Jumlah penderita hipertensi bertambah dua kali lipat selama 30 tahun terakhir ini dan mayoritas hidup di negara berkembang dan miskin. Salah satu penyebabnya, gaya hidup yang tidak sehat.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Selama 30 tahun terakhir ini, jumlah orang yang menderita hipertensi di dunia bertambah dua kali lipat menjadi 1,28 miliar orang. Sebagian besar penderita hidup di negara-negara berkembang. Dari jumlah itu, sekitar 720 juta orang berusia 30-79 tahun. Yang memprihatinkan, sebagian dari mereka tidak mengobati penyakit yang mematikan ini karena tidak mengetahui kondisi tubuh mereka dan tidak menjalani pemeriksaan kesehatan.
Hasil penelitian Imperial College London bersama Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, yang dipublikasikan pada Rabu (25/8/2021), merupakan analisis global pertama yang komprehensif mengenai tren prevalensi hipertensi, pendeteksian, pengobatan, dan pemeriksaan kesehatan rutin.
Direktur Departemen Penyakit Tidak Menular WHO Bente Mikkelsen mengatakan, pemahaman atau informasi yang kurang mengenai penyakit ini bisa berakibat mematikan, di antaranya berdampak pada munculnya penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama banyak kematian di dunia. Sedikitnya 17,1 juta orang di dunia meninggal karena penyakit kardiovaskular setiap tahunnya. ”Sebagian besar karena hipertensi,” ujarnya.
Bahaya hipertensi
Hipertensi secara signifikan berpotensi meningkatkan risiko penyakit jantung, otak, dan ginjal dan ini menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia. Faktor risiko utama termasuk di antaranya pola makan yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang, konsumsi tembakau dan alkohol, dan obesitas. Selain menganjurkan gaya hidup sehat, tim peneliti mengatakan, hipertensi mudah dideteksi dengan mengukur tekanan darah dan bisa diobati dengan obat-obatan yang murah.
Selama 30 tahun terakhir ini pula, hasil penelitian itu menunjukkan beban hipertensi sudah bergeser dari negara-negara kaya ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Guru Besar Kesehatan Lingkungan Global Imperial College London Majid Ezzati mengatakan, kasus-kasus hipertensi meningkat di negara-negara miskin.
”Banyak wilayah di sub-Sahara Afrika, sebagian wilayah Asia Selatan dan negara-negara di Kepulauan Pasifik, yang tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang dibutuhkan,” ujarnya.
Tingkat perawatan kesehatan terkait hipertensi itu juga ditemukan rendah di wilayah-wilayah itu. Sekitar 25 persen untuk perempuan dan 20 persen untuk laki-laki. Sebagai perbandingan, lebih dari 70 persen laki-laki dan perempuan yang diketahui menderita hipertensi di Kanada, Eslandia, dan Korea Selatan mendapatkan perawatan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan rutin untuk mengobatinya.
”Meskipun selama 30 tahun terakhir ini perkembangan dunia medis dan obat-obatan sudah maju, tetap saja masih banyak penderita hipertensi yang tidak berobat,” kata Majid Ezzati dari Imperial College London dan kepala tim penelitian itu.
Dalam analisis yang dipublikasikan di jurnal kedokteran The Lancet itu disebutkan, Kanada dan Peru memiliki proporsi tekanan darah tinggi yang terendah di antara orang dewasa pada tahun 2019 dengan sekitar 1 dari 4 orang yang hidup dengan hipertensi. Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Swiss, Spanyol, dan Inggris memiliki tingkat hipertensi terendah untuk perempuan, kurang dari 24 persen.
Sementara Eritrea, Bangladesh, Etiopia, dan Kepulauan Solomon memiliki tingkat terendah untuk laki-laki, kurang dari 25 persen. Lebih dari separuh perempuan di Paraguay dan Tuvalu menderita hipertensi, separuh laki-laki di Argentina, Paraguay, dan Tajikistan juga memiliki kondisi yang sama.
Guru Besar Kardiologi di University of Sheffield Robert Storey mengatakan, pandemi Covid-19 sudah mengalihkan perhatian negara-negara dari realitas hipertensi ini. Pandemi penyakit kardiovaskular kurang mendapatkan perhatian selama 18 bulan terakhir ini.
”Berbagai negara harus mengadopsi kebijakan kesehatan terkait hipertensi ini untuk menghindari bom waktu penyakit jantung dan stroke,” kata Storey. (REUTERS/AFP)