinggal keluar rumah lalu mengambil aneka bahan makanan di bawah rumah. Sebab, rumah Orang Laut masa lalu lebih sering berada di atas laut. Bahkan, banyak yang memilih tinggal di perahu.
Meski demikian, Firdaus tetap berusaha sedapat mungkin mendapatkan bahan yang sesuai untuk memasak resep keluarganya. Baginya, Orang Laut Singapura bukan sekadar bisnis. Orang Laut Singapura adalah salah satu cara mempertahankan identitas dan mengenal sejarah.
”Dengan tahu sejarah, kami menjadi semakin tahu siapa kami. Hal itu membantu kami menumbuhkan rasa memiliki pada negara ini,” kata dia.