Aljazair Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Maroko
Selama tiga dekade terakhir Aljazair dan Maroko terus bersitegang. Hubungan dua negara itu memburuk sejak tahun lalu, ketika masalah Sahara Barat berkobar setelah bertahun-tahun relatif tenang.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
ALGIERS, RABU — Pemerintah Aljazair memutuskan hubungan diplomatik dengan Maroko, Selasa (24/8/2021) waktu setempat. Keputusan itu diambil karena Maroko dinilai melakukan ”tindakan bermusuhan” sehingga hubungan keduanya tegang selama beberapa dekade terakhir.
Berbicara pada konferensi pers di Algiers, Menteri Luar Negeri Aljazair Ramtane Lamamra menuduh Maroko telah menggunakan spyware Pegasus untuk memata-matai para pejabatnya. Maroko juga dituding mendukung kelompok separatis dan gagal dalam komitmen bilateral, termasuk soal Sahara Barat.
”Aljazair memutuskan untuk mengakhiri hubungan diplomatik dengan Kerajaan Maroko mulai hari ini,” kata Lamamra. ”Sejarah telah menunjukkan, Maroko tidak pernah berhenti melakukan tindakan permusuhan terhadap Aljazair,” tambahnya.
Lamamra menuduh para pemimpin Maroko ”bertanggung jawab atas krisis yang berulang” dan perilaku yang ”menyebabkan konflik” di Afrika Utara. Walau demikian, Lamamra juga mengatakan, kantor konsulat di kedua negara akan tetap beroperasi.
Kementerian Luar Negeri Maroko menyatakan penyesalan atas keputusan yang diambil Algiers. Dalam pernyataan yang diterbitkan di media sosial kementerian disebutkan, Rabat menyesali ”keputusan yang tidak dapat dibenarkan” dan akan tetap menjadi ”mitra yang kredibel dan setia” bagi Algiers. Langkah Algiers berdasarkan ”dalih yang salah, bahkan tidak masuk akal”.
Perbatasan antara dua kekuatan di Afrika Utara telah ditutup sejak tahun 1994. Hubungan diplomatik belum terputus sejak dipulihkan pada 1988 untuk mengakhiri perselisihan panjang sebelumnya.
Setelah berjalan lebih dari tiga dekade atau tepatnya 33 tahun, tiba-tiba saja Aljazair memutuskan kembali hubungan dua negara bertetangga anggota Liga Arab tersebut.
Maroko telah menyatakan bahwa mereka ingin perbatasan dengan Aljazair yang ditutup sejak 1994 dibuka kembali. Aljazair menyatakan harus tetap tutup untuk alasan keamanan.
Mohamed, sopir bus di Maroko, menyebut langkah terbaru Aljazair sebagai keputusan yang buruk. ”Ini seperti memutuskan hubungan dengan tetangga sebelah Anda,” katanya.
Pekan lalu, Aljazair mengatakan, kebakaran hutan yang mematikan merupakan ulah dua kelompok teroris, termasuk Gerakan Penentuan Nasib Sendiri Kabylie (Movement for Self-determination of Kabylie/MAK).
Kabyle adalah kelompok etnis yang mendiami Kabylia, sebuah wilayah budaya, alam, dan sejarah di Aljazair utara yang terletak di Tell Atlas, tepi Laut Mediterania.
Kebakaran hutan Aljazair, yang terjadi pada 9 Agustus di tengah gelombang panas yang terik, menyebabkan puluhan ribu hektar hutan hangus. Sedikitnya 90 orang tewas, termasuk lebih dari 30 personel militer.
Kebakaran hutan memicu ketegangan, tetapi para pengamat mengkritik Aljazair gagal mengantisipasi kebakaran tersebut.
Menurut Algiers, MAK terus berjuang mencari kemerdekaan bagi wilayah Kabylia dan gerakan ini didukung Maroko. Namun, tudingan itu tanpa didukung bukti yang kuat.
Aljazair menarik duta besarnya bulan lalu setelah seorang diplomat Maroko di New York menyerukan agar rakyat Kabylia memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri.
Maroko menawarkan bantuan untuk mengatasi kebakaran yang luas di Aljazair utara, tetapi tidak ada tanggapan publik dari Algiers. Hubungan dua negara itu memburuk sejak tahun lalu, ketika masalah Sahara Barat berkobar setelah bertahun-tahun relatif tenang.
Maroko menganggap wilayah yang disengketakan sebagai miliknya. Aljazair mendukung gerakan kemerdekaan Polisario di Sahara Barat.
Pada November 2020, kelompok Polisario mengatakan bahwa mereka melanjutkan perjuangan kelompok bersenjata. Sebulan kemudian, Amerika Serikat (AS) mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat dengan imbalan Rabat meningkatkan hubungannya dengan Israel.
Rabat menyebut Aljazair sebagai ”pihak yang sebenarnya” dalam sengketa Sahara Barat. ”Aljazair akan tetap teguh pada posisinya dalam masalah Sahara Barat,” kata Lamamra.
Akhir bulan lalu, Raja Maroko Mohamed VI menyesalkan ketegangan antara kedua negara. Dia mengundang Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune ”untuk membuat kebijaksanaan menang” dan ”bekerja bersama untuk pengembangan hubungan” antara kedua negara. (AFP/REUTERS)