Pemerintah China menerapkan sensor ketat ke berbagai aspek kehidupan warganya. Kini, giliran sensor diterapkan untuk jagat digital.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Ambisi Xi Jinping mewujudkan China yang sejahtera, berkeadilan, dan menjunjung tinggi nilai sosialisme Partai Komunis China mulai merambah ke dunia internet. Sebelumnya, pemerintah membatasi akses informasi masyarakat terhadap konten sensitif, seperti isu Xinjiang, Tibet, dan demokrasi di Hong Kong. Baru-baru ini, giliran industri gim daring, pengimbas atau influencer, dan warganet yang menjadi sasaran.
Pesan Partai Komunis China (PKC) ialah segala sesuatu yang diproduksi atau disebarluaskan di China wajib menjunjung nilai-nilai budaya China kontemporer. Apabila ada produk, kegiatan, ataupun layanan yang tidak menganut nilai tersebut, pemerintah akan bertindak tegas.
Kebijakan ini lantas diangkat media-media yang berafiliasi dengan PKC dan pemerintah. Awal bulan ini, misalnya, kantor berita nasional Xinhua menerbitkan tajuk rencana yang menuduh gim daring sebagai candu spiritual. Alasannya, tua-muda masyarakat China keranjingan bermain gim hingga lupa waktu. Akibatnya, rakyat lupa nilai-nilai PKC, yakni bekerja keras dan berkontribusi pada pembangunan nasional.
Selanjutnya, pekan lalu, Radio Nasional China (CNR) menuding gim daring menyebabkan persepsi masyarakat menjadi keliru tentang negara China. Sejumlah gim berlatar belakang sejarah klasik China, misalnya, dianggap memelintir fakta. Redaksi CNR berpendapat, sejarah tidak bisa didramatisasi, baik ketika disadur ke media gim, novel, maupun film. Segala penafsiran yang bersifat artistik tidak diberi ruang.
Kasus ini merujuk pada penyanyi dan aktor berkewarganegaraan Kanada, Kris Wu. Belakangan, ia ditangkap atas tuduhan memerkosa sejumlah perempuan.
Kementerian Perdagangan China per 2 September akan menerapkan aturan di media sosial. Semua pengimbas, terutama yang melakukan siaran langsung untuk berjualan produk ataupun sekadar berjumpa dengan penggemar, wajib berbicara dengan bahasa Mandarin yang baik dan benar. Busana dan tata krama juga harus sesuai nilai kesantunan yang diakui oleh negara.
Adapun untuk warganet, pemerintah terus melakukan razia daring terhadap kelompok-kelompok penggemar. Mereka dinilai kerap bertindak keterlaluan, seperti melakukan perundungan kepada artis atau orang yang tidak mereka suka sampai mengakibatkan depresi.
Dilansir dari harian People’s Daily, Pemerintah China telah menghapus 3.000 akun media sosial dan 150.000 konten yang dinilai sensitif ataupun negatif terkait dengan perilaku penggemar dan klub penggemar.
”Sastra, musik, olahraga, dan kegiatan anak muda sangat dibatasi. Musik rock ataupun aliran seni tertentu dilarang karena dianggap menentang pemerintah. Wajar apabila masyarakat melarikan diri ke pemujaan idola dan gim daring. Di sana mereka disatukan oleh kecintaan terhadap artis atau gim yang sama sehingga memunculkan kekompakan. Namun, tanpa adanya kanal ekspresi yang lain, kekompakan ini kemudian melahirkan fanatisme dan sikap permusuhan kepada orang-orang di luar kelompok mereka,” kata Direktur Institut Antropologi Sosial Max Planck di Jerman, Xiang Biao, pada wawancara dengan South China Morning Post.
Oleh sebab itu, Xiang berpendapat, keputusan Pemerintah China untuk mengintervensi industri gim daring dan kecanduan pemujaan idola memang tepat karena kondisi masyarakat tidak sehat secara mental dan sosial. Akan tetapi, ia mengingatkan agar harus ada penyediaan alternatif bagi masyarakat untuk aktualisasi diri. Penegakan hukum tidak akan bisa berdiri tanpa ada pemastian bahwa ada saluran bagi masyarakat berekspresi tanpa takut dikriminalkan ataupun dikucilkan.
Tencent, perusahaan teknologi China, menjadi perusahaan yang terkena imbas dari pengawasan terhadap gim daring. Saham mereka langsung merosot 10 persen. Apabila diakumulasikan selama enam bulan belakangan, saham Tencent anjlok 40 persen.
Guna berkompromi dengan aturan pemerintah, Tencent mengeluarkan aturan pembatasan durasi bermain untuk gim daring mereka yang paling populer, Honor of Kings (HOK). Sebelum bermain, pemain harus mendaftarkan diri dengan menyebutkan tanggal lahir mereka.
Bagi pengguna berusia di bawah 12 tahun, sistem ini secara otomatis menghentikan permainan setelah satu jam. Pemain berusia 12-17 tahun hanya punya waktu dua jam untuk menikmati permainan.
”Ini tidak adil. Sudah masa pandemi dengan berbagai pembatasan sosial, apalagi hiburan yang tersisa?” kata Li (17), seorang siswa.
Li berpendapat, setiap pemain sudah semestinya bisa mengatur waktu sendiri. Khusus untuk pemain muda, adalah kewajiban orangtua untuk menerapkan disiplin pemakaian gawai. Pendisiplinan dengan metode yang, menurut dia, otoriter, tidak tepat.
Li dan teman-teman mengungkapkan, mereka sudah menyusun strategi untuk bermain gim sepuasnya. Caranya ialah dengan meminjam akun pemain berusia di atas 18 tahun. (AFP/REUTERS)