Rintis Perdamaian, Tantangan Berat Taliban di Afghanistan
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara As’ad Said Ali mengatakan, saat ini yang perlu diperhatikan adalah proses perdamaian di Afghanistan. Pasalnya, selain Taliban, banyak faksi lain di sana.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemenangan Taliban di Afghanistan dinilai tidak berkorelasi langsung dengan meningkatnya ancaman keamanan terorisme di Indonesia. Pasalnya, Taliban merupakan gerakan nasional, bukan kelompok transnasional.
”Taliban itu keras karena mereka menentang penjajahan,” kata As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara yang juga mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
As’ad berbicara secara daring dalam webinar ”Dampak Kepemimpinan Taliban terhadap Aksi Terorisme di Indonesia”, Sabtu (21/8/2021) dalam diskusi yang diadakan Prodi Kajian Terorisme Universitas Indonesia.
As’ad mengatakan, saat ini yang perlu diperhatikan adalah proses perdamaian di Afghanistan. Pasalnya, selain Taliban juga ada banyak faksi lain. As’ad menduga, kepergian AS adalah hasil negosiasi dengan pihak Taliban.
Namun, ke depan Taliban punya tantangan berat. Selain harus bernegosiasi dengan berbagai faksi, pemimpin Afghanistan juga mengalami tekanan geopolitik. ”Kalau terlalu dekat dengan India, Pakistan marah. Kalau terlalu dekat dengan Iran, Saudi yang marah,” kata As’ad.
Ia mengatakan, Nahdlatul Ulama telah lama menjalin kontak dengan Taliban. Bahkan, beberapa petinggi Taliban pernah mengunjungi NU di Indonesia dan ada beberapa cabang NU di Afghanistan. ”Kita tunggu saja bagaimana perkembangan di Afghanistan. Harapannya, bisa segera tercapai perdamaian,” kata As’ad.
Abu Tholut, mantan foreign fighter di Afghanistan, mengatakan, masyarakat Indonesia tidak terlalu khawatir dengan kemenangan Taliban. Hal ini tidak akan memicu aksi terorisme karena secara empiris, kemenangan kelompok Islam di luar negeri tidak memicu gerakan berlabel Islam di Indonesia. Menurut dia, hal ini serupa dengan kemenangan Ayatollah Khomeini tahun 1978. Memang terjadi euforia, tetapi tidak memicu gerakan tertentu.
Faisal Assegaf, pendiri Albalad.co, mengatakan, Taliban sudah berubah dibanding kiprahnya tahun 1990-an. Hal ini menjadi sebuah keharusan karena sebagai penguasa negara, Taliban harus melanggengkan kekuasaan dan dapat simpati dari rakyat Afghanistan dan masyarakat internasional. ”Mereka enggak boleh lepaskan momentum untuk berkuasa,” kata Faisal.
Ia menunjukkan ada beberapa parameter Taliban telah berubah. Pertama, mereka menawarkan kepada para pemimpin militer untuk menyerah dengan cara baik-baik. Kalau para pemimpin itu tidak mau menyerah, pertempuran dilanjutkan. Ada pernyataan, semua tahanan politik dibebaskan. Hal yang unik, kata dia, Taliban memilih bentuk negara berupa emirate, ini berarti kembali ke bentuk kerajaan sebelum tahun 1973.
”Taliban memang gerakan nasionalis yang ingin negaranya merdeka, bukan transnasional yang ingin mendirikan khilafah,” kata Faisal.
Dosen UI, Ali Abdullah Wibisono, memberikan catatan bahwa masih dibutuhkan waktu yang panjang bagi Taliban untuk bisa membuktikan diri di mata dunia. Ali mengamati, pada dasarnya Taliban tetap melakukan kekerasan, tetapi dengan metode yang berbeda. ”Untuk menghilangkan potensi-potensi akumulasi kekuatan musuh, mereka melakukan cara-cara yang intimidatif,” kata Ali.
Sikap Taliban terhadap para pejuang mancanegara juga ambigu. Ia mencatat, ada 8.000-10.000 milisi asing yang tersebar di Afghanistan. Sebagian besar berasal dari Asia Tengah dan mendukung Taliban. Menurut Ali, Taliban sempat membuat sensus dan memerintahkan para panglimanya untuk membina para pejuang asing itu. Namun, di kesempatan lain menyatakan bahwa Afghanistan tidak lagi menerima milisi dari negara lain.
Oleh karena itu, Ali menggarisbawahi bahwa hal itu nantinya akan ditentukan oleh keberhasilan Taliban mengadakan perundingan rekonsiliasi. Perundingan ini dilakukan antarkelompok-kelompok di Afghanistan demi tercapainya perdamaian. Ketakutan warga Afghanistan yang berusaha lari ke luar negeri menjadi indikasi penting masih kerasnya Taliban.