Sukses di Luar Negeri? Cukup Berbekal Tekad dan Nekat
Banyak kisah sukses diaspora Indonesia. Namun, semuanya tidak jatuh dari langit. Ada kerja keras dan pengorbanan di baliknya. Tapi, tekad dan nekat keluar dari zona nyaman sudah barang tentu jadi modal awalnya.
Hidup dan berkarya di negeri orang ternyata tidak mudah dan tidak serta-merta seindah impian. Untuk bisa hidup sukses atau setidaknya mampu tetap bertahan hidup dibutuhkan kerja keras, tekad, dan semangat yang kuat, serta yang paling penting berani nekat keluar dari zona nyaman.
Tidak kalah penting juga adalah menyingkirkan sikap tidak percaya diri. Sebab, kenyataannya, orang Indonesia mempunyai kemampuan yang tidak kalah keren dari warga dari negara mana pun.
Baca juga: Kunci Bekerja di Jerman, Kerja Sama Tim dan Jangan Pernah Takut Bertanya
Pesan-pesan ini muncul dari penuturan delapan diaspora Indonesia lintas profesi pada acara bincang-bincang virtual bertema ”Jejak Diaspora: Pantang Menyerah di Mana Saja”, Rabu (18/8/2021).
Mereka adalah Yohanes S Wahyudi (pengusaha Nusantara Box di Amerika Serikat), Iwan Sunito (pengusaha properti raksasa Crown Group di Australia), Ari Purboyo (mantan Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia di Korea Selatan), Eni Lestari (Ketua Aliansi Pekerja Migran Internasional Hong Kong), Bambang Susantono (Wakil Presiden untuk Manajemen Pengetahuan dan Pembangunan Berkelanjutan Bank Pembangunan Asia di Filipina), Mustafa Abd Rahman (wartawan harian Kompas di Mesir), Agustinus Purnama MSF (Superior General Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus di Roma), dan Hutomo Suryo Wasisto (pendiri Pusat Indonesia-Jerman untuk Nano dan Teknologi Quantum di Jerman).
”Di sini itu fair. Warga AS maupun pendatang diperlakukan sama. Kita bisa bekerja apa saja, sebanyak yang kita mau. Saya pilih usaha yang fleksibel waktunya, tetapi uangnya cukup,” kata Yohanes, yang tinggal di Washington DC sejak 2001.
Yohanes berangkat ke AS awalnya hanya karena ingin menyekolahkan ketiga anaknya di negara itu. Guna menghidupi keluarganya, ia membanting tulang dengan bekerja apa saja, termasuk bisnis usaha limosin. Untuk satu jam kerja saja, ia bisa mendapat 55 dollar AS.
Baca juga: Menerapkan Pendekatan Keindonesiaan untuk Dakwah Islam di AS
Selanjutnya ia memulai usaha jasa pengiriman dari AS ke Indonesia dan diberi nama Nusantara Box. Kenapa memakai nama Nusantara? ”Karena I love Indonesia! Apapun pekerjaan kita, orientasi kita harus tetap Indonesia,” kata Yohanes, yang asli Surabaya, Jawa Timur, itu.
Iwan Sunito memegang teguh impiannya untuk bisa berbagi kepada orang lain. Setiap kali merasa putus asa dan lelah menjalani hidup dengan kerja serabutan di Australia, ia mengingat-ingat terus impiannya itu. Impian itu pula yang membuatnya berhasil membangun usaha propertinya di Australia.
”Punya impian itu penting. Kita juga harus banyak belajar dari orang lain, sabar, dan harus mau keluar dari zona nyaman. Ini yang biasanya susah bagi orang Indonesia,” ujarnya.
Kegigihan mengejar impian hidup juga dilakukan Ari Purboyo dengan menjadi anak buah kapal (ABK) di Korsel sejak 2016. Ia bahkan menyuarakan perlakuan tak adil dan kekerasan yang dialami pekerja migran bidang perikanan di Korsel. Ia, misalnya, menggugat parlemen Korsel agar menjamin perlindungan terhadap pekerja migran asal Indonesia.
”Saya juga, kan, pernah menjadi ABK dan tahu rasanya seperti apa. Untuk membantu teman-teman pekerja migran, saya berjejaring dengan banyak komunitas di Korea. Saya sampai pernah dikejar-kejar mafia di Korsel dan minta perlindungan ke KBRI,” kata Ari.
Baca juga: Mempromosikan Indonesia di Negeri Kanguru dengan "Soft Diplomacy"
Advokasi memang pekerjaan yang membutuhkan energi besar dan pengorbanan. Apalagi, jika itu harus dilakukan di sela-sela waktu bekerja sebagai asisten rumah tangga di Hong Kong seperti pengalaman Eni Lestari.
Mengambil hak waktu libur, Eni membantu pekerja migran Indonesia yang membutuhkan bantuan pendampingan. Ia terus mengampanyekan hak-hak pekerja migran di Hong Kong.
”Menyuarakan pekerja migran itu berat karena posisinya sudah termarjinalkan dan tidak dilindungi hukum. Padahal, eksploitasi banyak terjadi mulai dari proses perekrutan,” kata Eni, yang sudah 12 tahun terakhir ini membantu 160.000 pekerja migran asisten rumah tangga di Hong Kong.
Sejak pandemi Covid-19 melanda Hong Kong, kegiatan advokasi menjadi terbatas. Salah satu solusinya dengan mengalihkan kegiatan-kegiatan yang dulunya tatap muka menjadi virtual.
Untuk membantu pekerja migran yang kesulitan ekonomi, Eni menggalang sumbangan dari berbagai pihak. Ini terutama untuk membantu memenuhi kebutuhan masker, cairan pembersih, dan obat-obatan lainnya.
”Banyak pekerja migran yang stres fisik karena bekerja 17-19 jam sehari, stres mental dan keuangan karena ada tuntutan juga dari keluarga di Indonesia. Banyak yang harus kirim lebih banyak uang karena keluarga di Indonesia kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Sementara Bambang Susantono berpesan agar orang Indonesia berani tampil dan berjejaring dengan banyak orang. ”Kita jangan diam saja. Kita harus bisa menunjukkan diri kita karena orang Indonesia tidak kalah hebat dengan orang lain di dunia ini,” kata Bambang, yang menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat wakil presiden ADB.
Agustinus Purnama mengingatkan untuk selalu bekerja dengan ketulusan hati. Selama menjalankan tugasnya melayani umat, Agustinus menyadari bahwa setiap diri manusia itu berbeda-beda dan itu yang menjadi penyemangat untuk mengabdi untuk sesama.
Bagi yang ingin berkarya di luar negeri, Agustinus berpesan harus berani mencoba. Bagi yang ingin berkarya di luar negeri, ia berpesan agar berani mencoba. ”Kita tidak tahu apakah kita akan berhasil atau tidak kalau kita tidak pernah mencoba. Yang penting harus berani untuk bisa sampai di tujuan yang baik,” ujarnya.
Hutomo Suryo Wasisto tidak pernah membayangkan dirinya betah menekuni profesi ilmuwan bidang teknologi nano dan kuantum. Sejak kecil, ia hanya ingin menjadi seperti BJ Habibie yang memiliki gelar ”Ing” di depan namanya.
Berbekal impian bergelar ”Ing” itu, ia bersekolah ke Taiwan lalu ke Jerman. ”Dulu saya tidak ingin jadi ilmuwan dan merasa salah jurusan karena tidak tahu mau apa di Teknik Elektro UGM,” ujarnya.
Namun, setelah menggeluti teknologi nano dan kuantum di Jerman, ia jatuh cinta dengan bidang itu. Ia mendorong anak-anak muda Indonesia lainnya untuk ikut bergabung dengannya. ”Saya ingin ilmu yang saya dapat di Jerman bisa dikembangkan di Indonesia,” kata Hutomo.
Ia tak ingin anak-anak muda Indonesia hanya menghasilkan riset yang dituangkan dalam publikasi ilmiah. Hasil riset itu harus sampai menjadi produk jadi yang diproduksi massal.
Baca juga: Dari Jerman, Berikhtiar Mengibarkan Indonesia melalui Riset dan Produk Nyata
Menyadari dirinya sebagai diaspora, Hutomo menekankan pentingnya diaspora menjadi jembatan kerja sama riset dan pengembangan teknologi antara mitra di luar negeri dan pihak-pihak di Indonesia.
”Saya ingin ilmu yang saya dapat di Jerman bisa dikembangkan di Indonesia. Kita bisa berkontribusi dari mana saja. Kontribusi untuk bangsa Indonesia itu tidak harus pulang ke Indonesia,” kata Hutomo, yang mendapatkan status pemukim tetap, sebuah status yang diberikan Pemerintah Jerman untuk orang-orang berkualitas.
Ketika datang ke Jerman pertama kalinya pada 2010, ia sempat diremehkan, apalagi belum mahir berbahasa Jerman. Ia lantas terpacu untuk rajin belajar dan bekerja dua kali lipat lebih keras dibandingkan warga setempat.
”Kita harus kerja lebih keras dan punya mental kuat. Buktikan dengan karya karena kita mampu. Kemampuan kita sama. Orang bule juga tidak jago-jago semua,” kata Hutomo. (LUK)