OKI: Afghanistan Jangan Dijadikan Surga Teroris
Sidang Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyerukan kepada kepemimpinan masa depan Afghanistan dan masyarakat internasional untuk memastikan Afghanistan tak lagi dijadikan sebagai pangkalan atau surga bagi para teroris.
JEDDAH, MINGGU – Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI, Minggu (22/8/2021), menggelar sidang luar biasa tingkat Komite Eksekutif di kantor pusat Sekretariat Jenderal OKI di Jeddah, Arab Saudi. Dalam komunike hasil sidang, organisasi itu memperingatkan agar Afghanistan tidak lagi dijadikan pangkalan bagi organisasi-organisasi teroris. OKI juga mendorong dialog inklusif untuk mengatasi krisis Afghanistan.
”Sidang menyerukan kepada kepemimpinan masa depan Afghanistan dan masyarakat internasional untuk memastikan bahwa Afghanistan tidak lagi dijadikan sebagai pangkalan atau surga bagi para teroris dan tidak membiarkan organisasi-organisasi teroris mendapatkan pijakan kaki di sana,” demikian bunyi salah satu dari 17 poin dalam komunike OKI tersebut.
Kelompok Taliban menguasai Afghanistan setelah menduduki ibu kota Kabul, 15 Agustus lalu. Mereka memerintah negeri tersebut untuk pertama kali tahun 1996-2001. Kala itu Taliban melindungi Pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden yang dituding AS sebagai otak serangan 11 September 2001 di AS. Sedikitnya 3.000 orang tewas dalam serangan tersebut.
Pekan lalu, melalui juru bicara Zabihullah Mujahid, Taliban menjanjikan wajah yang berubah dengan saat mereka berkuasa tahun 1996-2001. Kelompok itu menawarkan janji rekonsiliasi, bersumpah tak akan membalas dendam terhadap lawan-lawan politiknya, dan menghormati hak-hak perempuan dalam pemerintahan baru Afghanistan.
Sidang OKI digelar atas inisiatif Arab Saudi selaku Ketua KTT Ke-14 Islam dan Ketua Komite Eksekutif OKI. Laman resmi OKI menyebutkan, sidang dihadiri para perwakilan tetap organisasi beranggotakan 57 negara itu. Disebutkan pula, sidang dilaksanakan sebagai solidaritas terhadap rakyat Afghanistan.
Negara-negara anggota OKI berkomitmen membantu mereka mencapai perdamaian, keamanan, stabilitas, dan pembangunan di Afghanistan. OKI juga memperingatkan situasi kemanusiaan yang ditandai dengan melonjaknya jumlah warga telantar dan pengungsi dari negara tersebut.
Kekacauan evakuasi
Hingga Minggu, warga masih memadati bandara Kabul. Mereka mati-matian berharap bisa segera diungsikan keluar dari Afghanistan karena tidak mau hidup di bawah kekuasaan kelompok Taliban. Warga khawatir, Taliban akan menerapkan hukum yang menentang perbedaan pendapat dan melarang emansipasi perempuan.
Antrean panjang mengular di luar gerbang bandara Kabul. Warga Afghanistan mendekap barang-barang seadanya dan menunggu diperbolehkan memasuki area bandara. Harapannya, mereka segera dinaikkan ke atas pesawat dan diterbangkan ke negara lain. Tujuan penerbangan tidak terlalu dipermasalahkan untuk saat ini. Yang penting mereka bisa secepatnya keluar dari Afghanistan.
Baca juga: Kelompok Dominan dalam Konsolidasi Elit Taliban
Di luar gerbang, para tentara Taliban sibuk menertibkan warga. Sejumlah saksi mata mengungkapkan bahwa Taliban melepaskan tembakan ke udara ketika massa berkerumun dan berusaha melewati pagar bandara. Para tentara Taliban ini juga ada yang menggunakan pentungan untuk mengatur warga. Laporan menyebutkan, tidak ada yang menderita luka-luka serius.
Meskipun begitu, warga tetap berusaha menembus pagar. Foto-foto menunjukkan para orangtua menggendong anak-anak kecil melewati pagar berkawat dan mengulurkannya kepada tentara Amerika Serikat yang mengawal bandara. Sebagian keluarga menjadi tercerai-berai.
“Saya terpisah dari istri. Saya berhasil masuk ke area bandara dan naik pesawat. Istri dan keluarga tertinggal di Kabul,” kata seorang laki-laki Afghanistan selepas mendarat di bandara Qatar. Ia meminta agar indentitasnya disembunyikan karena takut keselamatan keluarga yang masih menunggu untuk dievakuasi terancam.
Baca juga: Rintis Perdamaian, Tantangan Terberat Taliban di Afghanistan
Sementara itu, seorang perempuan yang berhasil mengungsi ke India bersama dua anak perempuan dan dua cucu mengatakan, mereka sangat bersyukur bisa selamat dan masih bersama keluarga. Ia mengungkapkan kepada media India, NDTV, sejumlah tentara Taliban datang dan membakar rumahnya di Kabul. Ia dan anak cucunya langsung mengambil dokumen penting dan melarikan diri ke bandara.
Korban tewas
Sejak warga berbondong-bondong mengungsi pekan lalu, sudah 20 orang tewas di area bandara maupun di luar gerbang. Tidak ada penjelasan terperinci mengenai penyebab kematian para korban. Akan tetapi, penuturan saksi mata mengatakan suasana panas mengakibatkan orang-orang kelelahan dan dehidrasi. Beberapa juga diduga terinjak-injak massa ketika berebutan masuk bandara.
Baca juga: Petinggi Taliban Berkumpul untuk Bentuk Emirat Islam Afghanistan
Salah satu korban tewas adalah Zaki Anwari (19). Ia dulunya anggota tim sepak bola Afghanistan U-16. Pada hari Senin (16/8/2021), ia berusaha masuk ke pesawat militer AS yang sudah penuh, tetapi gagal. Anwari kemudian nekat bergelantungan di sayap pesawat ketika hendak lepas landas. Akibatnya, ia jatuh dan meninggal.
Akibat kekacauan itu, AS dan Jerman mengumumkan kepada warga mereka yang berada di Afghanistan untuk tidak datang ke bandara Kabul. Mereka diminta tetap di kediaman masing-masing dan menunggu arahan dari pemerintah. Adapun Swiss memutuskan membatalkan penerbangan ke Kabul, belum ada informasi jadwal penggantian penerbangan.
AS sejauh ini telah mengangkut 17.000 orang, termasuk 2.500 warganya. Total ada 15.000 warga AS yang tinggal dan bekerja di Afghanistan. Jumlah ini di luar tentara ataupun personel militer.
Media Sky News melaporkan bahwa Inggris telah mengungsikan 3.821 orang. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menargetkan bisa mengangkut 1.000 orang per hari. Akan tetapi, laporan dari lapangan menyebutkan target itu sukar dicapai. Sementara itu, India mengevakuasi 400 orang dan Australia membawa 300 orang. Mereka mencakup warga negara lain dan juga warga Afghanistan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Gedung Putih di AS, setidaknya ada 50.000-60.000 warga Afghanistan yang berafiliasi dengan pemerintahan ataupun lembaga internasional. Mereka menunggu untuk diungsikan karena takut menjadi incaran Taliban. Ini belum ditambah dengan orang-orang Afghanistan yang tidak berafiliasi pada lembaga apapun, tetapi merasa terancam hidupnya.
Baca juga: Suara dari Dinding-dinding Kota
Seorang pegawai negeri sipil Afghanistan mengatakan, ia dan rekan-rekan kerja diusir oleh Taliban ketika hendak masuk kantor pagi-pagi. “Tentara Taliban itu mengatakan saya adalah pegawai di pemerintah sebelumnya. Di pemerintahan Taliban ini saya bukan siapa-siapa, dan ini bukan kantor saya lagi,” ujarnya.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Joseph Borrell, mengutarakan bahwa mustahil mengungsikan 60.000 orang sebelum tanggal 31 Agustus ini ketika AS sepenuhnya menarik mundur pasukan dari Afghanistan. Menurut Mayor Jenderal Angkatan Darat AS William Taylor, saat ini di Bandara Kabul ada 5.800 tentara AS.
Baca juga: Cerita Menlu Retno Tak Bisa Tidur Nyenyak Saat Evakuasi WNI
Pendapat serupa juga diucapkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris Ben Wallace. “Apakah AS bisa menunda penarikan pasukan sampai kita semua selesai melakukan pengungsian?” ujarnya.
Mendekati China
Rekan Wallace, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mengatakan bahwa saatnya Inggris memikirkan untuk mendekati China dan Rusia. Pasalnya, kedua negara ini memiliki hubungan cukup baik dengan Taliban.
"Memang ini tidak akan menjadi proses yang tak nyaman bagi siapapun. Tetapi, harapan dunia mengenai pemastian Taliban memegang janji pemerintahan yang inklusif kini bergantung kepada China dan Rusia," tutur Raab.
China dijauhi negara-negara Barat karena tudingan isu pelanggaran hak asasi manusia seperti kepada kaum Uighur di Xinjiang, Tibet, perundungan kepada Taiwan dan isu sengketa di Laut China Selatan, serta penangkapan pegiat prodemokrasi di Hong Kong. Rusia juga merupakan negara yang dipermasalahkan penegakan HAM di bawah pemerintahan Vladimir Putin.
Pada bulan Juli, Menteri Luar Negeri China Wang Yi bertemu dengan Mullah (pemimpin utama) Taliban, Abdul Ghani Baradar di Tianjin. Kecemasan terbesar China ialah Provinsi Xinjiang memiliki perbatasan sepanjang 76 kilometer dengan Afghanistan. China tidak mau para pemberontak dari etnis Uighur melarikan diri ke Afghanistan ataupun mendapat dukungan dari negara itu.
Baradar menjanjikan bahwa apabila memimpin Afghanistan, Afghanistan tidak akan mengutak-atik persoalan di Xinjiang. Bahkan, jubir Taliban Suhail Shaheen ketika diwawancara televisi nasional China, CGTN, mengutarakan bahwa Taliban menantikan kerja sama ekonomi dengan China. Kerja sama ini bisa langsung dilakukan antara Taliban dengan China ataupun melalui perpanjangan proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan di Pakistan yang bertetangga dengan Afghanistan.
Dilansir dari Press Trust of India, peneliti kajian Timur Tengah di Akademi Ilmu-ilmu Sosial China, Yi Gang, menjelaskan bahwa China sudah 20 tahun menantikan bisa berinvestasi dalam jumlah besar di Afghanistan. Penghalang selama ini ialah keberadaan pasukan AS dan berbagai letupan konflik antarsuku maupun antarkelompok bersenjata di Afghanistan.
"Salah satu syarat yang diberikan oleh China ialah agar Taliban bisa menjauhkan diri dari organisasi teroris dan memastikan kestabilan Afghanistan," tuturnya. (AP/AFP/REUTERS)