Pertarungan di Afghanistan tidak hanya di medan pertempuran. Di Afghanistan, pertarungan juga terjadi di dunia maya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Setelah Kabul jatuh, perusahaan media sosial menghadapi dilema menghadapi kebangkitan Taliban. Mereka berusaha melindungi para pemakai akun media sosial di Afghanistan agar bisa menghapus jejak digital. Para pengimbas atau influencer di negara tersebut kini tiarap, beberapa yang beruntung bisa melarikan diri ke luar negeri.
Dunia masih menunjukkan berbagai sikap dalam menghadapi perebutan kekuasaan di Afghanistan. Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujadi dua hari lalu melakukan jumpa pers dan mengatakan bahwa kelompok itu akan membentuk pemerintahan yang inklusif dan berlandaskan hukum Islam.
Akan tetapi, masyarakat global skeptis menanggapi pernyataan itu karena pengalaman Taliban berkuasa di Afghanistan periode 1996-2001 menunjukkan bahwa hukum Islam versi mereka menganut penafsiran yang keras terhadap perbedaan pendapat dan emansipasi perempuan. Apalagi, di sejumlah kota di luar Kabul muncul banyak laporan bahwa kediaman para aktivis hak asasi manusia dan warga Afghanistan yang bekerja dengan pihak-pihak asing ditandai oleh Taliban.
Hal serupa juga terjadi di dunia maya. Para pengimbas yang selama ini aktif di media sosial, seperti Youtube, Tik Tok, dan Instagram, kini ”bersembunyi”. Sudah hampir sepekan mereka tidak mengunggah konten apa pun. Salah satu pengimbas yang populer di Afghanistan ialah Ayeda Shadab.
Ia terkenal sebagai salah satu ikon mode dan memiliki butik trendi di Kabul. Biasanya, Shadab rutin mengunggah foto atau video dirinya mengenakan busana terkini yang dijual di butiknya. Ia juga kerap berbagi tips kecantikan dan gaya hidup. Setelah menghilang selama beberapa hari, ia mengunggah pesan di akun Instagram yang mengatakan bahwa ia kini berada di Turki karena ketakutan hidup di bawah rezim Taliban di tanah airnya.
Shadab dalam wawancara dengan media Jerman, ZDF, beberapa waktu lalu sebelum Taliban memasuki Kabul dan menduduki istana kepresidenan, mengaku khawatir dengan keselamatan diri serta keluarganya. Perempuan yang bekerja atau memiliki usaha sendiri, sepengetahuan dia, dilarang keras oleh Taliban.
Dari Denmark, mantan kapten tim sepak bola perempuan Afghanistan, Khalida Popal, mengunggah pesan kepada teman-teman sesama atlet di tanah air. ”Bakar seragam olahraga kalian dan hapus semua foto yang menunjukkan kalian bermain olahraga,” tulisnya.
Popal memperoleh suaka di Denmark sejak tahun 2016. Sebelumnya, ia sering dikirimi ancaman pembunuhan dari kelompok garis keras Afghanistan itu meskipun ia berprestasi membawa tim sepak bola perempuan Afghanistan mengikuti berbagai pertandingan internasional.
Upaya perlindugan
Lembaga pembela hak asasi manusia Human Rights First yang berbasis di Amerika Serikat (AS) menyebarluaskan tips dalam bahasa Pahsto, di antaranya cara menghilangkan jejak digital. Perusahaan media sosial besutan Mark Zuckerberg, Facebook, akhirnya memberi alternatif penguncian akun khusus bagi pengguna dari Afghanistan. Sistem perlindungan untuk warganet negara itu juga tengah disusun di dua anak perusahaan Facebook, yakni Whatsapp dan Instagram.
Taliban sebagai kelompok bersenjata tidak masuk ke dalam daftar teroris internasional, baik di AS maupun di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Meskipun AS dan PBB sama-sama memberi kecaman terhadap Taliban. Akan tetapi, Facebook dan Youtube mengeluarkan pernyataan bahwa kedua perusahaan itu mengategorikan Taliban sebagai kelompok teroris atau penyebar kekerasan. Oleh sebab itu, semua akun dan konten yang bermuatan kampanye Taliban diblokir dari Facebook dan Youtube.
”Kami mengerahkan tim yang bisa berbahasa Pahstun serta bahasa-bahasa lokal Afghanistan untuk mengawasi konten yang diunggah ke Facebook. Kami memastikan konten yang mengandung unsur pemujaan Taliban tidak ditayangkan,” kata pernyataan Facebook.
Perusahaan media sosial yang belum memblokir Taliban adalah Twitter. Bahkan, para anggota Taliban memiliki akun di media sosial ini. Zabihullah Mujahid, misalnya, memiliki akun dengan pengikut 300.000 orang. Ia rutin mengunggah berbagai pesan dalam enam bahasa, antara lain Inggris, Arab, dan Urdu.
Sejumlah pihak mengkritik Twitter atas sikap mereka. Politisi Partai Republik AS, Doug Lamborn, mencela Twitter karena memblokir akun Presiden AS periode 2017-2021 Donald Trump secara permanen, tetapi membiarkan anggota Taliban bebas mengunggah konten.
Terkait hal itu, Twitter menanggapi bahwa kebijakan mereka ialah melarang semua unggahan bermuatan kekerasan, bersikap rasis, dan mengajak orang lain melakukan kekerasan. Trump dinilai melakukan propaganda kekerasan karena mencuit dukungan terhadap para perusuh yang menyerang Gedung Putih pada awal tahun 2021. Sebaliknya, di akun-akun Taliban selama ini tidak ada gambar ataupun pesan yang berisi kekerasan dan ajakan melakukan kekerasan.
Sadar internet
Peneliti media dari Yayasan Pertahanan untuk Demokrasi (Foundation for Defense of Democracies) di Washington, Tom Joscelyn, menjelaskan, Taliban sadar betul akan kekuatan media sosial. Data Bank Dunia tahun 2019 menunjukkan hanya 11,4 persen warga Afghanistan yang memiliki akses internet. Artinya, unggahan Taliban di media sosial ditujukan kepada pemirsa global.
Menurut dia, Taliban memahami trik komunikasi zaman sekarang bukan lagi dengan teror, seperti menunjukkan video hukuman mati atau kekerasan fisik. Mereka memakai pendekatan yang tampak lebih damai. Salah satu contoh yang disebar Taliban melalui Whatsapp di tahun 2020 adalah foto-foto anggota mereka membagi-bagikan masker dan sabun kepada warga sebagai upaya penanganan Covid-19.
”Jargon yang dipakai Taliban seperti kata inklusif, siap bergabung dengan dunia internasional, dan lain-lain spesifik agar ramah terdengar oleh telinga masyarakat Barat,” kata Joscelyn. (AFP/AP/REUTERS)